Perahu Kertas Pantai Marina, Challenge 30 Hari Menulis Sastra

“Tidurlah, Nak, kita lanjutkan pencarian besok pagi. Hari sudah terlalu gelap,” kata lelaki tua, kupikir ia salah satu anggota tim SAR.

Aku hanya menggelang. Masih dalam keadaan ternanar. Menatap Pantai Marina yang seolah mati. Kilau-mengilau bintang di langit tak lagi berarti. Pantai Marina, kini menyisakan dendam yang membara, karena telah menelan orang-orang yang kusayangi. Tanpa pernah ia berpikir, bagaimana nasibku sekarang; sebatang kara. Tanpa Ayah, tanpa Ibu.

Lelaki tua itu, mengelus-elus punggungku. Tak ada ucapan lagi. Terus mengelus-elus punggungku. Sedetik kemudian, ikut duduk di sampingku. Pada batu-batu yang berjajar rapi di bibir pantai. Tangannya merangkulku. Menyandarkan kepalaku pada bahunya yang kekar. Ia membiarkanku terisak-isak, saling bersahutan dengan deburan ombak.

“Tuhan, kenapa hanya Ayah dan Ibu yang Kau bawa?” ucapku lirih, di tengah isak tangis yang masih tak kunjung berhenti.

“Mereka pilihan terbaik, yang diminta Tuhan untuk pulang.” Lelaki tua itu berkata. Napasnya bergemuruh.

“Sekarang kembalilah ke tenda, kita lanjutkan esok pagi. Masih banyak waktu dan kesempatan untuk menemukan orang tuamu,” imbuhnya. Kemudian, ia membangkitkan tubuhku. Memapah badanku yang lemas, bagai tak berlutang. Mengajakku kembali ke tenda – tempatku menginap selama pencarian.


Wajah-wajah keluarga korban perahu karam – di Pantai Marina – tampak lesu. Guratan kesediahan terlihat pada wajah-wajah pucatnya. Wajah yang selalu berharap-harap cemas akan takdir Tuhan. Isak tangis dan jeritan, menjadi pemanis ketika jasad demi jasad dibawa menepi. Mereka telah terbujur kaku, terkoyak, membusuk dan membengkak, bahkan tak lagi bernyawa. Adegan yang sangat mengerikan. Berbaur dengan kebahagian dan kesedihan yang tiada tara. Tanpa bisa diungkap lagi dengan kata.

Namun, hingga kini aku belum juga bertemu Ayah dan Ibuku. Tuhan belum juga memberiku petunjuk. Aku masih menunggu, dengan sejuta harapan yang mulai pupus satu per-satu. Setiap kali mendengar terikan TIM SAR, akan korban yang ditemukan, di sanalah harapanku mulai kuncup kembali. Besar harapanu, semoga jasad Ayah atau Ibuku yang ditemukan.

Senja pun datang, dengan semburat kemerahan di ufuk barat. Aku kembali duduk di bibir pantai, menyaksikan ikan-ikan yang asyik berlompatan. Seolah ia menghiburku. Memintaku sekedar tersenyum menyaksikan lompatan-lompatanya. Namun, aku tidak bisa. Malah yang datang padaku hari ini adalah kesedihan berupa kenangan atas Ayah dan Ibu. Saat kami menikmati senja bersama di Pantai Marina – satu hari sebelum hari durja itu. Ketika perahu wisata itu karam, menelan berpuluh korban. Pun, Ayah dan Ibuku di sembunyikan, oleh luasnya laut Marina dan ikan-ikan yang bersemayam di sana.

“Tidak usah terlalu bersedih, Nak,” tutur lelaki tua yang belakangan ini sering menemaniku, sekedar duduk di tepian pantai. Menikmati Pantai Marina yang tak lagi seindah dulu.

“Bapak selalu berkata demikian, karena Bapak tidak merasakan kehilangan,” tukasku dengan nada bicara meninggi. Raut mukaku, mungkin masam pada saat itu. Pikiranku membuncah.

Lelaki tua itu diam. Tak menjawab pertanyaanku, yang kulihat ia hanya tersenyum. Kemudian, ia menaburkan bunga mawar di bibir pantai. Terus menaburnya. Bibirnya bergerak, seolah ada ribuan doa yang sedang dirapalkannya. Aku hanya menyaksikan, bersama angin yang selalu mengibaskan rambutku, memaikan dedaunan, menari dengan bebas. Ia terus menaburnya, hingga bunga-bunga dalam anyaman bambu itu habis tak tersisa.

Kakinya yang telanjang dengan lincah memijak batu-batu di bibir pantai. Tubuhnya membungkuk, kemudian melabuhkan perahu-perahu kertas. Ia menghanyutakan, kedua bola matanya mendadak sayu. Senyumnya tampak kaku, seolah ia paksakan sekuat hati.

