Pada Setiap Kesempurnaan di sana ada Ketidaksempurnaan

Kisah Sufi

Melalui serangkaian kesalahpahaman dan kebetulan, Mullah Nashruddin menemukan dirinya pada suatu hari di dalam gedung pertemuan Kaisar Persia.

Shahinshah dikelilingi oleh para bangsawan yang egois, para gubernur propinsi, anggota istana dan berbagai penjilat. Masing-masing mendesak raja agar ditetapkan sebagai kepala kedutaan besar yang segera dikirim ke India. Kesabaran raja sudah habis, ia mengangkat kepalanya dan orang-orang yang memaksakan kehendaknya tersebut, maka secara spiritual memohon pertolongan dari langit, siapa yang seharusnya dipilih. Matanya bercahaya pada Mullah Nashruddin.

“Orang ini akan menjadi duta besar,” dia mengumumkan, “maka sekarang tinggalkan aku dalam ketenangan.”

Nashruddin diberi busana bagus, peti besar penuh dengan batu mirah (ruby), berlian, jamrud, dan karya-karya seni yang tak ternilai dipercayakan kepadanya; hadiah dari Shahinshah untuk Mogul Agung.

Para anggota istana ternyata tidak puas. Untuk sementara mereka bersatu atas penghinaan terhadap tuntutan ini, dan memutuskan menjatuhkan Mullah. Pertama, mereka memasuki tempat tinggalnya dan mencuri permata, kemudian dibagi rata diantara mereka sendiri, menggantinya dengan tanah agar tetap berat. Lalu mereka memanggil Nashruddin, bermaksud menjatuhkannya dengan memberinya masalah, dan berusaha mencemarkan majikan mereka.

“Selamat, Nashruddin yang agung,” kata mereka, “Sumber kebijakan, Merak Dunia yang memiliki semua esensi kebajikan. Oleh karena itu, kami memanggilmu. Ada beberapa hal yang mungkin dapat kami sarankan kepadamu, yaitu etika dan perilaku seorang utusan diplomatik.”

“Aku akan merasa terbantu jika kalian mau mengatakannya,” ujar Nashruddin.

“Baiklah,” kata pimpinan intrik tersebut, " Hal pertama, engkau harus sederhana, untuk menunjukkan betapa sederhananya dirimu. Engkau tidak boleh sedikit pun menunjukkan diri sebagai orang penting. Saat sampai di India, engkau harus memasuki masjid sebanyak engkau bisa, dan mintalah derma untuk dirimu sendiri. Kedua, engkau harus menjawab etika istana di Negeri di mana engkau diutus. Ini artinya, bahwa engkau akan menyebut Mogul Agung sebagai Bulan Purnama."

“Tetapi itu bukankah julukan Kaisar Persia?”

“Tidak di India.”

Maka Nashruddin pun dikirim. Kaisar Persia berpesan kepadanya saat berangkat,

“Hati-hatilah, Nashruddin. Turutilah etika yang berlaku di sana. Karena Mogul adalah kaisar yang perkasa dan kita harus mengesankannya tanpa penghinaan.”

“Aku sudah siap Yang Mulia,” ujar Nashruddin.

Setelah memasuki wilayah India, Nashruddin segera memasuki masjid dan naik ke mimbar,

“Wahai ummat!” serunya, “lihat diriku mewakili Bayangan Allah di Bumi! Poros lingkaran Bumi! Keluarkan uangmu, karena aku mengadakan derma.”

Hal ini dia ulang di setiap masjid yang dapat ditemukan, semua jalan dari Baluchistan hingga kekaisaran Delhi. Nashruddin telah mengumpulkan uang banyak.

“Gunakan itu,” ujar penasihat yang lalu, “untuk apa pun yang engkau inginkan. Karena itu hasil keikhlasan dan pemberian berdasar perasaan, penggunaannya akan menciptakan permintaannya sendiri.”

Sebenarnya, yang mereka inginkan terjadi pada Mullah adalah, ia mendapat ejekan saat mengumpulkan uang dengan sikap ‘memalukan’ tersebut.

“Orang suci harus hidup dari kesucian mereka,” ujar Nashruddin dari masjid ke masjid.

“Aku tidak menilainya dan mengharapkannya. Bagi kalian, uang adalah sesuatu yang ditimbun, setelah dicari. Kalian dapat menukarnya dengan barang. Bagiku, uang adalah bagian dari suatu alat. Aku mewakili kekuatan alam dari pertumbuhan perasaan, pemberian dan pengeluaran.”

