Mengenal Akhirat dan Keselamatan di Dunia

Mengenal Akhirat

Dunia ini seperti sebuah meja yang terhampar bagi tamu-tamu yang datang dan pergi silih berganti. Di sana disediakan piring-piring emas dan perak, makanan dan wewangian yang berlimpah. Tamu yang bijaksana makan sesuai kebutuhannya, menghirup wewangian, berterima kasih kepada tuan rumah, lalu pergi.


Orang yang memercayai Alquran dan Sunah sudah tidak asing lagi dengan konsep nikmat surga dan siksa neraka yang menanti di akhirat. Namun, ada hal penting yang sering mereka luputkan, yakni bahwa ada surga ruhani dan neraka ruhani. Mengenai surga ruhani, Allah berfirman kepada Nabi-Nya,

“Tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terlintas dalam hati manusia, itulah nikmat yang disiapkan bagi orang yang bertakwa.”

Hati orang yang tercerahkan memiliki satu jendela yang terbuka ke arah dunia ruhani sehingga ia dapat mengetahui—bukan dari kabar angin atau kepercayaan tradisional, melainkan teralami secara nyata—penyebab segala kerusakan dan kebahagiaan jiwa, sejelas dan senyata pengetahuan seorang dokter mengenai segala penyebab rasa sakit atau pendukung kesehatan. Ia tahu bahwa pengetahuan tentang Allah dan ibadah kepada-Nya menjadi obat bagi jiwa, sementara kebodohan dan dosa menjadi racun yang merusaknya. Banyak orang, bahkan juga yang disebut ulama, karena bertaklid buta terhadap pendapat orang lain, tak punya keyakinan yang benar berkenaan dengan kebahagiaan atau penderitaan jiwa di akhirat. Tetapi orang yang mau mempelajari masalah ini dengan pikiran yang bersih dari prasangka akan sampai pada keyakinan yang jelas mengenai masalah ini.

Kematian akan mengakibatkan keadaan yang berbeda pada dua jenis jiwa yang dimiliki manusia, yaitu jiwa hewani dan jiwa ruhani. Jiwa ruhani bersifat malakut. Jiwa hewani bertempat dalam hati, yang dari sana menyebar laksana uap ke semua anggota tubuh, memberi tenaga atau kemampuan melihat pada mata, mendengar pada telinga, dan ke seluruh anggota tubuh lainnya sehingga mereka dapat menjalankan fungsinya. Ini bisa dibandingkan dengan sebuah lampu di sebuah pondok yang cahayanya menyebar ke dinding-dinding. Hati adalah sumbu lampu ini, dan jika aliran minyaknya terputus karena suatu sebab, lampu itu akan mati. Seperti itulah jiwa hewani mengalami kematiannya.

Berbeda halnya dengan jiwa ruhani atau jiwa manusiawi. Jiwa ruhani tak terbagi dan dengan jiwa itulah manusia dapat mengenali Allah. Boleh dikatakan, ia adalah pengendara jiwa hewani. Dan ketika jiwa hewani musnah, ia tetap ada. Keadaannya serupa dengan penunggang kuda yang telah turun atau pemburu yang tak lagi bersenjata. Kuda dan senjata itu adalah anugerah bagi jiwa manusia agar ia bisa mengejar dan menangkap keabadian cinta dan pengetahuan tentang Allah. Jika berhasil, ia pasti akan merasa lega dan bahagia meski senjata atau tunggangannya meninggalkannya; ia tidak akan berkeluh kesah. Karena itu, Rasulullah saw. bersabda,

“Kematian adalah hadiah Tuhan yang diharap-harapkan kaum beriman.”

Tetapi ia akan celaka dan menderita jika kuda atau senjata itu telah hilang sedang ia belum berhasil meraih tujuannya. Kesedihan dan penyesalannya sangat tak terperi.

Pembahasan yang lebih dalam akan menunjukkan betapa berbedanya jiwa manusia dari jasad dan segenap anggotanya. Setiap anggota tubuh bisa rusak dan berhenti bekerja, tetapi kemandirian jiwa tak terusik. Selain itu, tubuh manusia mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Tubuhnya di waktu bayi jauh berbeda dengan tubuhnya di masa tua. Namun, kepribadian manusia tetap sama, dulu maupun sekarang. Jadi, bisa dikatakan bahwa jiwa akan terus ada menyertai sifat-sifat esensialnya yang tak bergantung pada tubuh, seperti pengetahuan dan cinta kepada Allah. Inilah makna ayat Alquran,

“segala yang baik akan abadi.”

