Mengapa Wanita Sulit untuk Menjadi Pemimpin?

Hingga saat ini di negara kita tercinta ini bisa dihitung jumlah perempuan yang menjadi pemimipin. mulai dari ibu Megawati Soekarno Putri (mantan presiden), Ibu Risma (walikota surabaya), Ibu Retno Lestari (menteri luar negeri), Ibu Sri Mulyani (menteri keuangan) dan perempuan pemimpin lainnya. begitupun di organisasi kampus ataupun sekolah, perempuan cenderung hanya menjadi anggota dan laki-laki lah yang menjadi pemimpinnya. padahal sudah ada emansipasi wanita yang mengangkat derajat wanita sehinga wanita bisa melakukan dan mendapatkan kesempatan hal yang sama seperti pria.

tapi pada kehidupan saat ini laki-laki lah yang cenderung di dorong untuk menjadi seorang pemimpin. Menurut teman-teman mengapa demikian?

1 Like

Menurut saya, hal ini terjadi karena budaya patriarki masih melekat di masyarakat Indonesia. Menurut KBBI, istilah patriarki memiliki arti sebagai perilaku yang mengutamakan laki-laki daripada perempuan di masyarakat. Walaupun sudah ada gerakan feminisme yang memperjuangkan kesetaraan gender dan juga emansipasi wanita, budaya patriarki masih dianggap normal oleh masyarakat. Oleh karena itu, masih banyak wanita yang sulit untuk menjadi pemimpin karena seringkali dianggap tidak pantas untuk memegang kepemimpinan.

Salah satu alasan mengapa wanita sulit dipercaya untuk menjadi seorang pemimpin adalah stereotip gender. Salah satu studi menemukan bahwa ketimpangan gender masih sering ditemui di tempat kerja. Studi yang dilakukan oleh University of Buffalo School of Management ini telah menganalisis 136 kasus dengan melibatkan 19 ribu responden, selama 59 tahun terakhir. Peneliti menyimpulkan bahwa ketimpangan gender memang semakin berkurang di beberapa dekade terakhir, tapi bukan berarti benar-benar menghilang.

“Alasan utama di balik langgengnya ketimpangan gender karena tekanan sosial yang menyebabkan perbedaan karakteristik antara perempuan dan laki-laki,” jelas peneliti, dilansir Times of India .

Sifat laki-laki yang cenderung tegas dan sifat perempuan yang mengedepankan perasaan dalam stereotip masyarakat membuat laki-laki dianggap lebih mampu menjadi seorang pemimpin daripada perimpuan. Hal inilah yang menghambat perempuan dalam mendapat kepercayaan sebagai seorang pemimpin.

Memang, hakikatnya seorang laki laki adalah seorang pemimpin, minimal sebagai pemimpin keluarga. Hal ini karena sifat sebagaimana seorang laki-laki cenderung tegas dan dominan serta berani mengambil keputusan dan cenderung berpikir secara logika, sementara perempuan dihubungkan dengan hal hal yang bersifat mengasihi dan mengasuh serta cara berpikir perempuan cenderung mengedepankan perasaan. Sikap laki-laki yang lebih vokal dan sering mengutarakan pendapatnya dalam rapat kerja, dianggap memiliki kriteria sebagai pemimpin. Sedangkan sifat feminim perempuan, membuat mereka enggak terlalu dipandang sebagai pemimpin. Anggapan inilah yang menghambat perempuan dalam kariernya. Padahal mereka juga memiliki potensi yang sama untuk menjadi pemimpin. Seorang lelaki sebagai pemimpin juga dijelaskan didalam firman Allah, hadist Nabi Muhammad SAW, Ijma’ ulama, dll. Bahkan, sholat berjamaah yang menjadi imam adalah seorang laki laki. Dari sini sudah jelas, laki laki memang diciptakan sebagai seorang pemimpin.

Alasan mengapa wanita sulit untuk menjadi pemimpin adalah karena stereotip gender masih jadi penghalang. Sebuah studi juga menemukan bahwa ketimpangan gender masih eksis di tempat kerja. Studi yang dilakukan oleh University of Buffalo School of Management ini menganalisis 136 kasus yang melibatkan 19 ribu responden, dalam 59 tahun terakhir. Peneliti menyimpulkan bahwa ketimpangan gender memang semakin berkurang di beberapa dekade terakhir, tapi bukan berarti benar-benar menghilang. Alasan utama di balik langgengnya ketimpangan gender karena tekanan sosial yang menyebabkan perbedaan karakteristik antara perempuan dan laki-laki.
Laki-laki cenderung tegas dan dominan, sementara perempuan dihubungkan dengan mengasihi dan mengasuh. Sikap laki-laki yang lebih vokal dan sering mengutarakan pendapatnya dalam rapat kerja, dianggap memiliki kriteria sebagai pemimpin. Sedangkan sifat feminin perempuan, membuat mereka enggak terlalu dipandang sebagai pemimpin. Anggapan inilah yang menghambat perempuan dalam kariernya. Padahal mereka juga memiliki potensi yang sama untuk menjadi pemimpin.