Sekarang, sebagaimana kita semua tahu, kebaikan sering beralih dari kejahatan yang nyata, dan sebaliknya. Mereka yang berpikir bahwa Nashruddin hanya menghubungkan isi sakunya sendiri tidak menyumbang. Karena beberapa alasan, pertemuan mereka tidak berhasil. Mereka yang percaya dan memberikan uangnya, secara misterius menjadi kaya. Tetapi kita harus kembali kepada cerita kita.

Duduk di atas Singgasana Merak, di Delhi, kaisar mempelajari laporan yang dibawa kurir setiap hari, menggambarkan perkembangan duta besar Persia.
Pertama, ia tidak terlalu memperhatikan. Kemudian dipanggilnya semua anggota dewan.

“Saudara sekalian,” katanya,

“Nashruddin ini pasti orang suci atau orang yang mendapat petunjuk. Siapa yang pernah mendengar, seseorang melanggar prinsip bahwa orang yang mencari uang tanpa alasan masuk akal, kalau tidak menempatkan pemahaman salah pada niat seseorang?”

“Semoga bayangan Anda tidak berkurang,” jawab mereka,

“Wahai perpanjangan seluruh kebijakan yang tak terhingga; kami setuju. Jika terdapat orang-orang seperti ini di Persia, kita harus waspada, karena pengaruh moral mereka melebihi pandangan materialistis kita, sudah sangat jelas.”

Lalu seorang pesuruh tiba dari Persia, dengan surat rahasia dari mata-mata Mogul di istana, melapor,

“Mullah Nashruddin bukan pejabat di Persia. Ia dipilih secara acak untuk menjadi duta besar. Kami tidak dapat mengerti alasannya, karena Shahinshah tidak punya pilihan lagi.”

Mogul memanggil semua dewan, “Burung Surga yang tiada bandingnya!”
katanya kepada mereka, “timbul pemikiran pada diriku. Kaisar Persia memilih orang secara acak untuk mewakili seluruh bangsanya. Ini mungkin berarti ia sangat yakin terhadap kualitas rakyatnya, bahwa baginya, siapa pun memenuhi syatat untuk melakukan tugas sulit sebagai duta besar ke istana Delhi! Ini menunjukkan derajat pencapaian sempurna, pelatihan kekuatan intuisi yang sempurna secara mengagumkan pada mereka, kita harus mempertimbangkan kembali keinginan kita untuk menyerbu Persia; karena orang-orang seperti itu dapat dengan mudah menelan senjata kita. Masyarakat mereka diatur atas dasar yang berbeda dari kita.”

“Anda benar – Prajurit Terbaik di Perbatasan,” ujar para bangsawan India.

Akhirnya Nashruddin tiba di Delhi. Ia menunggang keledai tua, diikuti pengawalnya, dan diberati oleh kantong-kantong uang yang ia kumpulkan dari masjid-masjid. Peti permata diangkat di atas seekor gajah, sesuai dengan ukuran dan beratnya.

Nashruddin ditemui pimpinan upacara penyambutan di pintu gerbang Delhi. Kaisar duduk bersama para punggawanya di halaman istana yang luas sekali, Gedung Resepsi Duta Besar. Ruang dalamnya ditata sedemikian rupa dengan pintu masuk yang rendah. Sehingga, para duta besar selalu harus turun dari kuda mereka dan memasuki Paseban Agung dengan jalan kaki, memberi kesan sebagai para pemohon. Hanya orang-orang yang sederajat dapat berkendaraaan ke dalam istana.

Belum pernah sebelumnya seorang duta besar datang menaiki seekor keledai, dan oleh karena itu tidak ada yang menghentikan Nashruddin, menderap langsung melewati pintu dan tiba di Mimbar Kaisar.

Raja India dan para punggawa istananya saling berpandangan penuh arti, atas peristiwa itu. Nashruddin dengan gembira turun, menyebut raja sebagai sang Bulan Purnama dan menyebut peti permatanya untuk diberikan. Ketika peti tersebut dibuka, dan yang ada adalah tanah, sejenak suasana hening.

“Aku lebih baik tidak berkata apa-apa,” pikir Nashruddin, “karena tidak ada kata-kata yang dapat diucapkan untuk meredakan keadaan ini.”

