Pertimbangan apa saja yang harus dipikirkan dalam pemberian antibiotika?

image

Antibiotika dapat resisten bila penggunaannya tidak sesuai dengan kebutuhan dan tidak dengan cara yang benar. Apa saja pertimbangan yang harus dipikirkan dalam pemberian antibiotika pada pasien?

Penggunaan antibiotik dalam pengobatan untuk manusia sudah dimulai sejak tahun 1940. Selama 63 tahun, penggunaan antibiotik semakin luas. Hal ini mengakibatkan meluasnya potensi resistensi bakteri.

Antibiotik memiliki dua efek utama, secara terapeutik obat ini menyerang organisme infeksius dan juga mengeliminasi bakteri lain yang bukan penyebab penyakit. Efek lainnya adalah menyebabkan perubahan keseimbangan ekosistem antara strain yang peka dan yang resisten, konsekuensinya adalah gangguan ekologi mikrobial alami. Perubahan ini menyebabkan timbulnya jenis bakteri yang berbeda jenisnya atau varian resisten dari bakteri yang sudah ada.

Penggunaan antibiotik dalam jumlah yang banyak dan penggunaannya yang salah diduga sebagai penyebab utama tingginya jumlah patogen dan bakteri komensal resisten di seluruh dunia.

Konsep mengontrol penggunaan obat ini sering disebut dengan pengobatan yang rasional. Atau secara sederhana diartikan sebagai “meresepkan obat yang tepat, dalam dosis yang adekuat untuk durasi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan klinis pasien serta dengan harga yang paling rendah”.

Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) Global Strategy, penggunaan anti-biotik yang tepat adalah penggunaan antibiotik yang efektif dari segi biaya dengan peningkatan efek terapeutik klinis, meminimalkan toksisitas obat dan meminimalkan terjadinya resistensi.

Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pemberian antibiotik adalah sebagai berikut :

Efek Samping Antibiotik

Efek samping dapat berupa efek toksik, alergi, atau biologis. Efek samping seperti paralisis respiratorik dapat terjadi setelah instilasi neomicin, gentamicin, tobramycin, streptomycin atau amikacin secara intraperitoneal atau intrapleural. Erithromycin estolac sering menyebabkan hepatitis kolestatik.

Antibiotik seperti rifampicin, cotrimoxazole dan isoniazide potensial hematotoksik dan hepatotoksik.

Pemakaian chloramphenicol yang melampaui batas keamanan akan menekan fungsi sumsum tulang dan berakibat anemia dan neutropenia. Anemia aplastik secara eksplisit merupakan efek samping yang dapat mengakibatkan kematian pasien setelah pemakaian chloramphenicol.

Efek samping alergi terutama disebabkan oleh penggunaan penicilin dan cephalosporin. Keadaan yang paling jarang adalah kejadian syok anafilaktik. Kejadian yang lebih sering timbul adalah ruam dan urtikaria.

Efek samping biologis disebabkan karena pengaruh antibiotik terhadap flora normal di kulit maupun di selaputselaput lendir tubuh. Biasanya terjadi pada penggunaan obat antimikroba berspektrum luas. Di lingkungan rumah sakit selalu dikhawatirkan penyebaran dari jenis kuman Meticillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA).

Enterokolitis yang berat dan yang membutuhkan pengobatan intensif dapat juga disebabkan oleh penggunaan antibiotik seperti clindamycin, tetracycline dan obat antibiotik berspektrum luas lainnya.

Aspek Mikrobiologik

Kuman Jenis kuman patogen hendaknya diidentifikasi sebelum dimulainya terapi. Pemeriksaan biakan dan resistensi sebaiknya dilakukan sebelum pemberian terapi, namun karena hasilnya membutuhkan waktu lama maka terapi empirik dapat diberikan dengan panduan pemeriksaan yang lebih sederhana seperti pewarnaan gram.

Dalam pemilihan antibiotik untuk terapi empirik, data mikrobiologi khususnya mengenai pola kepekaan kuman dan data patogen resisten di rumah sakit setempat merupakan hal yang sangat penting. Pola kepekaan kuman yang berasal dari komunitas atau kuman nosokomial terhadap tiap jenis antibiotik merupakan panduan untuk menentukan antibiotik yang akan diberikan dalam terapi empirik. Semakin luas cakupan suatu antibiotik terhadap patogen akan meningkatkan probabilitas keberhasilan pengobatan.

