Pihak ketiga dalam hukum perdata


Apa yang dimaksud dengan pihak ketiga dalam hukum perdata? dan apa saja bentuk-bentuknya?

Mengenai pengaturan akan keikutsertaan dari pihak ketiga dalam proses acara perdata sebenarnya tidak diatur secara mutlak di dalam HIR ( Herzen Inlandsch Reglement) . Dalam Pasal 393 HIR ayat (2) berbunyi:

Akan tetapi Gubernur Jenderal tinggal tetap memegang hak, sekedar tentang mengadili perkara perdata, setelah berbicara dengan Mahkamah Tinggi di Indonesia, akan menetapkan lagi peraturan lain, yang lebih sesuai dengan peraturan tuntutan hukum perdata di hadapan pengadilan Eropa, untuk Pengadilan Negeri di Jakarta, Semarang, dan Surabaya, jika nyata benar bahwa menurut pengalaman, perlu sekali diadakan peraturan sedemikian dan juga untuk pengadilan negeri yang lain-lain, jika terdapat juga keperluan yang demikian itu.” [1]

Maka apabila kita meneliti maksud dari Pasal 393 ayat (2) dapat disimpulkan bahwa pasal ini memperbolehkan bagi hal-hal yang dirasakan perlu untuk praktik suatu pengadilan maka boleh melakukan suatu penyimpangan-penyimpangan dari pengaturan HIR, selama mengambil bentuk dari peraturan-peraturan lain[2]. Dengan ini hakim melakukan sebuah penafsiran akan Pasal 393 ayat (2) bahwa apabila diperlukan dan benar-benar dibutuhkan, seorang hakim pengadilan negeri pada praktinya dapat mengambil pengaturan dari sumber hukum lain, asalkan hal ini tidak diatur di dalam HIR. Contohnya adalah pengaturan mengenai pihak ketiga yang tidak diatur di dalam HIR tetapi diatur didalam RV. Sehingga para hakim meggunaka RV sebagai pedoman apabila di dalam praktik beracara ada pihak ketiga yang ikut dalam berproses, tetapi hakim tentu saja tetap menyesuaikan penggunaan RV sebagai sumber hukum ini sesuai dengan praktik. Penegasan mengenai hal ini terdapat di dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Oktober No, 1060/K/Sip 1972 yang mengatakan bahwa meskipun intervensi tidak diatur didalam HIR serta RBg, dalam praktinya hal ini dapat dibenarkan karena merupakan kebutuhan dari suatu praktik beracara[3].

Pengikutsertaan pihak ketiga dalam proses pemeriksaan di muka pengadilan ini disebut dengan interensi. Intervensi sendiri diatur di dalam Pasal 279 sampai dengan Pasal 282 Reglement Rechtsvorderig (RV). Keikutsertaan pihak ketiga kedalam proses beracara dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: Tussenkomst, Voeging (menyertai), dan yang terakhir adalah Vrijwaring (penjaminan ). Yang ketiga hal tersebut akan dibahas lebih dalam lagi pada penjelasan berikutnya.

1. Pengertian Intervensi
Pada suatu proses pemeriksaan perkara di pengadilan, sangatlah dimungkinkan masuknya pihak ketiga ke dalam proses pemeriksaan yang sedang terjadi tersebut. Masuknya pihak ketiga kedalam proses ini dinamakan dengan intervensi [4] .

Intervensi merupakan suatu aksi hukum oleh pihak yang berkepentingan dengan jalan untuk melibatkan diri atau dilibatkan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang berperkara perdata yang sedang berlangsung antara dua pihak yang sedang berperkara[5].

Apabila kita menilik dari pendapat R. Sutantio dan Oeripkartawinata maka dikatakan bahwa intervensi merupakan ikut sertanya pihak ketiga atas inisiatif sendiri, ataupun karena ditarik masuk oleh salah satu pihak untuk ikut menanggung dalam pemeriksaan perkara perdata[6].

Dapat disimpulkan dari tiga pengertian diatas bahwa, pihak ketiga tidaklah dari awal masuk kedalam proses pengadilan, melainkan ia memasukkan dirinya atau dimasukkannya dirinya oleh salah satu pihak yang bersengketa sebagai pihak ketiga ketika proses pemeriksaan tengah berlangsung.

