Menulis Ekspresif sebagai Aktivitas Komunikasi dan Terapi Penyembuhan Luka Batin

sumber: StockSnap dari Pixabay

Hal sederhana yang sering kita lakukan, namun nyatanya menjadi semakin sulit seiring pertambahan usia, adalah komunikasi. Kita belajar berkomunikasi dari aksi reaksi yang berasal dari orang terdekat kita, yakni orang tua dan saudara sekandung maupun orang terdekat yang menjalani rutinitas keseharian bersama. Seiring meluasnya lingkaran sosial, maka saat itulah, pikiran belajar terbuka dan mempelajari pelbagai istilah penting agar makna komunikasi tetap terjaga. “Makna” menjadi penting, karena tidak semua generasi memahami suatu yang bersifat tunggal, kecuali dia tinggal di zaman itu. Istilah kepo, baper, galau, sotoy, lebay dan yang cukup tren saat ini adalah santuy, adalah beberapa istilah slang yang mungkin hanya dikenal di Indonesia dan cukup familiar hanya pada generasi tertentu saja.

Sikap openminded (keterbukaan) dan kritis amat penting untuk mengikat makna dan mengetahui kapan makna terhadap kata-kata slang tadi digunakan tepat waktunya dan kapan tidak diperbolehkan. Jelas, komunikasi tak cukup hanya mengenal kata dan bahasa dan komunikasi juga berlaku bukan hanya dalam level generasi, namun juga kelas status sosial. Sebagaimana sisi mata uang, masing-masing memiliki cara mereka memaknai sesuatu, sehingga lebih mudah untuk diartikan. Bahasa dan komunikasi merepresentasikan siapa kita? Baik atau buruknya komunikasi tentu memiliki parameter yang berbeda antar budaya. Jadi, tidak dapat digeneralisasikan. Kesenjangan antar (baik antar generasi, antar kepentingan, antar perspektif, dan lain sebagainya) akan semakin lebar, jika sikap terbuka dan kritis meredup.

Komunikasi, bukanlah tentang siapa yang terlebih dahulu menyapa. Komunikasi lebih luas daripada sekadar menyapa. Komunikasi menjadi bagian paling penting yang mempengaruhi maju mundurnya institusi, mulai dari keluarga hingga perusahaan. Tanpa komunikasi yang efektif, task yang saederhana pun sangat berat dijalankan, namun dengan komunikasi yang efektif, maka task seberat apapun, terlihat mudah dilakukan. Itulah komunikasi, semakin efektif, maka akan semakin baik. Jadi, perihal keefektifan bukan persoalan teknologi. Sebaliknya teknologi membawa kita pada semakin asingnya yang di sekitar, dan betapa intimnya kita dengan yang jauh. Teknologi bukanlah variabel terikat, oleh karenanya membangun kebiasaan komunikasi yang baik adalah fondasi menuju efektifitas komunikasi. Bayangkan, seorang ayah dengan banyak keahlian, namun tidak mengenal cara berkomunikasi yang baik terhadap anak, maka keahliannya tidak akan dapat diturunkan dengan baik, karena saya ayah tidak mengerti bagaimana berkomunikasi dengan seorang anak.

Hati-hati Berkomunikasi

Dalam konteks parenting dikenal istilah “human being” dan “human doing”, dalam konteks komunikasi orang tua dan anak, sebagian orang tua ada yang menekankan bahwa nilai mereka adalah dari pencapaian nilai ujian, bukan nilai-nilai yang lebih luas dari itu, seperti bagaimana persahabatan mereka dengan kawan-kawannya, bagaimana keseharian mereka, dan apa mereka bahagia atau tidak di sekolah. Dalam konteks ini, orang tua tidak menyadari bahwa mereka sedang membuat anak menjadi “human doing” daripada “human being”.

Dalam psychologytoday.com (2010) aspek berbahaya dalam membesarkan anak-anak dalam tekanan tinggi, “hanya nilai A yang cukup baik,” bahwa orang tua dapat secara tidak sengaja (atau sengaja) menyampaikan kepada anak-anak mereka bahwa mereka hanya layak mendapatkan cinta jika mereka memenuhi harapan orang tua mereka. Bukan hanya orang tua, sistem pendidikan berhasil membuat anak stres dan depresi, sehingga lupa nilai-nilai manusia yang belum ditumbuhkan dalam diri, karena jauh dari kasih dan sayang. Ditambahkan pula bahwa anak-anak mendapatkan kepuasan dan validasi tidak hanya dari upaya dan prestasi mereka, tetapi juga dari, antara lain, jujur, perhatian, dan rasa tanggung jawab. Di Indonesia, kita dapat membayangkan bagaimana sistem pendidikan telah berhasil membuat 11 siswa meninggal karena Ujian Nasional (UN). Sebabnya, depresi lalu bunuh diri penyebab terbanyak. Banyak anak pintar, namun sangat kaku, karena tidak dapat mengungkapkan perasaannya terdalam. Inilah yang memicu mengapa diam itu bukan lagi emas, apalagi di era digital. Kelihatan status kata-kata bijak dalam media sosial dinilai orang itu sudah kuat secara mental, padahal dapat jadi, orang itu bisa jadi sedang berusaha menguat-nguatkan jiwanya.

