Peran Mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam Upaya Memerangi Pandemi Covid-19

Komunikasi

Virus Corona atau yang dinamai oleh WHO dengan COVID-19(Corona Virus Disease 2019) merupakan virus yang menyerang fungsi pernapasan (Agiesta, 2020). Virus ini berasal dari Wuhan China, kota yang memiliki 11 juta penduduk. COVID-19 pertama kali dikonfirmasi pemerintah China ke WHO pada 31 Desember 2019. Beberapa asumsi menduga kuat COVID-19 berasal dari pasar tradisional di kota Wuhan yang menjual berbagai jenis daging, seperti unggas, babi, sapi, rubah, anjing, koala, merak, landak, angsa, kelinci, berang-berang, rusa, ular, kanguru, bebek, salamander, kalajengking, musang, buaya, dll (Wijanarko, 2020).

WHO menyatakan bahwa COVID-19 ini telah menjadi ancaman global yang berpotensi memiliki dampak yang lebih buruk daripada terorisme (Agiesta, 2020). Di Wuhan, sebagai kota asal penyebaran virus ini telah melakukan penutupan akses kota sejak Januari lalu. Isolasi besar-besaran tersebut membuat tak seorangpun diizinkan untuk keluar masuk kota Wuhan. Bahkan Wuhan sebagai gerbang akses transportasi yang menghubungkan ke 9 provinsi lainnya pun dihentikan (Wijanarko,2020). Dampak COVID-19 ini tidak hanya mempengaruhi Wuhan melainkan berdampak pada seluruh aspek kehidupan di berbagai negara. Selain China, Filipina, Italia, Denmark, Irlandia, Prancis, dan Spanyol diketahui telah me-​lockdown negaranya (Nasucha, 2020). Fenomena ​panic buying ​ juga merupakan imbas dari adanya virus ini dan kebijakan pemerintah terkait​ lockdown. ​ Di berbagai daerah di Indonesia terjadi penimbunan bahan makanan, vitamin, obat-obatan, masker dan ​handsanitizer. Akibat dari fenomena ini pun banyak harga yang melonjak drastis, seperti harga sekotak masker yang sudah mencapai harga Rp450.000/box (Anonim, 2020).

Rasanya seluruh media di dunia saat ini tengah panas-panasnya memberitakan isu Corona. Namun dari semua pemberitaan tersebut, tidak semua informasi yang tersebar merupakan fakta. Kementerian Komunikasi dan Informatika mendapati ada 54 konten hoax yang tersebar di dunia maya (Rahman,2020). Hoax tersebut meliputi jumlah pasien yang positif terinfeksi Corona hingga bahan makanan yang dipercaya bisa menjadi penangkal virus ini. Akibatnya beberapa harga makanan mengalami peningkatan karena diburu oleh masyarakat. Hoax seputar COVID-19 tidak hanya terjadi di Indonesia saja, di Italia beredar hoax bahwa Paus Fransiskus positif terkena COVID-19. Setelah diselidiki lebih lanjut, tidak ada informasi resmi yang menyebutkan bahwa Paus Fransiskus terinfeksi COVID-19 (Pramudiarja, 2020).

Lantas bagaimana peran mahasiswa ilmu komunikasi dalam berkontribusi memerangi pandemi covid-19​?

Ilmu Komunikasi erat sekali hubungannya dengan media, baik media massa maupun media sosial. Media massa merupakan institusi bisnis yang memerlukan modal sehingga menganggap ​rating ​ sebagai hal yang sangat penting (Nugroho & Sulistyorini, n.d, h.160). Tidak jarang karena mengejar ​rating ​ media menjadi kurang memperhatikan etikanya. Sejatinya, peran media adalah sebagai jendela agar masyarakat bisa melihat dunia yang lebih luas, penunjuk jalan dari ketidakpastian, sebagai ruang untuk menyampaikan aspirasi, dan lainnya (Nugroho & Sulistyorini, n.d, h.162). Dalam menyikapi bencana, media dipengaruhi oleh berbagai kepentingan (ekonomi politik media). Seakan memiliki tiga wajah, pertama media memiliki peran sebagai institusi bisnis yang harus mampu mencari keuntungan dari setiap pemberitaannya, kedua media sebagai institusi sosial mempengaruhi cara berpikir banyak orang, dan ketiga media sebagai institusi politik memiliki kekuatan dalam mempengaruhi opini publik (Nugroho & Sulistyorini, n.d, h.160).