Selain data mengenai pola kepekaan, data surveilans patogen resisten baik yang berasal dari komunitas (misalnya penicillin resistance S.pneumoniae/PRSP) atau kuman nosokomial (methicillin resistance S.aureus/MRSA), extended spectrum beta-lactamase/ESBL juga merupakan pertimbangan dalam menentukan pilihan antibiotik.

antibiotik

Aspek Penderita

Beberapa aspek dari penderita perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik, antara lain derajat infeksi, tempat infeksi, usia, berat badan, faktor genetik, penyakit komorbid, status imunitas, adanya kehamilan atau laktasi, riwayat alergi dan faktor sosio ekonomi.

  • Dari segi derajat infeksi pada penderita, perlu diperhatikan berat ringannya infeksi dari gejala klinik, jenis dan patogenitas mikroba, serta status imunitas penderita. Pada infeksi ringan, pemberian antibiotik tidak perlu diberikan seketika. Penundaan pemberian antibiotik justru akan memberikan kesempatan kepada tubuh untuk merangsang timbulnya mekanisme kekebalan tubuh. Namun pada infeksi yang berat dan atau telah berlangsung lama, terapi antibiotik dapat segera dimulai.

  • Tempat infeksi juga mempengaruhi pertimbangan pemberian antibiotik seperti organ yang memiliki vaskularisasi sedikit seperti tulang, atau organ yang memiliki sawar khusus seperti susunan saraf pusat. Pada organ tersebut, pemberian antibiotik harus meliputi antibiotik yang dapat menembus lapisan tersebut sehingga obat dapat bekerja secara efektif. Selain itu adanya abses, jaringan nekrotik, mukus yang banyak, benda asing, dan sebagainya juga dapat mengurangi efektifitas kerja antibiotik sehingga diperlukan tindakan seperti pembersihan luka insisi dan sebagainya sebelum antibiotik diberikan.

  • Usia juga mempengaruhi pertimbangan dalam pemberian antibiotik. Pada neonatus karena kerja berbagai organ seperti hepar dan ginjal yang belum sempurna akan meningkatkan risiko terjadinya toksisitas dari obat. Demikian pula pada usia lanjut dengan adanya penurunan berbagai fungsi organ karena proses penuaan.

  • Adanya penyakit komorbid seperti kelainan hati atau ginjal juga harus diperhatikan karena dapat menurunkan efektifitas obat dan memperberat efek toksisitas. Selain itu, kelainan genetik seperti defisiensi enzim Glucose-6-Phospate Dehydrogenase (G6PD) juga dapat menimbulkan anemia hemolitik pada pemberian antibiotik tertentu seperti chloramphenicol dan sulfonamide.

  • Status imunitas baik imunitas selular maupun humoral pada penderita harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis antibiotik. Pada penderita yang imunokompeten, antibiotik dengan efek bakteriostatik mungkin cukup efektif untuk mengendalikan infeksi tertentu, sedangkan pada pasien dengan penurunan status imun, pada infeksi yang sama mungkin diperlukan antibiotik dengan efek bakterisidal untuk mengatasinya.

  • Adanya kehamilan dan laktasi akan mempengaruhi pemilihan antibiotik karena beberapa antibiotik dapat menembus sawar darah plasenta dan masuk ke peredaran darah janin serta menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti efek teratogenik dan sebagainya. Ibu hamil juga pada umumnya lebih peka terhadap pengaruh obat obat tertentu, termasuk antibiotik. Demikian pula dengan laktasi, karena beberapa antibiotik juga dapat ditemukan dalam air susu. Untuk itu, pertimbangan baik untuk ibu maupun janin harus diperhatikan untuk menghindari efek yang tidak diinginkan.

  • Dalam pertimbangan biaya, selain harga obat harus pula diperhatikan lama dan interval pemberian obat, sehubungan dengan jumlah obat yang diperlukan. Biaya pengobatan tersebut merupakan salah satu aspek sosioekonomi dari suatu penyakit.

