Perkawinan: Pendorong ataukah Perintang Kehidupan Beragama?

Pernikahan Islam

Perkawinan memainkan peranan besar dalam kehidupan manusia sehingga ia perlu diperhitungkan saat kita membahas tema spiritualitas. Kita akan membahasnya dari dua aspek yang berlawanan, yaitu keuntungan dan kerugiannya.

Ada beberapa keuntungan yang didapat dari perkawinan:

Pertama, kita tahu bahwa Allah menciptakan manusia dan jin untuk beribadah. Berkat perkawinan, jumlah para penyembah Allah semakin bertambah banyak. Karena itu, ada sebuah pepatah yang dikenal di antara para ahli kalam: sibukkan dirimu dalam tugas-tugas perkawinan ketimbang dalam ibadahiibadah sunat.

Kedua, Nabi saw. bersabda,

“Doa anak-anak bermanfaat untuk orangtuanya saat keduanya telah meninggal, dan anak-anak yang meninggal sebelum orangtuanya akan memintakan ampun bagi keduanya di Hari Pengadilan.”

Dalam riwayat yang lain Nabi bersabda,

“Ketika seorang anak diperintah untuk masuk surga, ia menangis dan berkata, ‘Aku tak mau masuk jika tidak beserta ayah dan ibu.’”

Dan diriwayatkan bahwa suatu hari Nabi saw. menarik dengan keras lengan seseorang ke arah dirinya sambil bersabda,

“Begitulah anak-anak akan menarik orangtuanya ke surga.”

Lalu beliau menambahkan,

“Anak-anak antri berdesakan di pintu surga seraya menjerit memanggil ayah dan ibunya sehingga orangtua yang masih berada di luar diperintah untuk masuk dan bergabung dengan anak-anak mereka.”

Dikisahkan bahwa seorang wali yang termasyhur suatu ketika memimpikan Hari Kiamat telah tiba. Matahari mendekat ke bumi dan manusia mati karena dahaga. Sekelompok anak-anak berjalan kian kemari memberikan air dari cawan emas dan perak. Tetapi ketika sang wali meminta, mereka tak mau memberi. Salah seorang anak itu berkata kepadanya,

“Tak ada anakmu di antara kami.”

Segera setelah bangun, ia beri tekad untuk menikah.

Ketiga, melalui perkawinan setiap pasangan akan merasakan ketenangan dan ketenteraman. Duduk bersama dan memperlakukan istri dengan baik merupakan perbuatan yang memberi kita rasa santai setelah melakukan tugas-tugas keagamaan. Dan, setelah itu, kita bisa kembali beribadah dengan semangat baru. Itu pulalah yang dilakukan baginda Nabi saw.: ketika beban berat wahyu mengimpitnya, ia menyentuh istrinya Aisyah dan berkata:

“Bicaralah kepadaku wahai Aisyah, bicaralah!”

Rasul benar-benar menyadari bahwa sentuhan kemanusiaan yang hangat akan memberinya semangat dan kekuatan untuk menerima wahyu-wahyu baru. Untuk alasan yang sama ia sering meminta Bilal untuk mengumandangkan azan dan kadang-kadang ia menghirup wewangian yang harum. Dalam sebuah hadisnya yang terkenal beliau bersabda,

“Tiga hal yang aku cintai di dunia ini: wewangian, wanita, dan kenikmatan dalam salat.”

Suatu kali Umar bertanya kepada Nabi tentang hal-hal yang paling penting untuk dicari di dunia ini. Beliau saw. menjawab:

“Lidah yang selalu berzikir kepada Allah, hati yang penuh rasa syukur, dan istri yang amanat.”

Dengan berumah tangga, seseorang akan mendapatkan istri yang akan membantunya memelihara rumah, memasak, mencuci, menyapu, dan sebagainya. Jika ia melakukan semua itu sendirian, ia tak bisa mencari ilmu, berdagang, atau melakukan aktivitas lain. Untuk alasan inilah Abu Sulaiman berkata,

“Istri yang baik tidak hanya menjadi rahmat di dunia ini, tetapi juga di akhirat, karena ia memberikan waktu senggang kepada suaminya untuk memikirkan akhirat.”