Maka ia pun tetap diam. Mogul berbisik kepada menterinya,

“Apa arti ini semua?” Apakah ini penghinaan untuk kedudukan tertinggi?"

Tidak dapat mempercayai hal ini, sang menteri berpikir dengan keras. Kemudian dia memberikan penafsiran.

“Ini adalah tindakan simbolis, Yang Mulia,” dia berbisik, “Duta Besar bermaksud bahwa dia mengakui Anda sebagai Penguasa Bumi. Bukankah dia menyebut Anda sang Bulan Purnama?”

Mogul tenang,

“Kami puas dengan penunjukan Shahinshah Persia, karena kami tidak membutuhkan kekayaan, dan kami menghargai kehalusan metafisis dari pesan ini.”

“Aku telah disuruh untuk mengatakan,” kata Nashruddin mengingat ‘esensi ungkapan penawaran upeti’ yang telah diberikan oleh para pengintrik dari Persia, bahwa “hanya ini semua yang kami miliki Yang Mulia.”

“Itu artinya Persia tidak akan menyerahkan satu ons pun dari tanahnya untuk kita,” bisik penafsir ramalan kepada raja.

“Beritahu penguasamu, bahwa kami mengerti,” senyum sang Mogul, “Tetapi ada satu hal lain, jika aku sang Bulan Purnama, lalu apakah sebutan kaisar Persia?”

“Dia adalah sang Bulan Sabit,” kata Nashruddin secara spontan.

“Sang Bulan Purnama lebih dewasa dan memberikan cahayanya lebih banyak daripada bulan sabit, yang merupakan yuniornya,” bisik ahli perbintangan istana kepada Mogul.

“Kami puas,” ujar sang raja India, “Engkau boleh kembali ke Persia, dan katakan kepada sang Bulan Sabit, bahwa sang Bulan Pumama menghormatinya.”

Mata-mata Persia di Istana Delhi segera mengirim laporan lengkap atas perubahan ini kepada Shahinshah. Mereka menambahkan bahwa Kaisar Mogul telah merasa sangat terkesan, dan takut untuk merencanakan perang melawan orang-orang Persia karena tindakan-tindakan Nashruddin.

Ketika dia kembali pulang, Shahinshah menerima Mullah Nashruddin dalam undangan resmi yang lengkap.

“Aku lebih daripada sekadar puas, sahabat Nashruddin,” katanya,

“atas hasil dari metode-metode ortodoksmu yang tidak lazim. Negara kita telah selamat dan ini berarti bahwa mereka tidak akan berusaha menghitung permata atau pungutan di masjid-masjid. Engkau akan dikenal dengan julukan khusus Safir – Utusan.”,

“Tetapi Yang Mulia,” bisik penasihat,

“Orang ini bersalah atas pengkhianatan yang besar, jika tidak lebih banyak! Kita punya bukti sempurna bahwa dia menggunakan salah satu julukan Anda kepada Kaisar India, karena mengubah kesetiaannya dan membawa salah satu gelar Anda yang hebat menjadi nama aib.”

“Ya!” bentak Shahinshah,

“guru pernah berkata bijak, pada setiap kesempurnaan di sana ada ketidaksempurnaan.’ Nashruddin, mengapa engkau menyebutku dengan Bulan Sabit?”

“Aku tidak tahu mengenai protokol,” jawab Nashruddin, “Tetapi aku tahu bahwa Bulan Purnama adalah tentang berkurangnya kekuasaan, dan Bulan Baru (Sabit), tetap tumbuh dengan kemenangan terbesar di depannya.”

Suasana hati kaisar berubah, “Tangkap Anwar, sang Penasihat Agung!” dia berteriak, “Mullah, aku menawarimu kedudukan Penasihat Agung!”

“Apa?” tanya Nashruddin, “Dapatkah aku menerima setelah tahu dengan mataku sendiri apa yang terjadi pada pendahuluku?”

Dan apa yang terjadi pada permata dan harta benda yang ditukar oleh para anggota istana yang jahat? Hal itu lain cerita, karena Nashruddin yang tidak ada bandingnya berkata,

“Hanya anak-anak dan orang bodoh yang mencari sebab dan akibat di dalam cerita yang sama.”

Sumber : Idries Shah, Jalan Sufi : Reportase Dunia Ma’rifat, Judul asli: The Way of the Sufi, penterjemah Joko S. Kahhar dan Ita Masyitha,
Penerbit Risalah Gusti, November 1999