Sebagai pemilik media, orang-orang ilmu komunikasilah yang bertanggung jawab pada semua konten yang dihasilkan oleh media (Nugroho & Sulistyorini, n.d, h.164). Sebelumya disebutkan bahwa media dapat mempengaruhi opini publik dan mengedukasi publik. Di tengah kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian ini pasti akan selalu ada bencana yang akan menimpa manusia, entah itu bencana alam maupun bencana non alam. Orang-orang ilmu komunikasi memiliki peran yang besar dalam menanggulangi dan mencegah terjadinya bencana karena dengan menggunakan media massa yang sifatnya massal maka informasi yang tepat akan tersebar lebih efektif, bahkan bisa mengurangi atau menghilangkan resiko akibat bencana (​Nugroho & Sulistyorini, n.d, h.166). Rangkaian kegiatan untuk mengurangi resiko bencana (PRB) tersebut dinamakan mitigasi, yang pada hakikatnya adalah upaya kemanusiaan yang bertujuan untuk melindungi dan menyelamatkan manusia dari ancaman bencana (Badri, 2018, h.67). Mitigasi tidak hanya dilakukan oleh professional saja, kita sebagai mahasiswa juga bisa turut berkontribusi dalam mengurangi resiko bencana, terlebih saat ini dunia sedang dilanda bencana non alam, COVID-19.

  • Pertama, sebagai mahasiswa ilmu komunikasi kita bisa belajar menjadi ​buzzer.
    Buzzer​ adalah orang/kelompok yang sering membicarakan produk/​brand
    ​ yang memiliki tujuan positif agar khalayak ​aware ​ terhadap produk/​brand ​ yang dikenalkan (Rizki, 2018). Dalam kasus COVID-19 ini kita bisa berpartisipasi dengan cara gencar memberitakan cara pencegahan penularan COVID-19 dan hidup sehat. Selain ​buzzer, ​ ada juga ​influenza, ​ yaitu orang/kelompok yang memiliki banyak pengikut di media sosial sehingga konten yang diperkenalkan dapat dilihat oleh banyak orang (Rizki,2018). Baik buzzer ​maupun ​influencer sama-sama berperan dalam upaya menyebarluaskan informasi dan mengajak khalayak dalam suatu projek. Sebagai contoh, WHO memiliki cara unik dalam menanggulangi penyebaran hoax terkaitCOVID-19, dikutip dari​ Engadget, WHO telah membuat akun TikTok dan menerbitkan konten mengenai cara penggunaan masker yang benar dan etika ketika batuk di tempat umum (Sagita,2020). Hal ini merupakan ide brilian melihat kondisi saat ini dimana TikTok merupakan media sosial yang sedang naik daun dan tengah digandrungi banyak orang.

  • Kedua, sebagai mahasiswa ilmu komunikasi tentunya kita dekat sekali dengan media sosial dan dunia maya, untuk itu kita bisa ambil bagian dengan mengadakan kampanye online. Kampanye menurut Rogers dan Storey (Anonim, 2019) merupakan rangkaian kegiatan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu bagi khalayak luas dan dilakukan secara berkelanjutan dalam rentan waktu tertentu. Dalam kasus COVID-19 ini banyak ditemui berbagai challenge di media sosial untuk mengkampanyekan #dirumahaja untuk memutus rantai penyebaran COVID-19. Drs. Antar Venus, MA menyatakan kampanye memiliki fungsi untuk mengubah pola pikir masyarakat dan sebagai upaya menggugah kesadaran masyarakat terhadap isu tertentu (Anonim, 2019), sehingga bila kita semakin sering menggaungkan kampanye #dirumahaja melalui media sosial yang kita punya maka akan semakin banyak orang yang ​aware​ dan pada akhirnya mengikuti anjuran tersebut.