Bahkan, Khalifah Umar r.a. begitu memuliakan kedudukan istri salihah dengan mengatakan bahwa

“Setelah iman, tidak ada rahmat yang bisa menyamai istri salihah.”

Perkawinan juga dapat melatih seorang laki-laki untuk bersabar menghadapi istri dei ngan segala aktivitasnya yang khas, memberinya segala yang dibutuhkannya, dan menjaga agar mereka tetap berada di jalan hukum. Semua itu merupakan bagian yang amat penting dari agama. Nabi saw. bersabda;

“Memberi nafkah kepada istri lebih penting daripada memberi sedekah.”

Suatu kali, ketika Ibn Mubarak berpidato di hadapan pasukan yang hendak berperang melawan orang kafir, seorang sahabatnya bertanya,

“Adakah pekerjaan lain yang memberi ganjaran lebih dibanding jihad?”

“Ya,” ujarnya, “yaitu memberi makan dan pakaian kepada istri dan anak dengan sepatutnya.”

Waliyullah yang termasyhur, Bisyr ali Hafi, berkata,

“Lebih baik bagi seseorang untuk bekerja bagi istri dan anak daripada bagi dirinya sendiri.”

Dalam hadis diriwayatkan bahwa beberapa dosa hanya bisa ditebus dengan menanggung tugas-tugas domestik.

Dikisahkan bahwa seorang wali ditinggal mati istrinya dan ia tak hendak menikah lagi meski orang-orang mendesaknya seraya berkata bahwa dengan begitu ia akan lebih mudah memusatkan diri dan pikirannya di dalam uzlah.

Pada suatu malam ia bermimpi melihat pintu surga terbuka dan beberapa malaikat turun mendekatinya. Salah satunya bertanya,

“Inikah orang celaka yang egois itu?”

malaikat lain menjawab:

“Ya, inilah dia.”

Ia terkejut setengah mati sehingga tak sempat menanyakan siapakah yang mereka maksud. Tiba-tiba seorang anak laki-laki lewat dan berkata kepadanya,

“Engkaulah yang sedang mereka bicarakan. Seminggu yang lalu perbuatan-perbuatan baikmu dicatat di surga bersama para wali yang lain, tetapi sekarang mereka telah menghapuskan namamu dari buku catatan itu.”

Setelah terjaga dengan pikiran penuh tanda tanya, ia segera berencana untuk menikah lagi. Semua penjelasan di atas menunjukkan betapa pentingnya perkawinan.

Sekarang mari kita bahas sisi negatif perkawinan. Salah satunya adalah kekhawatiran, terutama di masa sekarang, seorang suami mesti mencari nafkah dari jalan yang haram untuk menghidupi keluarganya, padahal dosa seperti ini tak dapat ditebus dengan perbuatan baik apa pun. Nabi saw. bersabda bahwa pada Hari Kebangkitan akan ada laki-laki yang membawa tumpukan perbuatan baik setinggi gunung dan menempatkannya di dekat Mizan. Ketika ditanya,

“Bagaimana kauhidupi keluargamu?”

Ia tak bisa memberi jawaban yang memuaskan. Akibatnya, semua perbuatan baiknya dihapus dan dikatakan kepadanya,

“Inilah orang yang keluarganya telah menelan semua perbuatan baiknya!”

Dampak negatif lainnya muncul disebabkan kegagalan seseorang memperlakukan istri dan anggota keluarganya. Hanya orang yang bertabiat baik yang dapat memperlakukan keluarganya dengan baik dan sabar serta menyelesaikan setiap masalah yang dihadapinya. Memperlakukan keluarga dengan kasar atau mengabaikan mereka termasuk dosa besar. Nabi saw. bersabda,

“Seseorang yang meninggalkan istri dan anak-anaknya adalah seperti budak yang lari. Sebelum ia kembali kepada mereka, puasa dan salatnya tidak akan diterima oleh Allah.”

Ringkasnya, karena semua manusia punya sifat-sifat rendah, orang yang tak bisa mengendalikan sifat-sifat itu tak layak memikul tanggung jawab untuk mengendalikan orang lain (menikah). Ketika seseorang menanyakan kenapa ia tidak menikah, Bisyr al Hafi menjawab,

“Aku takut akan ayat Alquran yang berbunyi: ‘hak-hak wanita atas laki-laki persis sama dengan hak-hak laki-laki atas wanita’.”