Layaknya pengetahuan, kebodohan pun akan abadi menyertai jiwa. Jadi, jika kau lebih memilih kebodohan ketimbang pengetahuan tentang Allah maka kebodohan itu akan menyertaimu di akhirat dalam wujud kegelapan jiwa dan penderitaan. Keadaan itulah yang dimaksudkan Alquran:

Orang yang buta di dunia ini akan buta di akhirat dan tersesat dari jalan yang lurus.

Mengapa jiwa manusia cenderung untuk kembali ke dunia yang lebih tinggi?

Sebab, ia berasal dari sana dan pada dasarnya ia bersifat malakut. Ia dikirim ke dunia yang lebih rendah ini berlawanan dengan kehendaknya untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana firman Allah dalam Alquran,

“Turunlah dari sini kamu semuanya, akan datang kepadamu perintah-perintah dari-Ku dan siapa yang menaatinya tidak perlu takut dan tak perlu gelisah.”

Dan ayat Alquran:

“Aku tiupkan ke dalam diri manusia ruh-Ku”

juga menunjukkan asal samawi jiwa manusia. Jiwa hewani akan tetap sehat selama keseimbangan bagian-bagian yang menyusunnya terjaga. Ketika para sahabat menanyakan apa gunanya bertanya kepada mereka, Rasulullah menjawab, “Mereka bisa mendengar kata-kataku lebih baik daripada kalian.”
Diriwayatkan bahwa beberapa sufi melihat surga dan neraka ketika mereka mencapai keadaan ekstase. Ketika kembali sadar, wajah mereka menunjukkan apa yang telah mereka saksikan; sarat dengan tanda-tanda kebahagiaan dan ketakutan yang sangat. Tetapi, visi atau penglihatan ke dunia gaib tak lagi dibutuhkan bagi orang-orang yang berpikir. Bagi orang yang selalu menyibukkan dirinya memuaskan nafsu duniawi, saat kematian menghentikan seluruh perangkat indriawinya dan ketika segalanya musnah kecuali kepribadiannya, ia akan menderita karena harus berpisah dengan segala bentuk keduniaan yang begitu dekat dengannya selama ini, seperti istri, anak, kekayaan, tanah, budak, dan sebagainya. Sebaliknya, orang yang telah menghindari keduniaan dan meneguhkan cintanya kepada Allah, niscaya akan menyambut kematian sebagai pelepasan dari kericuhan hidup duniawi untuk bergabung dengan Dia yang dicintainya.

Benarlah Rasulullah saw. ketika mengatakan,

“Kematian adalah jembatan yang menyatukan sahabat dengan sahabat.”

Dan dalam hadis yang lain beliau bersabda,

“Dunia ini surga bagi orang kafir, dan penjara bagi orang mukmin.”

Di lain pihak, semua derita yang ditanggung jiwa setelah mati sesungguhnya disebabkan oleh cinta dunia yang berlebihan. Rasulullah bersabda bahwa setelah mati, semua orang kafir akan disiksa oleh 99 ular, yang masing-masing punya sembilan kepala. Orang yang berpikiran dangkal memaknai hadis itu secara harfiah; ia menggali kuburan orang kafir dan mencari ular yang dimaksud namun tak juga ditemukan. Mereka sama sekali tidak memahami bahwa “ular-ular” itu selalu bersemayam dalam jiwa orang kafir, bahkan sudah menetap di sana saat mereka masih hidup. Ular-ular itu menyimbolkan sifat-sifat jahat, seperti dengki, benci, munafik, sombong, licik, dan lain-lain. Semua sifat itu bersumber, langsung maupun tidak, dari cinta dunia. Itulah neraka yang disediakan bagi orang yang, menurut Alquran,

“meneguhkan hati mereka pada dunia ini melebihi akhirat”.

Jika ular-ular itu adalah ular biasa, mereka mungkin bisa melarikan diri dari siksanya meski hanya untuk sesaat. Tetapi ular-ular itu merupakan penjelmaan dari sifat bawaan mereka sehingga bagaimana bisa mereka melarikan diri darinya?