2. Macam-Macam Intervensi

Dijelaskan di dalam teori, bahwa terdapat 2 macam bentuk dari intervensi yaitu: yang pertama adalah intervensi yang merupakan inisiatif sendiri dari pihak ketiga. Artinya pihak ketiga memiliki suatu inisiatif tersendiri atau kemauan sendiri untuk mengikut sertakan dirinya kedalam proses pemeriksaan di pengadilan. Intervensi dari pihak ketiga dengan inisiatif sendiri terdiri dari dua macam yaitu: tussenkomst dan voeging . Sedangkan macam bentuk intervensi yang kedua adalah intervensi yang dilakukan karena pihak ketiga tersebut ditarik masuk oleh salah satu pihak yang sedang berperkara. Yang termasuk kedalam intervensi jenis ini adalah vrijwaring (penjaminan)[7]

A. Intervensi yang merupakan inisiatif sendiri
Sudah diterangkan sebelumnya bahwa intervensi macam ini terdiri dari dua bentuk intervensi yaitu:

Tussenkomst (Menengahi)

Adalah suatu tindakan masuknya pihak ketiga sebagai pihak yang juga mempunyai kepentingan dengan perkara perdata yang sedang berlangsung di pengadilan. Ia memasukkan dirinya sebagai pihak ketiga karena ia membela kepentingannya sendiri. Pihak ini tidaklah memihak kesalah satu pihak[8], artinya pihak ini tidaklah memihak kepada penggugat maupun kepada tergugat. Mengenai tussenkomst diatur di dalam Pasal 282 RV.

Gugatan yang diajukan oleh pihak ketiga yang tussenkomst adalah gugatan insidentil, dan hakim akan memutuskan apakah gugatan insidentil ini dikabulkan atau tidak dengan putusan sela. Gugatan insidentil dapat ditolak oleh hakim apabila hakim merasa gugatan ini tidak beralasan. Dengan adanya gugatan insidentil disamping dengan gugatan pokok yang telah diajukan maka sebagai konsekuensinya terdapat 2 gugatan yang harus diperiksa serta diputus oleh hakim secara sekaligus.

Contoh dari Tussenkomst adalah sebagai berikut: A yang sebagai pihak penggugat, menggugat B dikarenakan ia melakukan wanprestasi. Wanprestasi yang dilakukan oleh B adalah dengan tidak melakukan kewajibannya dengan memberikan rumah dan tanah yang telah ia jual kepada A, padahal dilain pihak si A telah memberikan uangnya kepada B. C lalu mendengar mengenai gugatan yang diajukan oleh A, karena C juga merasa telah membeli rumah dan tanah tersebut dari B, maka datanglah C ke dalam persidangan untuk mencampuri perkara tersebut sebagai pihak ketiga.

Manfaat dari dilakukannya tussenkomst tersendiri pada pemeriksaan sengketa perdata adalah dimaksudkan agar proses pemeriksaan dari sengketa perdata dapat berjalan lebih mudah dan menghindarkan dari putusan-putusan yang saling bertentangan[9].

Apabila ditinjau dari segi karateristik tussenkomst itu tersendiri, maka dapat disimpulkan bahwa tussenkomst memiliki ciri-ciri sebagai berikut[10]:

  • Sebagai pihak ketiga yang memiliki kepentingan, bermaksud untuk masuk kedalam perkara yang sedang berlangsung di dalam proses persidangan, sebagai pihak yang berdiri sendiri dan bukan merupakan perkara baru.
  • Adanya kepentingan milik pihak ketiga yang terancam dan apabila dibiarkan oleh nya maka ia pun rugi, jadi disini pihak ketiga melawan penggugat dan tergugat sekaligus.
  • Pihak ketiga melawan penggugat dan tergugat sekaligus tetapi ia tidaklah memihak kepada siapa-siapa, ia berada di persidangan semata-mata untuk kepentingan miliknya sendiri.

Setelah mengetahui ciri dari tussenkomst, maka perlu juga untuk mengetahui syarat-syarat dari tussenkomst itu tersendiri agar dapat diterima oleh hakim, yaitu[11]:

  • Merupakan suatu tuntutan hak;
  • Adanya kepentingan hukum langsung dengan sengketa yang sedang berlangsung;
  • Adanya kepentingan untuk mencegah timbulnya kerugian atau kehilagan hak, dengan mengajukan tuntutan baik kepada penggugat dan tergugat.
  • Kepentingan itu sendiri haruslah ada hubungannya dengan pokok sengketa.

Dengan adanya intervensi dari pihak ketiga di dalam suatu proses pemeriksaan perkara di dalam muka pengadilan, maka perdebatan yang berjalan akan menjadi perdebatan segitiga. Pihak yang ingin menjadi pihak ketiga dapat mengemukakan kehendaknya dengan cara tertulis maupun dengan cara lisan.

