Putri Junjung Buih

image

Putri Junjung Buih
Namanya Melegenda, Nama Ratu atau Putri Junjung Buih juga begitu terkenal di Kalimantan Selatan. Ada Hotel Junjung Buih, Plaza Junjung Buih, Rumah Sakit Junjung Buih, Kompleks Perumahan Junjung Buih, Jalan Junjung Buih dan sebagainya.
Buih dalam bahasa Indonesia dan Banjar artinya ombak, bagian air paling atas. Ketika air berputar-putar dalam pusarannya, maka semakin banyak buih yang muncul. Putri Junjung Buih artinya putri yang keluar atau muncul dari buih. Putri ini dipercayai sebagai penjelma Dewata. Tempat munculnya Putri Junjung Buih ini selanjutnya dinamai dengan Teluk Buih, yang terletak di dekat desa Kuripan Barito Kuala.
Kehadiran Putri Junjung Buih, (ada yang menyebutnya Putri Tanjung Buih) berasal dari kepercayaan bahwa ia merupakan makhluk gaib yang muncul dari buih, yang kemudian dicarikan suaminya dari Majapahit yaitu Pangeran Suryanata.
Menurut HM Said (2011), sebenarnya ada versi lain yang menyatakan bahwa Putri Junjung Buih adalah manusia biasa. Ia bernama Galuh Ciptasari dan tinggal bersama ibu angkatnya di daerah Balangan atau Gunung Batu Piring. Suatu kali ia mandi di sungai lalu tergelincir dan hanyut terbawa arus sungai yang deras. Selanjutnya, ia diselamatkan dan ditemukan oleh Lambung Mangkurat yang sedang bersemedi di tepi sungai, yang melihat putri itu timbul tenggelam di atas buih. Putri itu seorang gadis yang cantik, yang bagi Lambung Mangkurat cocok untuk dicarikan jodohnya dari Majapahit. Maka sebelum ke Majapahit putri ini lebih dulu diangkat sebagai raja putri atau ratu di Negara Dipa.

Peristiwa berdarah
Lambung Mangkurat tidak mau gadis cantik ini disunting oleh rakyat biasa, bahkan oleh keluarga dekatnya sekali pun. Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan bahwa rakyat jelata tidak berhak menjadi raja. Bahwa raja harus berasal dari kasta Ksatria yang kala itu hanya ada di Majapahit. Kepercayaan itulah yang bagi Kerajaan Banjar masa-masa awal justru membawa malapetaka atau tragedi berdarah di lingkungan keluarga Mpu Jatmika.
Lambung Mangkurat memiliki dua orang keponakan, yaitu Bambang Sukmaraga dan Bambang Padmaraga (versi lain ditulis Bangbang). Keduanya adalah putra kembar Mpu Mandastana, mereka pemuda tampan yang sebenarnya memiliki prospek cerah untuk memimpin Kerajaan Negara Dipa.
Karena kedua pemuda ini mencintai Putri Junjung Buih yang cantik, Lambung Mangkurat menjadi cemburu dan murka. Dengan siasat mengajak keduanya memancing, lantas kedua pemuda itu dibunuh. Tempat pembunuhan itu sekarang disebut Lubuk Badangsanak. Ada kepercayaan bahwa mayat kedua bersaudara itu hilang lenyap bersemayam di Gunung Arga Kencana.
Mpu Mandastana dan istrinya sangat marah bercampur sedih tetapi tidak kuasa melawan. Akhirnya suami istri ini memilih untuk mati bunuh diri. Mpu Manndastana menikam dirinya dengan keris Perang Sari bikinan Majapahit, dan sang istri menikam dirinya dengan keris bernama Lading Malela yang berasal dari Keling.
Maka jadilah tempat mereka bunuh diri itu disebut Telaga Darah, atau Telaga Raha, yang kini situasinya masih ada di lingkungan Candi Agung Amuntai. Suami istri itu dianggap keramat, sehingga burung-burung yang terbang di atas mayat mereka (sebelum dilarung kelaut) gugur berjatuhan.
Karena kecantikan Junjung Buih, maka tidak saja Bambang Padmaraga dan Bambang Sukmaraga yang jatuh cinta, tetapi banyak pemuda lain dari kalangan masyarakat umum yang menaruh hati dan ingin mempersunting Junjung Buih.