Dampak negatif lainnya muncul ketika urusan keluarga memalingkan seseorang dari mengingat Allah. Sering kali urusan keluarga menghalangi manusia untuk memusatkan perhatiannya kepada Allah dan akhirat. Dan sangat mungkin urusan keluarga akan menyeretnya ke jurang kehancuran kecuali ia berhati-hati. Allah telah berfirman,

“Jangan sampai istri dan anak-anakmu memalingkanmu dari mengingat Allah.”

Orang yang berpikir bahwa dengan tidak menikah ia bisa menjalankan ibadah secara lebih baik, ia boleh membujang; dan orang yang takut terjatuh ke dalam dosa jika tidak menikah maka menikah menjadi jalan terbaik baginya.

Agar perkawinan menjadi jalan keselamatan, seseorang harus memerhatikan calon istri yang hendak dinikahinya. Ada beberapa sifat utama yang mesti dimiliki seorang istri. Yang pertama dan yang paling penting adalah kesucian akhlak. Jika istrimu berakhlak buruk dan kau diam saja maka namamu akan tercoreng dan agamamu akan rusak. Jika kau menegurnya, kehidupanmu akan terganggu. Dan bila kauceraikan, kau pasti bersedih karena mesti berpisah dengannya. Seorang istri yang cantik tetapi berakhlak buruk adalah bencana yang teramat besar sehingga mencerainya menjadi jalan yang terbaik. Nabi saw. bersabda,

“Orang yang mencari istri karena kecantikan atau kekayaannya pasti akan kehilangan keduanya.”

Sifat yang kedua adalah tabiat yang baik. Istri yang bertabiat buruk—tidak berterima kasih, suka bergunjing, atau angkuh—akan menjadikan kehidupan rumah tangga layaknya neraka dan pasti akan menghalangi kemajuan seseorang dalam perjalan ruhaninya.

Sifat ketiga yang harus dicari adalah kecantikan, yang dapat menimbulkan cinta dan kasih sayang. Karenanya, seseorang harus melihat calon istrinya sebelum menikahinya.

Nabi saw. bersabda,

“Wanita-wanita dari suku ini dan itu punya cacat di mata mereka. Orang yang ingin menikahi seseorang di antara mereka mesti melihatnya dulu.”

Seorang bijak berkata bahwa menikah tanp alebih dulu melihat calon istri pasti akan melahirkan penyesalan. Memang benar bahwa kita tak seharusnya menikah demi kecantikan, tetapi hal ini tidak menafikan arti penting kecantikan.

Sifat lainnya berkaitan dengan persoalan mahar yang diminta seorang istri. Mahar paling baik adalah yang pertengahan. Nabi saw. bersabda,

“Wanita yang paling baik untuk diperistri adalah yang cantik namun kecil maharnya.”

Beliau sendiri memberi mahar kepada beberapa calon istrinya sekitar sepuluh dirham, dan mahar putri-putri beliau sendiri tidak lebih dari empat ratus dirham.

Sifat-sifat lain yang harus dimiliki seorang istri adalah berasal dari keturunan baik-baik, sepenuhnya belum menikah, dan hubungan keluarga dengan calon suaminya tidak terlalu dekat.

Karena perkawinan berperan penting dalam kehidupan seseorang, beberapa hal berikut ini penting untuk diperhatikan:

Pertama, karena perkawinan merupakan satu institusi keagamaan, ia mesti diperlakui kan secara keagamaan. Jika tidak, pertemuan antara laki-laki dan wanita itu tak lebih baik dari kawinnya hewan. Syariat memerintahkan agar seseorang menggelar perjamuan dalam perkawinannya. Ketika Abdurrahman ibn Auf menikah, Nabi saw. berkata kepadanya,

“Gelarlah jamuan nikah meski hanya dengan seekor kambing.”

Ketika Nabi saw. menikah dengan Shafiyah, beliau menggelar jamuan meski hanya dengan kurma dan gandum. Demikian pula, perkawinan sebaiknya dimeriahkan dengan permainan musik seperti tabuhan rebana, karena manusia adalah mahkota penciptaan.