Voeging Van Partijen (Menyertai)

Adalah ikut sertanya pihak ketiga karena inisiatif dari dirinya sendiri untuk dilibatkan kedalam proses pemeriksaan sengketa perkara perdata di Pengadilan Negeri. Keikutsertaan pihak ini bertujuan dengan keinginan ia untuk membela salah satu pihak yang sedang berperkara[12]. Berarti disini, ia dapat membela atau berpihak kedalam pihak penggugat maupun pihak yang tergugat. Biasanya di dalam voeging keberpihakan ini diberikan kepada pihak tergugat[13]. Hal mengenai voeging diatur di dalam Pasal 279 RV.

Ciri-ciri dari voeging ini tersendiri, adalah sebagai berikut[14]:

  • Pihak ketiga yang masuk kedalam perkara yang juga sedang berlangsung, memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa. Biasanya keberpihakan ini diberikan kepada tergugat melawan penggugat.
  • Pihak ketiga yang mengadakan intervensi tersebut haruslah mempunyai kepentingan hukum guna melindungi dirinya sendiri ketika ia membela salah satu pihak yang sedang bersengketa.
  • Pihak yang mengadakan intervensi haruslah mengajukan gugatan secara tertulis maupun lisan di Pengadilan Negeri untuk bergabung kedalam perkara yang sedang di proses, dan ia harus menggugat salah satu pihak yang sedang berperkara, tetapi di lain pihak ia haruslah melakukan kerjasama dengan pihak lain.

Pengajuan dari permohonan voeging dapat diterima oleh hakim apabila pengajuan tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut[15]:

  • Merupakan tuntutan hak;
  • Adapun kepentingan hukum sendiri dengan jalan memihak atau bergabug kepada salah satu pihak;
  • Adanya maksud untuk melindungi kepentingan hukum miliknya sendiri
  • Kepentingan hukum dari yang melakukan intervensi harus ada hubungannya dengan pokok sengketa antara penggugat dan tergugat.

Contoh yang dapat diberikan pada voeging adalah sebagai berikut, A menggugat B untuk membayar suatu utang. Lalu C mendengan mengenai hal itu, dan C merasa bahwa hal tersebut bukanlah suatu utang tetapi merupakan suatu modal bersama untuk membuat suatu usaha dagang yang dimiliki oleh A, B dan C. Dengan ini C dapat mencampuri gugatan dan memilih untuk memihak dan menggambungkan dirinya terhadap B.

Perbedaan secara mendasar yang dapat dilihat dari voeging dan tussenkomst ini sendiri adalah bahwa di voeging , pihak ketiga yang masuk ke dalam perkara secara langsung melawan salah satu pihak dan menyatakan keberpihakan dirinya dengan pihak lain. Sedangkan tussenkosmst hanya untuk kepentingan diri sendiri tanpa memihak pihak manapun. Hal ini dipertegas dengan pendapat dari Prof. Efa yang mengatakan bahwa[16], voeging atau ikut serta berarti menempatkan diri disamping salah satu pihak bersama-sama dengan pihak ini melawan pihak lain, sedangkan tussenkomst adalah mencampuri atau menempatkan diri di tengah-tengah antara kedua belah pihak.

Vrijwaring (Penjaminan)

Pihak ketiga dapat diikutsertakan apabila salah satu pihak yang sedang bersengketa menarik pihak ketiga ke dalam sengketa. Dapat disimpulkan bahwa ikut serta dari pihak ketiga disini merupakan terpaksa bukan dari kemauan atau keinginan tersendiri[17]. Maksud dari permohonan penanggung ini adalah supaya pihak ketiga yang ditarik dapat membebaskan pihak yang memanggilnya dari kemungkinan akibat putusan tentang pokok perkara[18].

Cara mengajukan permohonan untu vrijwaring adalah dengan cara pihak tergugat dalam jawabannya yang dapat dibuat secara tertulis maupun lisan memohon kepada majelis hakim agar diperkenankan untuk memanggil seseorang sebagai pihak yang juga akan turut ikut berperkara di dalam perkara yang sedang di periksa oleh hakim. Tujuan dipanggil nya pihak ketiga ini adalah untuk melindungi tergugat, misalnya terhadap petitum dimana tergugat dituntut untuk membayar sejumlah uang.

Apabila ditinjau dari buku Prof. Efa maka disebutkan bahwa vrijwaring diatur di dalam Buku I, title I bagian lima dari RV yaitu tepatnya terdapat pada Pasal 70-76. Menurut Prof. Efa vrijwaring terjadi jikalau di dalam suatu perkara di luar kedua belah pihak, yang ditarik masuk kedalam perkara sebagai pihak ketiga[19].