“Untuk apa Bapak lakukan semua itu?” tanyaku setelah ia selesai dengan ritual konyolnya.

“Sekadar ungkapan kerinduan untuk saya, yang sudah dibawa Tuhan,” ungkapnya dengan seribu ketegaran yang kutangkap dari raut wajahnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Senyumnya merekah, lagi-lagi tampak dipaksa. Demi menutupi luka dalam hatinya.

“Maksudnya?”

“Tujuh belas tahun silam, waktu anak saya berumur delapan tahun, ia diminta pulang oleh Tuhan. Di bibir Pantai Marina ini, di tempat kita berdiri saat ini,” katanya dengan tutur bahasnya yang lembut. Lamat-lamat air matanya mengalir, membasahi pipinya yang mulai keriput. Ia menyekanya kemudian. Lalu, menata hatinya kembali. Menarik napas panjang, lalu menghelanya.

“Dia jatuh saat akan menghanyutkan perahu-perahu kertas. Tubuhnya terperosok, ombak pada saat itu terlalu ganas, membawanya hanyut. Saya kalah, tidak bisa menolongnya. Puluhan orang pun demikian, tidak bisa mencari jasad anak saya, sampai saat ini,” imbuhnya dengan nada bicaranya yang mulai berat.

Aku terkesiap. Tubuhku lemas, tulang-tulang bagai melunak begitu saja.

“Sejak saat itu, hampir setiap bulan saya datang ke tempat ini. Sekadar melepas rindu, Nak, menghanyutkan perahu-perahu kertas berisi doa untuk anakku. Berharap, ia bisa membacanya, dan ia tahu bagaimana perasaan saya. Saya sangat merindukannya.”

Aku terisak, hanyut terbawa perasaan. Bagimana nasib Ayah dan Ibuku? Apa mungkin akan sama dengan nasib anak yang diceritakan lelaki tua itu. Tujuh belas tahun jasadnya belum juga pulang, mungkin telah habis dimakan ikan-ikan kecil di lautan.

“Tuliskan kerinduanmu di sini, Nak, sebanyak kerinduan untuk orang tuamu,” ujarnya seraya menganjurkan buku tulis dan pena untukku.

Kutulis semua kerinduanku pada kertas putih – lembaran dalam buku tulis – yang ia berikan. Dadaku sesak, napas mulai tersengal, saat tanganku dengan gemetar menuliskan sejuta kerinduan di sana. Rindu, yang teramat rindu.

Pulanglah, Ayah. Pulanglah, Ibu. Rindu – namaku – sangat merindukanmu. Pulanglah. Tulisku pada lembaran demi lembaran.

Sreekk

Kusobek beberapa lembar kertas yang telah kuguratkan sejuta kerinduan. Tangan lelaki tua itu meraih beberapa kertas dari tanganku. Menyelamatkan dari embusan angin pantai, agar tidak terbang – dengan percuma. Sejurus kemudian, tangannya begitu lihai membentuk kertas putih itu menjadi perahu-perahu kecil. Perahu yang sering Ayah buatkan untukku. Dulu sekali.

Setelah tujuh perahu kertas itu selesai kami buat. Aku menuju tepian pantai, makin mendekati laut. Kakiku gemetar, seolah bayang-bayang anak lelaki tua – yang terperosok di sana – melintas dengan cepat di depanku. Takut, barangkali aku pun akan terperosok, jatuh, dan hanyut di telan ombak Pantai Marina. Sebelum kuhanyutkan perahu-perahu itu, aku mendekapnya beberapa menit. Kemudian, kulepaskan. Kuhanyutkan bersama deburan ombak yang membawanya.

Perahu-perahu kertas itu beranyun-ayun indah. Terseok-seok terbawa air laut. Membawa sejuta doa yang kutitipkan pada perahu kertas itu. Tanpa terasa air mataku mengalir, membasahi pipiku.

“Tuhan, tolong sampaikan pada Ayah dan Ibuku, aku sangat merindukannya. Aku sedih kehilangan mereka,” ujarku usai melepas perahu kertas di bibir pantai.

Sebagian dari perahu kertas itu terus berayun-ayun mengikuti ombak. Sebagian lainnya hanyut, tak mampu menahan beratnya air yang merembes melalui celah-celah kecil pada kertas. Aku tak yakin, mereka akan membaca kerinduan yang telah kuguratkan pada secarik kertas yang telah hanyut. Namun, setidaknya Tuhan tahu, aku sangat rindu.

“Doa-doamu akan sampai, Nak, Ayah dan Ibumu akan membaca tulisan-tulisan itu. Mereka akan pulang, datang menemuimu meski dalam bentuk yang berbeda,” tuturnya dengan lembut. Ia mengulurkan kedua tangnnya untukku, kemudian mengajakku bangkit, pergi meninggalkan bibir pantai dengan batuan-batuan terjal itu.