Ambillah contoh seseorang yang menjual budak perempuannya tanpa menyadari perasaannya hingga budak itu telah lepas dari jangkauannya. Lalu, rasa cinta kepada budak itu yang selama ini tertidur dalam hatinya, tiba-tiba bangkit dengan intensitas yang luar biasa sehingga ia tersiksa dan menderita bagai disengat bisa ular. Ia menjadi gila karenanya; ia rela mencampakkan dirinya ke dalam kobaran api atau menceburkan diri ke sungai untuk melarikan diri impitan perasaan itu. Seperti itulah akibat cinta dunia yang berlebihan. Para pecinta dunia tidak menyadarinya hingga dunia yang mereka cintai itu direnggut dari mereka dan akhirnya, karena merasa sangat tersiksa, mereka lebih memilih hidup sengsara ditemani ular dan kalajengking.

Dengan demikian, setiap pendosa akan disiksa di akhirat dengan alat penyiksaan yang mereka bawa sendiri dari dunia. Benarlah kata Alquran,

“Sesungguhnya kalian akan melihat neraka. Kalian akan melihatnya dengan mata keyakinan (‘ayn aliyaqîn)”,

dan

“neraka mengitari orang kafir.”

Alquran tidak mengatakan “neraka akan mengitari mereka”, karena bahkan di dunia pun neraka sudah mengitari mereka.

Mungkin ada yang keberatan dan menyatakan, “Kalau begitu, berarti tidak ada orang yang terbebas dari neraka, karena siapa pun, sedikit atau banyak, pasti terikat pada dunia dengan beragam kepentingan dan kecenderungan?”

Untuk menjawabnya bisa kita katakan bahwa ada orang-orang, terutama para fakir, yang telah sepenuhnya melepaskan diri dari cinta dunia. Bahkan, di antara orang-orang yang memiliki dan mencintai dunia—termasuk istri, anak, rumah, dan lain-lain—ada yang cintanya kepada Allah jauh lebih besar daripada cintanya kepada yang lain. Mereka layaknya seseorang yang, meski sudah punya rumah yang ia cintai di sebuah kota, ketika raja memintanya untuk mengisi pos jabatan di kota lain, ia akan memenuhinya dengan senang hati, karena jabatan itu lebih berharga baginya daripada rumahnya. Termasuk dalam kategori ini adalah para nabi dan sebagian wali.

Di lain pihak, ada pula orang yang mencintai Allah, tetapi cintanya kepada dunia jauh lebih besar sehingga mereka harus menderita siksaan yang cukup berat setelah kematian sebelum mereka dibebaskan darinya. Banyak orang yang mengaku mencintai Allah, tetapi kecintaannya sama sekali tak teruji. Untuk menguji rasa cintamu, perhatikanlah ke mana kau akan condong ketika perintah-perintah Allah datang bertolak belakang dengan hasrat keduniawianmu? Orang yang mengaku cinta kepada Allah namun tetap membangkang kepadaiNya, berarti pengakuannya itu dusta belaka.

Telah kita jelaskan di atas bahwa salah satu bentuk neraka ruhani adalah terpisahnya seseorang secara paksa dari dunia yang sangat dicintainya. Banyak orang yang tanpa sadar membawa dalam dirinya benih-benih neraka. Mereka akan mengalami nasib yang teramat naas, layaknya seorang raja yang setelah menjalani hidup mewah, tiba-tiba dii campakkan dari singgasananya dan menjadi cemoohan orang-orang.

Neraka ruhani jenis kedua adalah rasa malu, yaitu ketika seseorang dibangunkan untuk melihat hasil perbuatannya di dunia. Orang yang suka mengumpat di dunia akan mendapati dirinya dalam bentuk seorang kanibal yang makan bangkai saudaranya. Orang yang iri hati akan tampak sebagai seseorang yang melemparkan batu-batu ke dinding, kemudian batu-batu itu memantul kembali dan mengenai mata anaknya sendiri.