Kedua, suami mesti bersikap baik kepada istrinya. Ini tidak berarti ia tidak boleh menyakitinya, namun ia harus sabar menanggung semua perasaan tidak enak yang diakibatkan istrinya, baik karena sikapnya yang tidak masuk akal atau sikap tak berterimai kasihnya. Wanita diciptakan lemah dan butuh perlindungan. Karenanya, ia mesti diperi lakukan dengan sabar dan terus dilindungi. Nabi saw. bersabda,

“Orang yang sabar menanggung kekesalan akibat sikap istrinya akan memperoleh pahala sebesar yang diterima Ayub a.s. atas kesabarannya menanggung ujian.”

Menjelang ajal menjemputnya, Nabi saw. bersabda,

“Berdoalah dan perlakukan istrimu dengan baik, karena mereka adalah tawananmu.”

Beliau sendiri selalu menghadapi tingkah laku istri-istrinya dengan sabar. Suatu hari istri Umar marah dan mengomelinya, Umar berkata kepadanya,

“Hai kau yang berlidah tajam, berani kau mendebatku?”

Istrinya menjawab, “Ya, penghulu para nabi lebih baik darimu, dan istri-istrinya mendebatnya.”

Lalu Umar berkata,

“Celakalah Hafshah (Putrinya, istri Nabi saw.) jika ia tidak merendahkan dirinya.”

Dan ketika berjumpa Hafshah, ia berkata,

“Awas, jangan pernah kau mendebat Rasulullah.”

Nabi saw. juga berkata,

“Yang terbaik di antaramu adalah yang paling baik memperlakukan keluarganya, dan akulah yang terbaik kepada keluargaku.”

Ketiga, suami mesti membolehkan istrinya beristirahat, rekreasi, dan menikmati kesenangannya. Nabi saw. sendiri pernah berlomba lari dengan istrinya, Aisyah. Pada kali pertama Nabi saw. mengalahkan Aisyah dan pada kali kedua, Aisyah mengalahkani nya. Di waktu lain, beliau menggendong Aisyah agar ia bisa melihat beberapa orang Arab negro menari. Kenyataannya, kita akan sulit menemukan suami yang begitu baik kepada istrinya seperti yang dicontohkan Nabi saw. Seorang bijak berkata,

“Seorang suami mesti pulang dengan wajah yang ceria dan makan apa saja yang telah disediakan tanpa menuntut yang tidak ada.”

Meski demikian, ia pun tak boleh bersikap terlalu lemah sehingga istrinya tak lagi menghargainya. Jika istrinya berbuat salah, ia harus segera menegurnya. Jika tidak, ia akan menjadi bahan cemoohan. Alquran menyatakan,

“Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita,”

dan Nabi saw. bersabda,

“Celakalah laki-laki yang menjadi pelayan istrinya,”

karena istrilah yang seharusnya melayani suami. Seorang bijak berkata,

“Bertanyalah kepada perempuan dan lakukan berkebalikan dengan nasihatnya.”

Memang kebanyakan wanita cenderung suka menentang; dan jika dibiarkan sekejap saja, mereka akan melepaskan diri dari kendali dan sulit disadarkan kembali. Wanita harus diperlakukan secara tegas sekaligus penuh kasih, dan utamakanlah sikap lemah lembut. Nabi saw. bersabda,

“Wanita diciptakan bak tulang iga yang bengkok. Jika kau memaksa meluruskannya, ia akan patah; jika kaubiarkan, ia tetap bengkok. Karena itu, perlakukanlah ia dengan penuh kasih sayang.”

Keempat, suami harus berhati-hati agar tidak membiarkan istrinya dipandang atau memandang orang asing, karena semua kerusakan berawal dari pandangan. Sebisa mungkin jangan izinkan ia keluar rumah, nongkrong di loteng, atau berdiri di pintu. Meski demikian, jangan mencemburuinya atau menekannya terlalu berlebihan. Suatu hari Nabi saw. bertanya kepada anaknya, Fatimah,

“Apakah yang terbaik bagi wanita?”

Ia menjawab,

“Mereka tidak boleh menemui atau ditemui orang asing.”

