Nasib Eksportir yang 'Buntung' Gara-gara Rupiah Melemah


Bagaimana nasib eksportir dengan rupiah yang melemah saat ini?

Pelemahan nilai tukar, termasuk yang tengah dialami rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) secara teori bakal berdampak positif bagi ekspor suatu negara. Pasalnya, harga barang ekspor menjadi relatif lebih murah di mata pembeli internasional. Sebaliknya, keoknya mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain akan berefek negatif pada impor suatu negara. Jika mata uang lokal melemah, harga yang dibayarkan untuk membayar barang impor menjadi relatif lebih mahal.

Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar rupiah pada awal Mei 2018 ini menembus level Rp13.936 per dolar AS. Padahal, pada awal tahun, rupiah masih berada di level Rp13.542 per dolar AS. Namun, teori hanya tinggal teori. Untung dari pelemahan rupiah nyatanya tak dapat banyak diraih para pelaku ekspor di Tanah Air. Eksportir justru meminta adanya kestabilan nilai rupiah, lantaran bahan baku atau komponen produksi lainnya masih diimpor.

Ketua Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, misalnya, tak menampik pelemahan nilai tukar rupiah akan berdampak positif pada nilai ekspor batu bara. Namun, Hendra mengingatkan bahwa sebagian besar komponen peralatan alat berat pertambangan masih harus diimpor. Kemudian, harga minyak dunia juga meningkat sehingga mendongkrak biaya bahan bakar. Selain itu, perusahaan juga menghadapi tantangan dari penyesuaian harga batu bara untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri yang dipatok maksimal US$70 per ton yang akan mempengaruhi penerimaan sekitar 25 persen dari output.

“Dengan melemahnya rupiah, menurut saya, industri batu bara juga tidak diuntungkan karena otomatis dengan penguatan dolar komponen biaya produksi kami juga akan bengkak,” ujar Hendra, dikutip Kamis (5/3)
Komentar senada juga dikeluarkan dari oleh Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPPMI) Adhi S Lukman. Menurut Adhi, nilai ekspor makanan dan minuman olahan tak banyak melonjak meskipun nilai tukar rupiah melemah.

“Ekspor makanan dan minuman olahan di Indonesia masih kecil yaitu hanya sekitar US$6 miliar,” ujarnya.
Di sisi lain, pembengkakan biaya produksi juga belum terlihat signifikan mengingat pelaku usaha biasanya telah membuat kontrak selama periode tertentu dengan pemasok. Karenanya, Adhi yakin pelemahan nilai tukar tak serta merta bakal meningkatkan harga jual produk makanan dan minuman olahan, setidaknya sampai usai periode lebaran 2018.

“Biasanya, industri juga memiliki stok cadangan untuk bahan bakunya. Kami punya stok biasanya untuk sekitar satu bulan. Selain itu, kami juga punya stok bahan jadi untuk sekitar dua minggu hingga satu bulan,” ujarnya. Adhi berharap nilai tukar bisa terus dijaga di bawah level Rp14 ribu per dolar AS sehingga pelaku usaha bisa tetap mempertahankan harga jual dan menjadi kinerja keuangan.

sumber: cnnindonesia.com