Pola Pemberian Antimikroba

Berdasarkan ketiga aspek tersebut maka antibiotik dapat diberikan berdasarkan beberapa pola tertentu, antara lain : direktif, kalkulatif, interventif, omnisprektif dan profilaktif.

  • Pada terapi antibiotik direktif, kuman penyebab infeksi sudah diketahui dan kepekaan terhadap antibiotik sudah ditentukan, sehingga dapat dipilih obat antibiotik efektif dengan spektrum sempit. Kesulitan yang akan dihadapi adalah tersedianya fasilitas pemeriksaan mikrobiologis yang cepat dan tepat.

  • Terapi antibiotik kalkulatif memberikan obat secara best guess. Dalam hal ini, pemilihan harus didasarkan pada antibiotik yang diduga akan ampuh terhadap mikroba yang sedang menyebabkan infeksi pada jaringan atau organ yang dikeluhkan. Penilaian keadaan klinis yang tepat dan kemungkinan kuman penyebab sangat penting dalam penerapan terapi antibiotik kalkulatif.

  • Pada infeksi tertentu metoda penggunaan antibiotik harus selalu berpedoman pada sebuah protokol pemberian antibiotik dan dapat menambah kelompok obat antibiotik lainnya. Bila respon yang didapat tidak memuaskan, maka protokol-protokol ini akan menyesuaikan dengan perkembangan dan pengalaman terkini tentang penggunaan berbagai jenis antibiotik baru. Cara pengobatan ini dikenal sebagai terapi antimikrobial interventif.

  • Terapi antibiotik omnispektrif diberikan bila hendak dijangkau spektrum antibiotik seluas-luasnya dan dapat diberikan secara empirik. Beberapa keadaan yang membutuhkan terapi ini yaitu infeksi pada leukemia, luka bakar, peritonitis dan syok septik. Sebagai terapi profilaksis, obat antibiotik dapat digunakan untuk mencegah infeksi baru pada seseorang atau untuk mencegah kekambuhan dan terutama digunakan untuk mencegah komplikasikomplikasi serius pada waktu dilakukan tindakan pembedahan.

Pemberian antibiotik secara rasional meliputi pemilihan tepat jenis, dosis, cara pemberian dan penghentian obat yang berkualitas baik yang manfaatnya sudah terbukti, aman pada pemakaian dan terjangkau harganya oleh pasien.

Golongan obat yang paling banyak digunakanan di dunia adalah antibiotika. Diperkirakan lebih dari seperempat anggaran rumah sakit dibelanjakan untuk kebutuhan antibiotika ( WHO, 2003). Pemakaian antibiotika secara rasional mutlak menjadi keharusan. Kerasional pemakaian antibiotik tersebut meliputi tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis dan waspada efek samping obat. Pemakaian antibiotik yang tidak rasional akan menyebabkan munculnya banyak efek samping dan mendorong munculnya bakteri resisten.

Salah satu efek samping yang ditakutkan dari antibiotika adalah munculnya bakteri yang resisten terhadap antibiotika tersebut. Munculnya resistensi ini akan merugikan pasien dan beban Negara menjadi lebih besar. Sebagai gambaran, pemerintah USA mengeluarkan tambahan 20 milyar USD untuk menanggung biaya kesehatan, 35 milyar USD untuk biaya sosial karena reistensi ini, dan terjadi kematian 2x lebih besar karena resistensi antibiotika ini ( APUA, 2010).

Data di Inggris, menyebutkan bahwa seseorang yang menderita resistensi terhadap satu macam antibiotika, menangung biaya sebesar 3,62 pound dibanding jika tidak terjadi resistensi. Data di Indonesia belum ada penelitian yang mengeksplorasi beban yang harus ditanggung pasien maupun Negara akibat resistensi ini.

Data-data resistensi bakteri terhadap antibiotika di sebuah rumah sakit wilayah Surakarta adalah sebagai berikut: dari 42 jenis antibiotika hanya 8 antibiotika yang mempunyai sensitivitas di atas 50%.

