Pengertian Sketsa

Sketsa (berasal dari bahasa Yunani σχέδιος – schedios, “done extempore”) adalah karya gambar yang biasanya tidak dimaksudkan sebagai hasil karya akhir.

Sketsa adalah karya gambar yang biasanya tidak dimaksudkan sebagai hasil karya akhir. Sebuah sketsa dapat memiliki beberapa tujuan: merekam sesuatu yang dilihat oleh seniman, merekam atau mengembangkan gagasan untuk dipakai kemudian, atau dapat juga digunakan sebagai cara singkat menggambarkan citra, gagasan, atau prinsip.

Sketsa merupakan gambaran atau lukisan pendahuluan yang kasar ringan, semata-mata garis besar atau belum selesai.kadang kala hanya digunakan sebagai pengingat-ingat saja. Dalam penerapannya biasanya dipakai sebagai catatan singkat tanpa bagian-bagian kecil yang mengemukakan gagasan tertentu. Jika ditarik sebuah kesimpulan secara umum merupakan rencana kasar seperti permainan ringan, mirip dengan musik ataupun artikel.

sketsa sendiri akan dipakai sebagai dasar untuk membuat sebuah rancangan dari film animasi, maka dari itu seorang animator memang harus memiliki pengetahuan yang lebih dalam hal sketsa sehingga bisa membantu untuk mencipatakan hasil karyanya.

Sketsa atau sket (sketch) secara umum dikenal sebagai bagan atau rencana bagi sebuah lukisan. Dalam pengertian itu, sketsa lebih merupakan gambar kasar, bersifat sementara, baik diatas kertas maupun diatas kanvas, dengan tujuan untuk dikerjakan lebih lanjut sebagai lukisan.

Mengingat sederhana penampilannya, sketsa lebih merupakan “persiapan” dari lukisan yang akan datang, demikian tulis Putu Wijaya.

Menurut Meyers (1969) sketsa merupakan gambar catatan. Ia membedakannya dengan gambar karya lengkap dan gambar karya studi. Dalam karya studi, gambar merupakan eksplorasi teknis atau bentuk untuk penyelesaian lukisan, patung, dan lain-lain. Biasanya penggambarannya menyoroti rincian dari bagian-bagian tertentu, misalnya anatomi kepala, tangan atau bahu, draperi, dan sebagainya dalam mempelajari bentuk orang. Gambar semacam ini misalnya, dikerjakan oleh Leonardo da Vinci (1452-1519) dan Michaelangelo (1475-1564).

Gambar karya lengkap merupakan karya final, gambar sebagai karya jadi. Sebagai ungkapan dalam bentuk gambar, ia berfungsi sebagai sarana komunikasi, mendeskripsikan dan menjelaskan objek-objek secara visual, sebagaimana karya ilustrasi visual, gambar karya lengkap berdiri sendiri sebagai karya yang selesai, seperti karya-karya lukis atau patung.

Dalam sketsa, kata Meyers, terdapat keinginan pembuatnya untuk merekam kejadian atau objek yang dilihat sebagai momen yang menarik perhatian penggambarnya. Sketsa mungkin dibuat untuk memenuhi kebutuhan sebagai latihan, main-main, atau semacam ungkapan pribadi. Dalam hal yang terakhir, karya skets dipandang setara dengan lukisan. Oleh karenanya, Agus Dermawan ketika mengomentari sketsa-sketsa karya Ipe Ma’roef (1938) seorang empu sketsa Indonesia mengungkapkan sebagai lukisan garis. Ungkapan ini sekaligus menegaskan, bahwa garis perannya amat menonjol dalam sebuah sketsa.

Meski bagi Fajar Sidik (1981) garis atau penggarisan merupakan unsure yang paling menonjol hakiki dalam seni lukis, namun pada dasarnya terdapat perbedaan antara sketsa dengan lukisan, ada ungkapan yang menarik yang disampaikan oleh Kusnadi, seorang seniman dan kritikus seni rupa. Sketsa ibarat gesekan biola tunggal, sedangkan lukisan merupakan sebuah orkes yang lengkap. Ungkapan ini menyatakan dua hal, pertama, sketsa seagai ungkapan estetis dihadirkan secara sangat sederhan karena menggunakan garis secara hemat dan selektif. Umumnya sketsa dikerjakan dengan cepat dan secara spontan. Jika sketsa dibangun oleh unsur-unsur garis sebagai medium utamanya, lukisan merupakan ungkapan lengkap, dalam arti penyajiannya dibangun dengan menggunakan unsur-unsur lain, seperti tekstur, kedalaman/ruang, gelap-terang, dan warna disamping unsur garis. Bahkan dalam lukisan, unsure warna menjadi penting sebagai unsur tambahannya (Schinneller,1966).

Kedua, baik sketsa maupun lukisan merupakan ungkapan artistik yang bersifat pribadi. Aspek ungkapan yang bersifat pribadi ini lebih penting daripada aspek lain yang bersifat informatif- naratif. Melalui sketsa, pembuatnya dapat mengungkapkan pengalaman yang bersifat pribadi dengan total. Sebagaimana gesekan biola yang mendayu mengiris kalbu, sketsa dapat menggetarkan perasaan orang yang melihatnya, sama halnya dengan sebuah lukisan. Jadi, sketsa bukan lagi sebagai bagian dari perencanaan sebuah lukisan, melainkan memiliki otonomi sendiri, berdiri sejajar dengan lukisan. Dengan demikian, sikap berkarya sketsa sama dengan ketika akan berkarya lukisan. Ingat saja karya-karya Vincent van Gogh (1853-1890), pelukis ekspresionis belanda itu.

Semasa hidupnya yang pendek, ia telah menyelesaikan kira-kira 3000 sketsa disamping 800 lukisancat minyak. Baginya sikap membuat gambar atau sketsa sama dengan sikap membuat lukisan. Perasaan dan emosi sangat memegang peranan. Begitulah karya-karya sketsanya sebagai gambar ekspresif. Dari sisi intensitas ekspresivitas, sejumlah karya sketsa beberapa pelukis bahkan tampil lebih kuat dan menarik, meski hanya berupa goresan-goresan hitam putih atau sebagai gambar rencana lukisan sekalipun. Sketsa karya Poussin (1593-1665) yang berjudul “Massaere of the Innocents” misalnya, rasanya lebih menarik daripada lukisannya dengan judul yang sama. Daya tarik dan kekuatan-kekuatan serupa juga dapat dijumpai pada karya-karya sketsa pelukis Delacroix (1798-1863), Tiepolo (1690-1770), bahkan juga pada sketsa karya Auguste Rodin (1840-1917) dan Henry Moore(1898-1986) pematung kenamaan itu.