Putusan Bebas Tidak Murni


Apa perbedaan dari putusan bebas murni dengan putusan bebas tidak murni?

Di dalam Hukum Pidana tentunya dikenal berbagai macam putusan. Salah satu putusan yang dibahas dalam teori hukum pidana ialah putusan bebas. Putusan bebas ini diberikan oleh hakim apabila hakim tersebut berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana yang telah didakwakan kepada sang terdakwa, tidaklah terbukti secara sah dan menyakinkan. Dengan demikian hakim diharuskan untuk memutus suatu pembebasan atau vrijsparaak bagi terdakwa . Dalam pengaturan hukum positif Indonesia yaitu lebih tepatnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) putusan bebas sendiri diatur pada Pasal 191 ayat (1). Didalamnya dinyatakan bahwa:

“Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan maka terdakwa tersebut diputus bebas”

Apabila merujuk kepada penjelasan yang terdapat di dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP maka yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan” ialah bahwa tidak adanya suatu bukti yang cukup menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang sudah diatur didalam ketentuan beracara hukum pidana.

Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa putusan bebas sendiri diberikan oleh hakim kepada terdakwa, apabila hakim tidaklah dapat memperolah keyakinan mengenai kebenaran atau ia yakin bahwa apa yang didakwakan terhadap terdakwa tersebut setidak-tidaknya bukanlah terdakwa yang melakukannya . Dengan demikian beberapa bentuk dari putusan bebas ialah sebagai berikut:

1. Pengertian Putusan Bebas Murni
Darwan Prinst mengemukakan bahwa putusan bebas murni sendiri diberikan apabila dakwaan dari Penuntut Umum atau Jaksa sama sekali tidaklah terbukti, tidak terbukti ini dapat dikarenakan suatu perbuatan tersebut karena memang bukan dilakukan oleh terdakwa ataupun dikarenakan perbuatannya memang ada akan tetapi bukanlah merupakan tindak pidana . Salah satu ahli terkemuka dalam bidang hukum yaitu Wirjono Prodjodikoro, mengartikan vrijsparaak sebagai suatu pembebasan terdakwa secara murni . Jadi dapat disimpulkan bahwa putusan bebas merupakan sebuah putusan yang diberikan oleh hakim kepada terdakwa apabila hakim menilai terdakwa tersebut memang tidaklah bersalah dan dengan itu ia dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum.

2. Pengertian Putusan Tidak Bebas Murni
Pembebasan tidak murni atau de onzuivere vrijspraak dalam hal bedekte nietigheid van dagvaarding (batalnya dakwaan secara terselubung) atau pembebasan yang menurut kenyataanya tidak didasarkan pada ketidakterbuktian dalam surat dakwaan. Menurut Oemar Seno Adji , bahwa pembebasan tidak murni pada hakikatnya merupakan putusan lepas dari segala tuntutan yang terselubung, dapat dikatakan apabila dalam suatu dakwaan unsur delik dirumuskan dengan istilah yang sama dalam perundang-undangan, sedangkan hakim memandang dakwaan tersebut tidak terbukti yang mempunyai kualifikasi:

a. Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan;

b. Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas kewenangannya, baik absolut maupun relatif dan sebagainya

Akan tetapi dalam teorinya, putusan bebas tidak murni sendiri dapatlah dibagi atau dikategorikan menjadi 3 (tiga) bentuk, yang ketiga bentuk putusan bebas tidak murni tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Menurut Pasal 183 KUHAP:
  • Tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif.
    Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim.
  • Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian
    Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membutkikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah.
  1. Menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP:
  • Penilaian dan Pendapat Hakim
  1. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan ke persidangan, baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk maupun keterangan terdakwa tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena menurut penilaian hakim, semua alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak memadai membuktikan kesalahan yang didakwakan.
  2. Secara nyata hakim menilai pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan minumum batas pembuktian, misalnya alat bukti yang diajukan di persidangan hanya terdiri dari seorang saksi saja. Di samping tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian, juga bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan unus testis nullus testis atau seorang saksi bukan saksi.
  3. Putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim. Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah harus didukung oleh keyakinan hakim. Sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti. Namun, nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim.
Referensi

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2008.

Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta, Djambatan, 2002.

Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985.

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

Oemar Seno Adji, KUHAP Sekarang, Jakarta, Erlanggga, 1989.

P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, Jakarta, Sinar Grafika, 2010.