Datanya sebagai berikut:

  • kotrimoksasol : 58,97%
  • ofloksasin : 58,33%
  • clorampenicol : 57,33%
  • doksisiklin : 56,92%
  • clavamok (amoksilin+ asam clavulanat) : 55%
  • ceftriakson : 54,17%
  • cefuroksim : 53, 03%
  • azitromisin : 51,85%

Total resistensi bakteri terhadap gram negative adalah 67,80%, dan terhadap gram positif 47,73% (Rizal, 2010).

Mekanisme kerja antibiotic bermacam-macam, antara lain (Kuswandi, 2011):

  1. Bakteri menghasilkan enzim betalaktamase yang memecah cincin betalaktam darai anti biotika, contohnya adalah penisilin

  2. Menhambat pengikatan antibiotika pada ribososm bakteri sehingga terjadi kegagalan proses translasi: streptomisin

  3. Mutasi pada bakteri sehingga antibiotika gagal membentuk dinding peptidoglikan (vankomisin)

  4. Mutasi dari bakteri yang menyebabkan perubahan penisilin binding protein (PBP) sehhingga penisislin gagal mengikat PBP (penisilin)

  5. Produksi target berlebihan. Bakteri yang rseisten terhadap antibiotika sulfonamamid dikarenakan bakteri tersebut mampu membentukl para aminobenzoic acid berlebihan. Bakteri yang resisten terhadap trimetropim disebabkan karena bakteri tersebut memproduksi enzim dihidrofolat reduktase berlebihan.

  6. Bakteri meproduksi porin yang sempit sehingga antibiotika tidak bisa masuk kedalam sel misalnya starin tertentu dari E.coli

  7. Mutasi bakteri yag menyebabkan perubahan pada gena pengkode enzim yang memetabolisme bakteri, ciontohnay mutasi bakteri pada gena pengkode KatG sehingga isoniazid gagal membunuh bakteri

  8. Balter membentuk protein yang melindungi target obat, contohnya rsistensi sifrofloksasin karena bakteri membentuk protein yang mengikat DNA polymerase

Salah satu penyebab meningkatnya kejadian resistensi adalah penggunaan antibiotika yang tidak rasional. Kesalahan bisa pada dokter pemberi resep, apoteker dan pada regulasi peredaran obat (baca antibiotika)

Untuk meresepkan antibiotika 3 hal yang harus diperhatikan adalah:

  1. Apakah antibiotika memang diperlukan?
  2. JIka memang antibiotika diperlukan, pilihan antibiotika yang paling rasional apa (first choice)
  3. Efektifkah pemberian antibiotika tersebut Apakah antibiotika diperlukan

Hal yang perlu diingat untuk menjawah hal di atas adalah:

  1. Antibiotika hanya untuk infeksi bakterial
  2. Antibiotika bukan untuk infeksi virus
  3. Tidak semua demam disebabkan oleh infeksi bakterial
  4. Tidak ada bukti bahwa antibiotika dapat mencegah infeksi sekunder bakteri karena pada penderita dengan infeksi virus

Demam, Perlukah antibiotika?

Systematic review yang melibatkan 1638 anak, menyatakan penyebab demam adalah (Chow & Robinson, 2011):

  1. 6% malignansi
  2. 9% collagen vascular disease
  3. 11% miscelaneus non infeksi
  4. 51% infeksi dimana 20,91% non bakteri, 30,09 % bakteri
  5. 23% undiganosis

Infeksi saluran nafas atas (ISPA)/upper respiratory tranct infection (URTI), perlukah antibiotika? Sembilan (9) RCT (randomized controlled trial) yang melibatkan 2249 pasien, meyimpulkan:

  • Tidak cukup bukti manfaat penggunaan antibiotika pada URTI
  • Terdapat cukup bukti peningkatan resiko adverse effect penggunaan antibiotika pada URTI

Bagaimana memilih antibiotika? (antibiotika first choice)

Dalam memilih antibiotika maka perlu mempertimbangkan beberapa faktor antara lain:

  1. Jenis bakteri
    Pemilihan antibiotika berdasar jenis bakteri

    • Jika bakteri penyebab infeksi teridentifikasi, maka dipilih antibiotika sesuai spektrumnya atau sensitivitasnya

    • Ingat: antibiotika yang efektif untuk infeksi berat belum tentu efektif untuk infeksi ringan Pemilihan antibiotika berdasar faktor antibiotika.