Lelaki tua itu mengajakku berjalan menyusuri Pantai Marina, menikmati senja yang hampir temaram. Ia terus bercerita, akan kekagumannya kepada laut. Kemudian, ia melajutkan cerita, betapa bencinya ia pada Pantai Marina, yang telah menelan nyawa malaikat kecil yang dicintainya.

“Aku benci Pantai Marina yang indah ini, ia membawaku anakku pulang pada Tuhan. Dan dia pula, yang membuatku mengambang di lautan,” ujarnya dengan wajahnya yang mendadak pucat pasi.

“Mengambang di lautan? Maksud Bapak?” tanyaku terkesiap.

“Kamu lihat cahaya putih itu, Nak?” tanyanya seraya mengacungkan jari, menunjuk ke arah cahaya putih diantara batas langit dan laut.

Kukernyitkan dahi, mataku mencari-cari cahaya putih yang ia maksudkan. Cahaya putih itu kutangkap dengan lensa mataku, kecil sekali. Pikirku, Kapal Feri yang membawa penumpang ke pulau seberang. Tengah berada di lautan yang gelap, yang jauh sekali.

“Ikutlah ke sana bersamaku, Nak,” ajaknya dengan tatapan kosong. Wajahnya temaram, tak lagi bersinar seperti biasanya.

“Untuk apa aku ke sana? Cari mati!”

Ia menggeleng. Lalu, menundukkan kepalanya. Berpekur menatapi jalanan yang kami pijak. Wajahnya lesu, seakan ia merasa sakit hati dengan hardikku.

“Hanya kamu, Nak, yang bisa menolongku. Termasuk Ayah dan Ibumu.” Ia kembali berujar. Namun, aku tak menghiraukannya. Aku berbalik badan, meninggalkan lelaki tua itu yang masih berdiri di dekat Villa di tepian Pantai Marina.

“Nak!” teriaknya dengan lemah, tanpa daya.

Aku terus berjalan, tak lagi mepedulikan terikannya yang memanggilku. Aku segera kembali ke tenda, tempatku beristirahat setelah beberapa malam di Panta Marina. Menunggu harapan, yang entah sampai kapan kan datang.


Malam makin larut, aku kembali keluar tenda. Berjalan menyusuri tepian Pantai Marina yang makin sunyi. Kegelapan semakin menguasai malam. Bintang-bintang di langit tampak riang, berkelip memancarkan sinarnya yang lembut. Dari laut lepas, samar-samar kulihat perahu putih bersih berjalan mendekatiku. Semakin lama semakin dekat. Amat dekat. Kemudian, berhenti tepat di depanku.

Aku ternanar, tak percaya dengan apa yang kulihat. Perahu itu amatlah mewah meski berukuran kecil – seukuran sampan. Dari balik perahu itu kulihat wajah lelaki tua yang amat kukenali. Wajahnya bersinar, putih bersih. Tak lagi terlihat kerutan kulit keriputnya. Tangannya melambai, mengajakku ikut serta. Berlayar dengan perahu putih itu ke tengah lautan, bersama malam yang makin menua.

“Ikutlah ke sana bersamaku, Nak.” Ajakkannya sama seperti sebelumnya, saat senja hampir temaram. Jari telunjukknya menunjuk ke suatu titik yang amat jauh di sana. Titik kecil yang terang, serupa bintang yang amat jauh.

“Jangan takut, saya tidak akan membuatmu celaka, Nak. Di sana kau akan menemui jawaban atas doa-doa yang pernah kau hanyutkan, bersama perahu kertas ini,” ujarnya dengan nada bicara yang datar.

“Aku masih tidak mengerti. Ucapan Bapak selalu membingungkan,” balasku singkat.

Perahu putih itu terus melaju, tanpa deru mesin. Melaju pelan entah ke ufuk mana aku dibawanya. Malah yang kurasakan seperti khayalan. Mendadak perahu itu membawaku terbang di awang-awang. Menyisakan perasaan ganjil yang masih tak dimengerti.

Perasaanku semakin kalut, saat aku tubuhku kurasakan terbang bersama perahu putih – yang menawan. Bagai berada dalam pesawat terbang, kulihat lautan yang luas di bawah sana. Nampak hitam pekat, terbawa suasana malam yang gulita. Namun, di ufuk sana – entah ufuk mana – kulihat cahaya yang amat terang. Layaknya kota dalam keramaian, penuh dengan kemilau cahaya. Namun, cahaya mendadak meredup, saat perahu semakin mendekat. Perahu berhenti tanpa menderu sedikitpun.