Neraka jenis ini, yaitu rasa malu, bisa dijelaskan dengan perumpamaan ringkas berikut ini. Seorang putra raja baru saja menikah. Di malam harinya, ia pergi keluar bersama beberapa sahabatnya dan kembali lagi ke istana dalam keadaan mabuk. Ia masuki sebuah kamar yang terang lalu berbaring di samping tubuh yang diduganya sebagai mempelai wanitanya. Pagi harinya, saat kesadarannya pulih, ia terperanjat mendapati dirinya terbaring di sebuah kamar mayat penyembah api. Sofanya adalah pembaringan jenazah, dan tubuh yang diduganya mempelai wanitanya adalah mayat wanita tua yang mulai membusuk. Betapa malu ia ketika keluar kamar dan mendapati ayahnya, sang raja, mendekatinya dengan serombongan tentara. Itulah perumpamaan tentang rasa malu yang akan dirasakan di akhirat oleh orang-orang serakah yang memasrahkan diri mereka kepada segala sesuatu yang mereka anggap sumber kebahagiaan.

Neraka ruhani jenis ketiga adalah kekecewaan dan kegagalan mencapai objek eksistensi yang sejati. Manusia diciptakan dengan tujuan untuk memantulkan cahaya pengetahuan tentang Tuhan. Namun, jika ia tiba di akhirat dengan jiwa yang tertutup karat tebal nafsu duniawi, ia akan gagal mencapai tujuan penciptaannya. Kekecewaannya bisa digambarkan dengan perumpamaan berikut. Misalkan seseorang melewati hutan gelap bersama beberapa sahabat. Mereka melihat di sana-sini bertebaran batu berwarna yang kerlap-kerlip memantulkan cahaya. Para sahabatnya mengumpulkan dan membawa batu-batu itu dan mengajaknya untuk melakukan hal yang sama.

“Karena,” kata mereka, “kami dengar batu-batu itu akan dibayar dengan harga tinggi di tempat yang akan kita datangi.”

Tetapi orang ini malah menertawakan mereka dan menyebut mereka bodoh karena menyimpan harapan sia-sia untuk memperoleh sesuatu, sementara ia sendiri bisa berjalan bebas tak berbebani. Kemudian mereka tiba di tempat yang dituju dan ternyata batu-batu itu adalah batu delima, zamrud, dan permata yang tak ternilai harganya. Betapa kecewa dan menyesal orang itu karena tidak mengumpulkan benda-benda yang sudah berada dalam jangkauannya itu. Seperti itulah penyesalan orang yang saat hidup di dunia ini tidak berusaha mendapati kan permata kebajikan dan perbendaharaan agama.

Perjalanan manusia di dunia ini bisa dibagi ke dalam empat tahap, yaitu tahap indriawi, eksperimental, instingtif, dan rasional. Pada tahapan pertama ia seperti seekor ngengat yang, meski bisa melihat, tak bisa mengingat sehingga ia akan menubrukkan dirinya berkali-kali pada lilin yang sama. Pada tahapan kedua ia seperti seekor anjing yang setelah sekali dipukul, akan lari saat melihat sebatang rotan pemukul. Pada tahapan ketiga ia seperti seekor kuda atau domba yang, secara instingtif, segera kabur saat melihat macan atau srigala—musuh alaminya—sementara mereka tak akan lari saat melihat unta atau kerbau, meski ukuran keduanya lebih besar. Pada tahapan keempat ia telah melampaui batas-batas kebinatangan itu sehingga mampu, hingga batas tertentu, meramalkan dan mempersiapkan masa depannya.

Pada tahapan pertama gerakannya seperti orang yang berjalan di atas tanah, lalu seperti orang yang menyeberangi lautan di atas sebuah kapal, dan pada tahapan terakhir, ketika ia sudah akrab dengan hakikat-hakikat, ia seperti orang yang mampu berjalan di atas air. Dan, masih ada tahapan kelima yang hanya dikenal oleh para nabi dan wali. Gerakan mereka seperti orang yang terbang mengarungi udara.

Jadi, manusia bisa mengada pada berbagai tahapan yang berbeda, mulai tahapan hewani sampai tahapan malakut. Dan persis di sinilah bahaya besar mengancam, yaitu kemungkinan jatuh ke tahapan yang paling rendah. Alquran menyatakan,

“Telah Kami tawarkan amanah kepada langit dan bumi serta gunung-gunung; mereka menolak menanggungnya. Tetapi manusia mau menanggungnya. Sungguh manusia itu bodoh.”