Berbagai perlombaan
Menurut Ketua Palangan Negara di Banjarmasin Lambran Ladjim (alm), ketika ia kecil dulu di Negara ( Daha), ada cerita rakyat bahwa Putri Junjung Buih nan cantik itu hidup dalam pingitan keluarga Mpu Jatmika. Mengingat banyaknya pemuda yang menaksir, dan agar tidak mengecewakan mereka, maka dilakukan perlombaan, bahwa barang siapa pemuda yang memiliki banyak keahlian berhak mempersunting Putri Junjung Buih. Syaratya, mereka harus mampu membuat kue yang enak-enak sebanyak 41 macam, dan memiliki keterampilan sebanyak 41 macam pula… maka para pemuda pun berlomba-lomba berlatih, berkreasi dan membuat berbagai keahlian. Banyak nya kue dan kuliner khas Banjar sekarang, yang biasanya bermunculan di bulan Ramadhan, diduga produk dari kreasi dalam perlombaan tersebut.
Begitu juga banyaknya keterampilan yang dimiliki oleh orang Negara (Daha) seperti keahlian membuat dapur dari tanah liat, alat-alat dapur (memasak), alat-alat pertukangan, pertanian, baling-baling (roda) kapal/klotok dari alumunium dan kuningan, berbagai senjata tajam (pandai besi), membuat kapal dan klotok dari kayu,ulin dan besi, kerajinan emas (kemasan), perak dan tembaga, kopiah jangang, anyam-anyaman, sampai kepada membuat senapan, diduga hasil dari perlombaan untuk menyunting Putri Junjung Buih.
Tetapi menurut Djantera Kawi (2011), keterampilan mengolah besi, alumunium, kuningan, dan berbagai logam lainnya pada masyarakat Negara itu, karena raja-raja Negara Dipa dan Negara Daha pernah mendatangkan para pengrajin logam. Mulanya mereka diberi tugas mengubah patung-patung sesembahan yang asalnya terbuat dari kayu ulin atau kayu cendana diganti menjadi kunigan, sehingga lebih artistik. Lama kelamaan, mereka ini juga mengerjakan kerajinan lain dari logam.
Menurut Lambran Ladjim, meskipun banyak pemuda ikut berlomba dengan sekuat tenaga, tetap saja tidak ada pemuda yang berhak menyunting sang putri. Penyebabnya, Lambung Mangkurat memang ingin mengawinkannya dengan putra dari Majapahit, yaitu Pangeran Suryanata yang dipercaya berasal dari matahari (surya) dan merupakan titisan Dewata. Mengingat Putri Junjung Buih (air) dipercaya juga merupakan titisan Dewata, maka pasangannya harus sama. Matahari dan air merupakan pasangan khusus, dari keturunan mereka lah kemudian lahir para raja dan sultan Banjar.

Wikipedia menerangkan, putri Junjung Buih sebagai seorang Raja Puteri dari Kerajaan Dipa berasal dari unsur etnis pribumi Kalimantan kerajaan-kerajaan di Kalimantan biasanya mengaku sebagai keturunan dari puteri pribumi ini. Puteri Junjung Buih merupakan anak dari Ngabehi Hileer dan anak angkat Lambung Mangkurat. Pernikahan dengan Pangeran Suryanata dari Majapahit menurunkan raja-raja dari Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Negara Diha hingga Kesultanan Banjar dan Kesultanan Kotawaringin.
Ketokohan Putri Junjung Buih tidak hanya di Kalimantan Selatan. Menurut mitologi rakyat pesisir Kalimantan seorang raja haruslah keturunan raja puteri ini sehingga raja-raja Kalimantan mengaku sebagai keturunan Puteri Junjung Buih. Beberapa kerajaan di Kalimantan Barat juga mengaku sebagai keturunan Puteri Junjung Buih. Dalam tradisi Kerajaan Kutai, Puteri Junjung Buih / Putri junjung Buyah merupakan isteri kedua dari Aji BataraAgung Dewa Sakti Raja Kutai Kartanegara I.
Penamaan tempat yang ada kaitannya dengan Puteri Junjung Buih adalah Batung Batulis dan Pembalah Batung.
Diceritakan oleh Rustam Effendi (2011) bahwa ketika Lambung Mangkurat menngajak Putri Junjung Buih untuk naik ke darat, sang putri menolak. Ia lebih dahulu minta dibangunkan balai (rumah suci) yang terbuat dari batung bertulis(bertulis). Maka Lambung Mangkurat beserta rakyat mengerahkan tenaga untuk mencari pohon batung bertulistersebut. Ternyata adanya di hutan gunung Batu Piring Balangan. Tetapi pohon itu dijaga oleh dua orang raksasa yang ganas.

Lambung Mangkurat menugaskan Patih Pembalah Batung seorang yang sakti dan berani untuk mengatasinya. Maka sang patih pun berkelahi dan akhirnya berhasil mengalahkan kedua raksasa untuk selanjutnya membawa batung batulis ke Kuripan ibukota Negara Dipa guna membangun rumah suci bagi Putri Junjung Buih. Untuk mengenang peristiwa ini,belakangan dibangun hotel di Banjarmasin dan Banjarbaru dengan nama Hotel Batung Batulis, dan di Amuntai ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara diabadikan menjadi nama RSUD Pembalah Batung.

1 Like