Dalam konteks UN, reaksi orang tua yang takut anaknya tidak lulus ujian dan sistem pendidikan yang terlalu mengandalkan kognisi daripada afeksi, telah menjadikan bangsa ini menuhankan nilai ujian sebagai satu-satunya parameter dalam menilai manusia. Komunikasi kebijakan pemerintah yang keliru dan menganggap bahwa UN adalah final dapat dikatakan sesat pikir. Rasa takut untuk dapat nilai buruk dan cap negatif dari lingkungan sekolah. Masuk brand sekolah favorit prestasi, masuk sekolah swasta adalah bodoh. Anak IPA, cerdas, dan anak IPS, bodoh. Pendidikan tanpa disadari telah membangun sekat dan kasta mana anak pintar dan bodoh, dan berpengaruh ke dalam jiwa, tumbuh secara massif bagi remaja, dan menganggap bahwa lulus sudah final, tanpa perlu kompetensi yang lainnya.

Seharusnya dunia pendidikan menjadikan anak-anak mampu mengenali diri mereka sendiri, siapa mereka dan nilai-nilai apa yang pertama kali perlu ditumbuhkembangkan menjadi bekal mereka untuk menghadapi kehidupan di sekitar mereka.

Menulis sebagai Terapi

Komunikasi jelas bukan hanya bicara. Diam tak mesti soal tiada bunyi. Banyak orang bunuh diri, bukan karena ketiadaan harta, namun ketiadaan teman bicara. Apalagi jika kehilangan orang yang paling kita sayang, entah karena kecelakaan, patah hati, dan sebagainya. Mencurahkan hati menjadi amat penting terkhusus bagi mereka yang baru saja kehilangan seseorang maupun kejadian yang membuat perasaan traumatik.

Cerita menarik saya kutip dari James W Pennebaker yang ditulis Vivé Griffith tentang Writing to Heal . Saat Pennebaker menghadapi klien wanita yang baru saja kehilangan suaminya karena kecelakaan, wanita itu banyak dipuji oleh teman-teman di sekolah pascasarjana karena kuat melewati masa-masa sulit kehilangan suaminya.

Lalu, dia datang ke Pennebaker karena dia merasa perlu menulis tentang kehilangannya. Pada hari terakhir penulisan dia berubah pikiran. Dalam waktu dua bulan wanita itu telah berhenti sekolah pascasarjana dan pindah kembali ke kota asalnya.

Pengalaman menulis telah membuatnya sadar bahwa ia berada di jalur kehidupan yang tidak lagi diinginkannya. Dia telah melakukan kesalahan, ceria dengan teman-temannya. Menurut Pennebaker, "Itu merupakan perubahan dramatis, dan itu terdengar seperti sebuah kegagalan. Tapi dari sudut pandangnya, itu bukan. " Faktanya, wanita itu merasa bahwa empat hari penulisan itu telah menyelamatkan hidupnya. Pennebaker dalam bukunya Ketika Diam Bukan Emas : Berbicara dan Menulis Sebagai Terapi bahwa mencurahkan isi hati ( self-disclosure ) dapat berpengaruh positif bagi perasaan seseorang, kesehatan pikiran dan kesehatan tubuh. Bagi saya pribadi, bentuk komunikasi mencurahkan perasaan seperti ini amat penting, mengingat inilah cara paling mandiri dan murah, tergantung pada penulisnya, apakah akan dibagikan atau cukup ditulis dalam catatan pribadi.

Berikut ini metode yang dilakukan Pennebaker kepada kliennya, singkat, namun jujur, tidak mudah untuk mengungkapkan hal yang paling jujur tentang perasaan kita.

Tuliskan perasaan terdalam tentang pergolakan emosional dalam hidup Anda selama 15 atau 20 menit sehari selama empat hari berturut-turut.

Banyak dari mereka yang mengikuti instruksi sederhananya mendapati sistem kekebalan mereka menguat. Yang lain melihat nilainya meningkat. Terkadang seluruh kehidupan telah berubah, sebagaimana wanita yang sudah diceritakan sebelumnya. Mundur bukan berarti kalah, jujur sudah pasti menang. Hubungan yang paling sulit sebenarnya bukan dengan orang lain, tapi bersahabat dengan diri sendiri, mengakui dan menghargai apa yang sudah dicapai, dan mengikuti hati nurani itulah yang paling penting, untuk sebenar-benarnya menjadi “human being”. Jika task dengan diri sendiri sudah selesai, maka berkomunikasi dengan orang lain terasa lebih ringan, dan siap menjalin hubungan berikutnya tanpa rasa bersalah dan siap dengan segala konsekuensinya.

Daftar Pustaka

Pennebaker, James W. (2002). Ketika diam bukan emas : Berbicara dan menulis. Bandung : Mizan

Parenting: Raise a Human Being, Not a Human Doing | Psychology Today diakses tanggal 17 Juli Pukul 18.25

Sejak Tahun 2007, 11 Murid Meninggal Karena UN. Depresi Lalu Bunuh Diri Penyebab Terbanyak - Semua Halaman - CewekBanget diakses tanggal 17 Juli Pukul 18.20

Writing to Heal by Vivé Griffith | WordPlayNow diakses tanggal 1 Juli Pukul 19.00

4 Likes