Hewan maupun malaikat tak bisa mengubah tingkatan dan posisi kemakhlukannya. Tetapi manusia bisa jatuh ke tingkatan hewan yang paling rendah atau naik meraih tingkatan malakut tertinggi. Inilah makna “penanggungan amanah” yang disebutkan dalam ayat di atas. Kebanyakan manusia memilih menetap di dua tahapan yang paling rendah. Dan biasanya mereka selalu memusuhi orang-orang yang bepergian atau musafir yang jumlahnya jauh lebih sedikit.

Banyak manusia dari kedua kelompok itu, karena tak punya keyakinan yang teguh tentang akhirat, menolaknya sama sekali saat nafsu indriawi menguasainya. Menurut mereka, neraka hanyalah temuan para teolog untuk menakut-nakuti manusia. Mereka menghina dan merendahkan para teolog. Berdebat dengan orang seperti ini tak banyak berguna. Meski demikian, mungkin pertanyaan ini bisa membungkam keangkuhannya sehingga ia mau merenung sejenak:

“Apakah kau benar-benar yakin bahwa 124.000 nabi dan wali yang memercayai kehidupan akhirat itu semuanya salah, dan hanya kau yang benar?”

Jika ia menjawab,

“Ya, aku yakin,”

berarti tak ada lagi yang dapat diharapkan darinya. Hati dan pikiran mereka sudah membatu. Mereka sama sekali tak memercayai adanya hari akhir dengan pahala dan siksa yang disediakan bagi jiwa-jiwa manusia. Jika seperti itu keadaannya, tinggalkan dan biarkanlah mereka dalam kesesatan, sebagaimana dikatakan Alquran,

“Meski kau peringatkan, mereka takkan ingat.”

Tetapi jika ia menjawab bahwa kehidupan akhirat itu mungkin ada mungkin tidak ada, dan bahwa ajaran itu sarat misteri dan keraguan sehingga ia tak dapat memutuskan benar atau tidaknya maka katakanlah kepadanya,

“Tuntaskan keraguanmu itu!”

Sampaikan beberapa perumpamaan beri ikut. Umpamanya kau hendak makan, lalu seseorang berkata bahwa seekor ular telah meludahkan bisa ke makanan itu, mungkin kau akan menahan diri dan memilih untuk menahan lapar daripada memakannya, meski orang yang mengabarkan informasi itu mungkin hanya bercanda atau berbohong. Atau misalnya kau sedang sakit dan seorang penyair berkata, “Beri aku satu dirham dan akan kutulis sebuah puisi untuk kauikatkan di lehermu agar kau sembuh dari sakit.”

Mungkin kau akan memberinya uang dengan harapan jimatnya bisa menyembuhkan penyakitmu. Atau jika seorang peramal berkata, “Jika bulan telah sampai pada suatu bentuk tertentu, minumlah obat ini dan itu, niscaya kamu akan sembuh.” Meski kau tak begitu percaya astrologi, mungkin kau akan mencobanya seraya berharap ramalannya itu benar. Lalu, tidak pernahkah kau berpikir bahwa mungkin saja ucapan para nabi, para wali, dan orang-orang suci, yang meyakini kan manusia mengenai adanya kehidupan mendatang, mengandung kebenaran seperti jimat si penyair atau ramalan si peramal?

Banyak manusia yang berani menanggung risiko menyeberangi samudera demi mengharap suatu keuntungan. Apakah kau bersikukuh tidak mau menanggung sedikit penderitaan di masa sekarang demi kebahagiaan abadi di akhirat?

Sayyidina Ali Zainal Abidin (Putra Husain ibn Ali ibn Abi Thalib, cucu Rasulullah saw.) ketika berdebat dengan seorang kafir pernah berkata,

“Jika kau benar maka tidak seorang pun di antara kita yang akan menanggung penderitaan di masa depan. Tetapi jika kami yang benar maka kami akan selamat sementara kau pasti menderita.”

Ia mengatakan itu bukan karena meragukan akhirat, melainkan untuk memberikan kesan tertentu kepada orang kafir itu.

Berdasarkan semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Bahkan seandainya seseorang meragukan keberadaan akhirat, nalar mengajarkan bahwa ia harus bertindak seakan-akan akhirat itu ada dengan mempertimbangkan akibat luar biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan hanya bagi orang-orang yang mengikuti ajaran Allah.

Sumber : Imam al-Ghazali, Kimiya’ al-Sa‘adah : Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi terj Dedi Slamet Riyadi & Fauzi Bahreisy, Penerbit Zaman.