  • Ketiga, sebagai mahasiswa ilmu komunikasi kita dapat membantu menyebarluaskan informasi yang akurat dengan tetap memperhatikan etika yang ada. Hal ini diperlukan karena tidak semua orang mengerti tentang penyaringan informasi yang akurat dan etika komunikasi. Kita bisa membantu masyarakat dengan cara menyaring berita COVID-19 sesuai yang dibutuhkan oleh masyarakat. Ada banyak berita yang tersebar dan hanya berfokus pada ​rating memiliki kecenderungan mengandung hoax (Anomim, n.d). Akan lebih baik bila kita memviralkan himbauan, tips-tips atau motivasi yang kiranya bisa membuat khalayak yang melihatnya menjadi lebih waspada dengan COVID-19. Selain itu kita juga bisa bersuara ketika ada pelanggaran etika yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, seperti sempat beredarnya data diri pasien yang positif COVID-19 di media sosial. Sikap kita dalam menanggapi kasus tersebut adalah dengan tidak meng​up ​ pemberitaannya tetapi memutus penyebarannya, bisa dengan memanfaatkan vitur ​block and report.

  • Keempat, kita dapat mengedukasi banyak orang melalui konten edukasi yang disebarkan melalui berbagai media yang ada. Cara seperti ini juga akan memenuhi fungsi media sebagai sarana pemberi edukasi agar masyarakat siap dalam menghadapi bencana dan tidak termakan oleh hoax (Anonim, n.d). Direktur Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Wiryanta, hoax mengenai COVID-19 sangat berbahaya karena berpotensi menimbulkan kecemasan publik dan bisa berimplikasi luas, serta merugikan banyak pihak (Rhismawati, 2020), maka dari itu konten beredukasi dapat diciptakan sembari memerangi hoax seputar COVID-19. Selain mengedukasi, kita juga bisa menanamkan rasa empati melalui konten yang akan disebarkan oleh media. Empati merupakan rasa yang mesti dimiliki antara sesama manusia dalam menjalin hubungan. Bila empati telah tumbuh maka akan timbul rasa solidaritas dalam masyarakat (Anonim, n.d). Dengan adanya rasa empati di tengah bencana COVID-19 seperti ini, masyarakat baik yang sudah menjadi korban maupun y​ang tidak dapat saling memberikan dukungan. Motivasi dan dukungan merupakan obat psikis yang bisa membantu dalam pemulihan pasien COVID-19 karena memperkuat imun tubuh.

  • Kelima, nantinya setelah dunia berangsur-angsur membaik dan COVID-19 telah mereda, maka masyarakat akan banyak membutuhkan proses pemulihan. Media dan orang-orang ilmu komunikasi juga bisa berperan pada masa rehabilitasi dimana perbaikan dan pemulihan pasca bencana mulai dilakukan (Nugroho & Sulistyorini, n.d, h.167). Bagi orang-orang sosial, tentu saja bisa berkontribusi membantu pemulihan psikologis. Kita bisa membantu dalam mendengarkan kisah dan menumbuhkan harapan baru kepada para pasien COVID-19 yang berada dalam proses pemulihan.

Ilmu Komunikasi merupakan bidang yang luas dan berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia sehingga banyak sekali peran yang dapat kita mainkan sebagai mahasiswa ilmu komunikasi. Dalam membantu menangani COVID-19 memang mahasiswa ilmu komunikasi tidak bisa terjun langsung menangani para korban seperti mahasiswa kedokteran. Namun orang-orang ilmu komunikasi memegang peranan penting dalam penyampaian informasi ke publik, pembentukan opini masyarakat, menenangkan keresahan publik dan membangun harapan kehidupan. Dukungan psikologis juga tidak kalah penting dengan pengobatan medis. Jadi sudah selayaknya kita bangga menjadi mahasiswa ilmu komunikasi karena bisa turut serta berkontribusi dalam memerangi bencana COVID-19 ini.

.
.
.

REFERENSI