Mendadak di balik kemilau cahaya itu, kulihat sepasang sosok yang berjalan mendekatiku. Bergandengan tangan dengan mesara. Pakainnya serba putih, terlihat begitu bersih, hingga memancarkan cahaya menyilaukan mata. Sosok yang kutangkap itu, tak lain adalah sosok Ayah dan Ibuku. Senyum simpulnya masih sama seperti dulu, matanya seakan berbinar. Melangkah pelan mendekatiku, aroma bau tubuhnya lain, kini jauh lebih harum dari biasanya. Harum sekali.

“Ayah… Ibu…!” pekikku dengan sejuta kebahagiaan.

Aku berlari ke arahnya, berusaha memeluknya seerat mungkin. Melepas kerinduan yang telah bersemanyam sejak kejadian nahas di hari durja itu. Saat mereka meninggalkanku sendiri, mencari-carinya di bibir pantai dengan penuh harapan. Tetapi, tubuh itu dengan mudah lolos dari pelukanku. Tak dapat kudekap. Layaknya bayangan, tak bisa kusentuh sekalipun. Aku terisak, sakit rasanya, mereka tak bisa kudekap meski aku terus berusaha.

“Dunia kita sudah berbeda, Sayangku,” ujar Ayah kemudian tersenyum.

“Ikhlaskan, kamu tidak perlu bersedih. Ayah dan Ibu sudah bersama Tuhan, berada di tempat yang amat indah di sana,” imbuh Ibu dengan sinarnya yang makin redup.

“Esok hari, kita akan bertemu. Meski dalam keadaan yang berbeda.” Ayah kembali berujar.

“Lihatlah, Nak, kami mengambang di sana,” lelaki tua itu menujuk ke tengah lautan. Aku melihat jelas, tiga jasad mengambang di sana. Salah satunya adalah lelaki tua yang itu, sedang sosok lainnya amat kukenali. Pakaian itu, iya, sama seperti pakaian terakhir yang dikenakan Ayah dan Ibu.

“Ayah… Ibu…!!” teriakku sekencang mungkin. Aku terisak, menagis tersedu-sedu. Menyaksikan tiga jasad yang mengambang di sana, dengan keadaan yang membengkak.

“Jangan sungkan datang ke mari, menaburkan bunga dari bibir pantai, melabuhkan perahu-perahu kertas berisi untaian doa.” Lelaki tua itu kembali berujar. Tiga sosok bercahaya itu semakin redup. Makin tak jelas, hanya lamat-lamat, hingga akhirnya benar-benar lenyap. Tiba-tiba aku menagis makin kenacang, bahkan kencang sekali. Hatiku membuncah. Menit-menit selanjutnya aku tak ingat apa yang terjadi.

Samar-samar kudengar riuh dari luar sana, aku terjaga dari tidurku yang nyenyak. Kusapu sekeliling dengan mata sayu, luasnya laut yang kutangkap pertama kali. Kemudian, beberapa TIM SAR berpakaian serba orange , serta tiga kantong jenazah dengan bau busuk yang menyengat.

“Syukurlah kau telah sadar, Nak,” ujar salah seorang anggota tim SAR, yang belakangan kuketahui namanya, Frans.

“Saya di mana?”

“Kami sedang menuju pantai,” jawab anggota tim SAR lainnya. Kemudian, memberiku segelas air putih. Kuteguk segera, melepas dahaga.

“Kami menemukan terombang-ambing di atas perahu, tidak jauh dari bibir pantai. bersama tiga jasad yang hampir membusuk, Nak,” jelas Pak Frans.

“Tiga jasad?” aku terkesiap mendengar penjelasannya.

Pak Frans membuka satu persatu kantong jenzah. Bau busuk seketika menyeruak. Sungguh, yang demikian adalah keajaiban Tuhan. Aku mampu mengenali gambaran wajah mereka yang telah berubah, seratus delapan puluh derajad dari sebelumnya. Wajah itu milih Ayah dan Ibuku yang kuharapkan. Kondisi yang mengenaskan – terlalu ngeri untuk diceritakan. Dan lelaki tua itu? Ia pun tergeletak di sana, telah menjadi bangkai dengan tubuhnya yang membesar. Lantas? Siapakah yang menemaniku saat aku kesepian di bibir pantai? Akan kah ia ruh dari lelaki tua itu?

Kini dihadapanku perahu putih – yang kujumpai semalam – melaju tanpa deru. Berlayar jauh meninggalkanku, bersama tiga sosok putih bercahaya. Ketiganya melambaikan tangan. Sedetik dua detik, perahu itu berangsur-angsur terbang. Semakin jauh dan meninggi, cahayanya semakin redup dan menghilang. Aku tersenyum, meski dadaku terasa sesak. Ada aliran air hangat yang meleleh dari sudut mataku. Perasaan sedih bercampur bahagia, berbaur indah.