Contoh dari vrijwaring adalah sebagai berikut: A selaku penggugat membeli sebuah TV dari B. Ternyata TV yang dibeli oleh A tersebut memilki cacat yang tersembunyi. B selaku tergugat dan pemilik awal TV tidak mengetahui akan cacat tersembunyi tersebut, karena ia membeli TV itu dari C dan C menyatakan dan memberi jaminan bahwa TV tersebut adalah baru dan tidak cacat. Dengan ini B digugat oleh A untuk membayar ganti rugi TV yang cacat tersebut, tetapi B menarik C untuk menanggung ataupun untuk menjamin B.

Di dalam RV terdapat dua macam vrijwaring, yaitu vrijwaring formal ( garantie formelle ) yang terdapat di dalam Pasal 72 RV dan vrijwaring sederhana ( garantie simple ) yang terdapat di dalam Pasal 74 RV[20]. Keduanya akan dijelaskan secara lebih lanjut sebagai berikut:

  • Garantie Formalle: adalah sebuah vrijwaring yang apabila seseorang diwajibkan untuk menjamin orang lain menikmati suatu hak atau benda terhadap tuntutan yang bersifat kebendaan. Misalnya seorang penjual yang wajib menjamin atau menanggung pembeli terhadap gangguan dari pihak ketiga (Pasal 1492 BW). Vrijwaring jenis ini hanyalah menyangkut akan hak-hak kebendaan saja. Si penanggung dapat menggantikan kedudukan dari si tertanggung di dalam perkara apabila diperbolehkan oleh pihak-pihak asli yang berperkara (Pasal 72 RV). Tertanggung pun dapat meminta untuk dikeluarkan dari perkara apabila ia mendapatkan izin dari sang penggugat.
  • Garantie Simple: Ini dapat terjadi apabila tergugat dikalahkan di dalam sengketa, maka ia mempunyai hak untuk menagih kepada pihak ketiga yang diikut sertakan tersbeut. Dasar tuntutan akan vrijwaring sederhana ini didasarkan atas tuntutan yang bersifat pribadi (Pasal 74 RV). Disini tidak terjadi pergantian kedudukan di dalam sengketa.

Pihak yang diikutsertakan di dalam intervensi vrijwaring ini disebut dengan penanggung, sedangkan pihak yang menarik masuk pihak ketiga ini disebut dengan tertanggung. Apabila di dalam perkara vrijwaring dijatuhkan putusan yang mengalahkan pihak tertanggung, maka sekaligus juga hukuman yang dijatuhkan kepada pihak tertanggung tersebut berlaku juga bagi pihak penanggung. Jadi dua-duanya sama-sama mendapatkan hukuman.

Referensi

[1] HIR ( Herzen Inlandsch Reglement), Pasal 393.

[2] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, CV. Mandar Maju, 2009, hlm 50.

[3] Riduan Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm 34.

[4] Arne Huzaimah Jumanah, dkk, Modul Pendidikan Kemahiran Hukum, IAIN Raden Fatah Pers, Palembang, 2007.

[5] Abdul Hakim, Penyelesaian Perkara Perdata Dengan Adanya Tiga Pihak (Intervensi) Di Pengadilan Negeri, dikutip dari Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 02 No. 01, Maret 2014, ISSN: 2337-7216, hlm 3.

[6] R. Sutantio dan I. Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 1982, hlm 42.

[7] Puri Galih Kris Endarto, Tinjauan Yuridis Gugatan Intervensi Tussenkomst Sebagai Upaya Hukum Alternatif Dalam Gugatan Hukum Acara Perdata Biasa, dikutip dari Jurnal Pandecta Vol 5 No. 2, Juli 2010, ISSN: 1907-8919, hlm 161.

[8] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op. cit, hlm 52.

[9] Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1989 hlm 338.

[10] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkup Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2006, hlm 58.

[11] Inyoman Darmadha, Pengaturan Lembaga Interventie Dalam Pemeriksaan Perkara Perdata di Pengadilan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, 2015-2016, hlm 11.

[12] Puri Galih Kris Endarto, Op. cit, hlm 162.

[13] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cahaya Atma Pustaka, 2013, hlm 83.

[14] Abdul Manan, Op. cit, hlm 60.

[15] I Nyoman Darmadha, Op. cit, hlm 10.

[16] Efa Laela Fakhriah, Perbandingan HIR dan Rbg Sebagai Hukum Acara Perdata Positif Di Indonesia, Keni Media, Bandung, 2016, hlm 41.

[17] Sudikno Mertokusumo, Op. cit, hlm 85.

[18] R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara Dan Proses Persidangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 18-19.

[19] Efa Laela Fakhriah, Op. cit.

[20] Sudikno Mertokusumo, Op. cit.