Pita Hitam untuk Garda Terdepan

images

https://www.google.com/amp/s/sulsel.idntimes.com/news/sulsel

Jari telunjuk yang kurus kering itu terus saja mengetuk-ngetuk peti di depannya. Tangan satunya memegang pelipis sambil memijatnya dengan pelan. Ia terlihat kesal, dengan kerumunan warga yang berada jauh di depannya. “Ini semua sesuai prosedur. Jadi akan aman Pak. Kalian tidak usah khawatir,” pekiknya mencoba meyakinkan banyak masyarakat di sana.

Aku hanya bisa menghela napas. Sejenak, menatap raut masyarakat itu, sebenarnya aku mengerti. Kekhawatiran akan apa yang kami bawa, sudah meluluhlantahkan rasa simpati mereka. Tetapi, apakah akan terus begini? Jika iya, dimana para pahlawan medis akan beristirahat untuk terakhir kali?

“Tapi saya hanya menyampaikan aspirasi masyarakat Pak. Jadi mohon, di tempat lain saja,” pungkas pria tua yang berjuluk Pak RT itu. Pak Andre tak terima, selaku penanggung jawab lapangan, ia tak ingin jika jenazah perawat perempuan ini harus terbelengkalai begitu saja. Apalagi, pemakaman harus segera di selesaikan, mengingat kondisi jenazah yang tak biasa.

“Memangnya kalian semua tega mengusir kami begitu saja? Dia ini tenaga medis pak. Seharusnya kita semua bisa menghormati dia. Dia sudah sangat berjasa!” tegas Pak Andre tak mau kalah. Dengan perkataannya barusan, aku harap mereka semua bisa luluh dan mengerti, bahwa seseorang yang akan kami antarkan adalah sosok pahlawan masa kini. Pejuang medis, yang menyelamatkan raga dibalik wabah pandemi ini.

“Kami cuma masyarakat biasa Pak. Masyarakat kelas bawah. Jika kami tertular bagaimana? Semuanya bakal repot juga nanti,” celetuk seorang wanita di belakang pak RT.

Ucapannya sungguh tak ada rasa simpati, keegoisan akan diri sendiri terpampang jelas tanpa berpikir manusiawi. Geram, aku kesal. Membuatku ingin sekali angkat bicara.

“Ibu mohon maaf, tapi jika ibu sakit, perawat juga-kan yang bakal rawat ibu?” dengusku kesal. Pak Andre berdalih. Ia menghadapkan tubuhnya ke hadapanku dan rekan lainnya. Dia berusaha meredam amarah kami semua.

“Sudah-sudah, jangan berdebat lagi. Perwakilan dari pihak keluarga akan segera sampai. Kita tunggu saja,” ucapnya.

Aku mengusap wajahku, sambil meraut frustasi. Sungguh belum pernah terjadi hal seperti ini. Apalagi sebelumnya, semua sudah terurus dengan rapi. Perihal perizinan, ataupun persiapan liang lahad yang sudah siap terkendali. Namun nyatanya naas. Beberapa oknum telah terbelit oleh stigma terhadap pejuang medis dan kami.

Selang beberapa menit, ibu dari perawat yang meninggal datang. Ia meraung menangis tak percaya. Pemakaman anaknya harus tertunda, hanya karena keegoisan masyarakat yang tak punya rasa iba.

Dengan APD lengkap, ibu itu mencoba lebih dekat dengan kerumunan warga. Lalu mencoba berbicara memohon kepada masyarakat di sana.

“Kalian bawa jenazah ke mobil dulu, nanti kalau udah ada keputusan, saya bakal kabarin kalian,” suruh Pak Andre.

Lalu, aku dan rekan lainnya membawa peti ke dalam mobil. Mengingat panas bastala yang menyengat, kami tidak ingin membiarkan peti terpapar panas begitu saja.

Melihat dari kejauhan, sepertinya batin ibu dari perawat yang meninggal sangat terpukul dengan keadaan. Ku-meratap satu persatu raut wajah para masyarakat itu, terlintas kekhawatiran yang menyarat di pikir mereka. Hingga akhirnya, stigma menenggelamkan. Mereka hanya larut dalam ketakutan akan tertimpa pandemi berbahaya. Ah benar saja, ini sungguh tak bisa dipercaya.

Setelah beberapa saat, Pak Andre datang, memberi tahu, bahwa keadaan memang sudah tak bisa dipaksa. Dengan berat hati, kami harus membawa kembali jenazah, dan mencari tempat dengan segera untuk pemakamannya.

Mencoba menghubungi beberapa orang atasan, agar bisa segera mencari lahan. Syukurnya, tak butuh waktu yang lama, kami sudah bisa menemukan tempat yang tepat untuk proses pemakamannya. Menghela napas lega, dan berucap syukur sambil mengelus dada. Rasa senang tak terbendung. Pak Andre yang sedari tadi terus merasa bingung, kini sedikit bisa menyunggingkan senyum.

Aku menatap peti di depanku. Dengan mobil yang terus melaju cepat, untuk menuju tempat pemakaman lainnya. Terlintas terbayang perjuangan perawat yang ada di hadapanku. Sosok perempuan hebat yang tak kenal lelah dalam menjaga dan merawat. Dari rekannya, aku mendengar, bahwa ia pernah terjaga dua hari tanpa tidur dan beristirahat. Hingga akhirnya, takdir berkata lain. Ia harus terpapar, dan meninggal dengan keadaan tak bisa diantarkan dalam keadaan sewajarnta. Bahkan dalam akhir hidupnya, ia harus menerima, tentang stigma dan keluhan dari para warga. Yang padahal, sebenarnya dia adalah orang yang sangat berjasa. Ia bekerja keras untuk menyelamatkan raga.

Kuharap semua sadar, bahwa ketakutan dan kekhawatiran tak perlu mengubur dalam rasa iba dan mengundang stigma Cukup hati-hati dan waspada. Mengikuti setiap aturan yang ada.