    Beberapa kaidah pemilihan antibiotika yang harus diperhatikan adalah:

    • Pertimbangkan profil farmakokinetik dan dinamik antibiotika
    • Pertimbangkan kemungkinan toksisitas/kemungkinan adverse effectnya
    • Pertimbangkan interaksi obat
    • Pertimbangkan harga obat

    INGAT: Tidak ada universal antibiotics. Antibiotika generasi terbaru belum tentu lebih baik dari generasi awal

  2. Faktor antibiotika
    Pemilihan antibiotika berdasar jenis antibiotika

    Perlu dipertimbangkan apakah antibiotika termasuk concentration dependent atau time dependent. Antibiotika kelompok concentration dependent contohnya aminoglikosida, klindamisin, macrolide, quinolone, tetrasiklin, sedang antibiotika time dependent contohnya penisilin, carbapenem, sefalosporin, monobactam.

    Bagaimana dengan Sefalosporin?

    Sampai saat ini sefalosporin telah sampai generasi IV. Beberapa contoh dari masing masing generasi adalah, generasi I: cefadroksil, cefaleksin, cefazolin, generasi II: cefaclor, cefuroksim, generasi III: cefotkasim, ceftriakson, cefixime, Generasi IV: cefepim. Sefalosporin generasi awal, lebih kuat efek terhadap gram +, disbanding generasi berikutnya, sedang sefalosporin generasi akhir lebih kuat terhadpa gram -.

    Contoh pemilihan antibiotika berbasis evidence (evidence based medicine)

    1. Penyakit UTI (urinary tract infection)
      Antibiotika profilkasi yang direkomendasikan untuk pengobatan pada wanita dengan recurent urinary tract infection adalah (Annette et al., 2010):

      Trimetprim-sulfametoksazol : 160/800mg 2x/hari selama 3 hari
      Ciprofloksain :250mg 2x/hari selama 3 hari
      Norfloksazin : 200mg 2x/hari selama 3 hari

    2. Thyfoid

      Antibiotika yang direkomendasikan adalah (Santillan et al., 2000):

      I. Cefixime
      II. Fluorquinolon
      III. Clorampenicol
      IV. Kotrimoksazol
      V. Amoksilin

  3. Faktor Manusia
    Tiga titik rawan penyebab penggunaan antibiotika yang tidak rasional:

    1. Faktor dokter yang tidak professional,
    2. Faktor apoteker yang tidak professional,
    3. Faktor pasien yang tidak cerdas.

    Untuk meminimalisir penggunaan obat yang tidak rasional, maka dapat dilakukan usaha-usaha antara lain

    1. Meningkatkan kompetensi dokter,
    2. Meningkatkan kompetensi apoteker,
    3. Pembelajaran pasien.

Sumber : Dr.dr.EM Sutrisna,MKes, Penggunaan Antibiotika secara Rasional

Daftar Pustaka
  • Annette, Saskatoon,Larochelle, A., Lambert, St., 2000, Recurrent Urinary Tract Infection, JOGC
  • APUA, 2010, antibiotic-resistant infection cost the U.S. health care system over $20 billion each year, www.apua.org
  • Chow, A., and Robinson, J.L., 2011, Fever of unknown origin in children: a systematic review, World J Pediatr, Vol 7 No 1
  • Kuswandi, 2011, strategi mengatasi bakteri yang resisten terhadap antibiotika, pidato pengukuhan gurubesar UGM.
  • Rizal, 2010, Microbial pattern and antimicrobial resistance of isolates collected from various specimen in DR. OEN Solo Baru, Hospiatl, Surakarta, The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.7. 392-399
  • Santillan, R.M., Garcia, G.R., Benavente, I.H., Garcia, E.M., 2000, Efficay of cefixime in the therapy of
  • thyfoid fever, Proc. West pharmacol.Soc, 43:65-66.
  • WHO, Drug And Therapeutic Committees; A Practical Guide, Department of Essential Drugs and Medicines Policy Geneva, Switzerland, 2003