Menunduk dalam Zaman

Tampaknya bulan sedang ngambek dengan sang surya. Buktinya, bulan masih enggan menggantikan posisi matahari menunaikan tugasnya, padahal ini udah pukul 18.30. Hal ini jadi mengingatkanku dengan kejadian semalam sore. Ya, Ibu marah besar hanya karena aku lupa mengecas smartphone miliknya. Memang aku yang salah sih, karena smartphone itu akan­­­ digunakannya untuk mengambil liputan di tengah kota pada malam hari ini­karena sedang wabah pandemi, maka Ibu lebih memilih beraktivitas di luar rumah pada malam hari, untuk menghindari kerumunan. Ibu marah besar. Apalagi, Ibu menyadarinya ketika waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Sudah terlalu sore untuk mengecas smartphone yang memiliki baterai nol persen. Akhirnya, Ibu harus pulang pukul 11 malam, karena Ibu sendiri baru bergegas dari rumah ketika jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Aku yang masih mengintip dan berpura-pura tidur, melihat samar-samar Ibu yang pulang dengan kelelahan.

Hari ini Ibu tampaknya masih kesal dan enggan untuk mengajakku berbicara. Ketika aku izin untuk berangkat ke sekolah, Ibu tidak berkata apa-apa. Aku merasa bersalah sekali, juga masih takut untuk meminta maaf pada Ibu. Hingga aku pulang sekolah dan sampai detik ini aku menunggu mentari pulang ke tempat peraduannya, Ibu belum juga berkata-kata barang sepatah kata. Seperti saat ini, Ibu nampaknya sedang sibuk men-scroll layar smartphonenya,

Sebenarnya, Ibu memang seringkali asyik dengan smartphonenya. Tak jarang juga, ia menggunakan headset- nya, tanpa memperhatikan lingkungan sekitar. Terkadang dia tiba-tiba berseru tanpa diminta, membacakan informasi yang didapatkannya . Terkadang juga dia mengomentari beberapa artikel yang baru dibacanya. “Tuh, kan Ibu bilang juga apa, Nin. Dari beberapa hari yang lalu, ibu sudah dengar isu bencana kelaparan yang menimpa kampung sebelah. Wah, akhirnya diperhatikan juga oleh pemerintah setempat.” Kadang juga beberapa komentar lain yang serupa. Mengenai anak-anak miskin yang sering dijumpainya meringkuk di pinggir jalan bahkan kucing yang sudah dua harinya dilihatnya terjebak di selokan. “Nah, kucingnya ditemukan juga oleh warga sekitar. Yah, tapi kok sudah mati ya . Katanya sih kedinginan. Ah, padahal Ibu lihat kemarin masih mengeong-ngeong kok.” Aku juga seringkali menanggapi perkataan Ibu, namun tampaknya suaraku terhalang oleh suara apapun yang terjebak di dalam headset- nya. Jika beruntung, ucapanku kebetulan di dengar oleh Ibu, dan dia akan berkata, “Hah? Tadi kamu bilang apa, Nin?”.

Tapi semua itu menurutku jauh lebih baik, ketimbang aku dan Ibu yang saling diam-diaman seperti sekarang ini. Apalagi sedari tadi, Ibu tak berseru apapun.Nampaknya sedang serius sekali. Kadang, bahkan keringatnya keluar, padahal ibu hanya dalam posisi duduk. Sesekali, Ibu melihat aku yang juga sibuk mencuri-curi pandang kepadanya. Aku bisa mendengar ia yang mengehela napas panjang. Lama-lama aku jadi takut juga, Bagaimana kalau sampai berhari-hari akan jadi seperti ini?

Nampaknya perseteruan antara bulan dan sang surya tak berlangsung lama. Pada pukul 7 malam, aku menyaksikan langit sudah semakin oranye. Semburatnya menenangkan namun misterius. Dan tepat saat mentari itu tak nampak lagi di kaki langit, aku berani bersumpah mendengar sesuatu. Sirine ambulans meraung-raung dari ujung jalan bahkan melewati rumahku. Orang-orang berteriakan histeris. Ada yang menangis dan ada yang memaki-maki. Aku menyaksikan kerumunan itu yang berjalan semakin jauh ikut menyongsong ambulans itu. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian suasana kembali lengang.

Aku menyelesaikan makan malamku dengan tetap berdiam-diaman dengan Ibu. Ketika aku akan merapikan peralatan makan, suara toa masjid terdengar menggema. “Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Telah berpulang ke Rahmatullah, saudara Diro Mangunkusumo, selaku Ketua RT kita, pada hari ini, pukul 19.30 WIB. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah.” Aku tersentak, Pak Diro adalah orang yang sangat baik dan usianya masih sangat muda. Lalu, dapat kurasakan sebuah tangan memegang pergelangan tanganku. “Nin, ayo kita ngelayat ke rumah Pak RT.”kata Ibu.

Suasana di rumah duka terasa sangat menyedihkan. Namun yang lebih menyedihkanku, justru bukan wajah pucat Pak Diro yang sudah tersenyum damai. Ketika akan berdoa yasin, banyak yang berdoa dengan khusyuk, namun banyak juga yang justru sibuk memainkan ponselnya. Namun, aku justru kagum melihat ibu, Di saat seperti ini, ia akhirnya menunduk berbicara dengan Tuhan sambil menangis tersedu-sedu. Bukan sibuk memainkan ponsel seperti yang lainnya.

Acara berlangsung tak lama. Sesampainya di rumah, aku segera mengecek smartphone ku untuk melihat berita hari ini

SEORANG WANITA BERBAJU MERAH DENGAN MOTIF BUNGA-BUNGA, YANG TENGAH SIBUK MEMAINKAN PONSELNYA, TERTANGKAP CCTV JALAN MELEWATI SESEORANG YANG MERONTA-RONTA MINTA TOLONG.

Oh ayolah, semalam ibu tak pakai baju bunga-bunga kan?