Nabi saw. senang mendengar jawabannya dan memeluknya seraya berkata,

“Sungguh, engkau bagian hatiku.”

Amirul Mukminin Umar berkata,

“Jangan memberi wanita busana yang indah, karena segera setelah mengenakannya mereka ingin keluar rumah.”

Pada masa Nabi, wanita-wanita diizinkan pergi ke masjid dan salat di barisan paling belakang. Namun hal itu dilarang secara bertahap.

Kelima, suami mesti menafkahi istrinya dengan layak dan tidak kikir, karena perbuatan itu lebih baik daripada memberi sedekah. Nabi saw. bersabda,

“Seorang laki-laki yang menghabiskan satu dinar untuk berjihad, satu dinar untuk menebus budak, satu dinar untuk bersedekah, dan satu dinar untuk istrinya maka pahala pemberian yang terakhir ini melebihi jumlah pahala ketiga pemberian lainnya.”

Keenam, suami tidak boleh makan sesuatu yang lezat sendirian. Kalaupun ia telah memakannya, ia tak boleh membicarakannya di hadapan istrinya. Jika tidak ada tamu, suami–istri sebaiknya makan bersama, karena Nabi saw. bersabda,

“Jika mereka melakukan itu, Allah menurunkan rahmat-Nya atas mereka dan para malaikat pun berdoa untuk mereka.”

Dan yang paling penting, nafkah yang diberikan harus didapatkan dengan cara-cara yang halal.

Jika istri memberontak dan tidak taat, suami harus menasihatinya secara lemah lembut. Jika ini tidak mempan, keduanya mesti tidur di kamar terpisah untuk tiga malam. Jika tak berhasil juga, suami boleh memukulnya, bukan di wajah dan tidak terlalu keras hingga melukainya. Jika istri melalaikan kewajiban agama, suami mesti menunjukkan sikap tidak senang kepadanya selama sebulan penuh, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi kepada istri-istrinya.

Setiap pasangan suami–istri harus berhati-hati agar perceraian tidak terjadi. Meski dibolehkan, Allah tidak menyukainya. Perkataan cerai akan mengakibatkan penderitaan bagi seorang wanita, sedangkan kita tak dibolehkan menyakiti perasaan apalagi membuat orang lain menderita! Jika cerai terpaksa dilakukan, kata cerai tak boleh diulangi tiga kali sekaligus, tetapi harus diucapkan pada tiga waktu yang berlainan. Seorang perempuan mesti dicerai secara baik-baik, tidak disertai kemarahan maupun penghinaan, dan tidak pula tanpa alasan.

Setelah perceraian, seorang laki-laki mesti memberikan mut‘ah kepada bekas istrinya, dan tidak menceritakan alasan atau kesalahan istrinya kepada orang lain. Diriwayatkan, seseorang yang ingin menceraikan istrinya, ditanya,

“Mengapa kau ingin menceraikannya?”

Ia menjawab, “Aku tak akan membongkar rahasia istriku.”

Ketika akhirnya ia benar-benar menceraikannya, ia ditanya lagi dan menjawab,

“Kini dia orang asing bagiku; aku tidak lagi mengurusi masalah pribadinya.”

Itulah sikap yang baik.

Itulah hak-hak istri dari suaminya, sementara hak-hak suami dari istrinya jauh lebih mengikat. Nabi saw. bersabda,

“Andai saja dibolehkan untuk bersujud kepada sesuatu selain Allah, akan kuperintahkan agar para istri bersujud kepada suami mereka.”

Istri tidak boleh menyombongkan kecantikannya di depan suaminya, tidak boleh membalas kebaikan suami dengan sikap tidak berterima kasih. Istri tidak boleh berkata kepada suaminya, “Kenapa kauperlakukan aku begini dan begitu?”

Nabi saw. bersabda,

“Aku melihat ke dalam neraka dan tampak di sana banyak wanita. Kutanyakan sebab-sebabnya dan dijawab bahwa itu karena mereka berlaku tidak baik kepada suami mereka dan tidak berterima kasih kepadanya.”

Sumber : Imam al-Ghazali, Kimiya’ al-Sa‘adah : Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi terj Dedi Slamet Riyadi & Fauzi Bahreisy, Penerbit Zaman.