Menurut saya wanita sulit menjadi pemimpin karena pola pikir institusional mencakup berbagai jenis bias gender dan stereotip. Misalnya, ketidaksesuaian peran terjadi ketika seseorang memegang keyakinan atau stereotip tentang kelompok yang tidak konsisten dengan perilaku yang dianggap perlu untuk berhasil dalam peran tertentu. Dengan kata lain, ada kepercayaan umum bahwa perbedaan gender membuat perempuan dan laki-laki efektif dalam peran yang berbeda. Dengan demikian, perempuan kurang efektif jika peran pemimpin bersifat maskulin, dan laki-laki kurang efektif jika peran bersifat feminin.

menurut saya mengenai pertanyaan tersebut, karena hal itu sudah menjadi perilaku yang lekat sehingga menjadikannya sebagai budaya oleh masyarakat. Perilaku tersebut terbawa dari zaman dahulu yang masih menomorkanduakan perempuan. Selain itu, masyarakat percaya bahwa sifat perempuan berbeda dengan laki-laki, sifat perempuan cenderung melibatkan perasaan dan sifat laki-laki lebih cenderung melibatkan logika. Kepercayaan itu juga menjadi dasar dalam menggiring masyarakat beropini bahwa perempuan sulit untuk menjadi pemimpin. Kemudian kaum laki-laki mempunyai pandangan lebih vokal dalam mengungkapkan pendapat di area pekerjaannya, sedangkan perempuan lebih mempunyai pandangan yang feminim. Itu semua yang menjadikan penghalangan untuk kaum wanita mendapatkan pandangan bahwa bisa menjadi pemimpin.

Menurut saya, tidak semua wanita ingin menjadi pemimpin. Itu yang menjadi salah satu faktor dan alasan mengapa wanita sulit menjadi pemimpin. Sumber daya manusia terutama wanita juga jumlahnya banyak di Indonesia, akan tetapi minimnya dari mereka masih memiliki pola pikir dengan nikah muda dengan memikirkan anak dan keluarga kecilnya dan tidak mempertimbangkan pendidikannya.

Menurut Katadata, berdasarkan data 2018, pernikahan dini ditemukan di seluruh bagian Indonesia. Sebanyak 1.184.100 perempuan berusia 20-24 tahun telah menikah di usia 18 tahun. Jumlah terbanyak berada di Jawa dengan 668.900 perempuan.

Di sisi lain beberapa wanita menggerakan emansipasi wanita dan berusaha menyetarakan gender, dengan cara bekerja namun tidak ingin menjadi pemimpin karena tuntutan sosial. Berfokus pada pekerjaannya, mendidik anak, dan mengurus rumah tangganya. Ini banyak terjadi pada wanita yang bekerja dibidang industri sebagai karyawan swasta.

Sisi terakhir, banyaknya wanita yang berusaha untuk meningkatkan dirinya dan menginginkan menjadi sesosok pemimpin. Wanita dalam kategori ini tidak terlalu banyak, akan tetapi memiliki peluang untuk mencapai keinginannya. Kurangnya dukungan wanita menjadi pemimpin, karena terjadinya sisi satu dan sisi dua yang saya jelaskan diatas. Terlebih banyaknya pemikiran dari kita bahwa wanita tidak boleh melampaui pria, karena akan menjadi kesenjangan sosial.

Jadi kesimpulannya adalah faktor sulitnya wanita menjadi pemimpin, salah satunya ada dari sebagian wanita dikarenakan berbeda pemikiran, tujuan dan arah pandangan hidup.

Menurut saya, hal yang menjadikan wanita sulit menjadi pemimpin karena adanya gender stereotype yang sudah meluas. Karena, masyarakat umum menganggap bahwa sifat perempuan cenderung lebih melibatkan perasaannya dibanding laki-laki yang lebih rasional. Kepercayaan tersebut tentunya menggiring opini publik bahwa perempuan sulit menjadi seorang pemimpin.

Menurutku, yang susah itu bukan ‘menjadi’ pemimpinnya, tapi akses untuk menjadi pemimpin itu sendiri. Social construct yang terus berkembang di masyarakat semakin memvalidasi bahwa pemimpin itu harus laki-laki;jika pemimpinnya perempuan sama saja telah menginjak-injak harga diri laki-laki; atau, perempuan itu lemah, cenderung menggunakan perasaan daripada logika jadi tidak cocok menjadi pemimpin.
Ini masalah struktur dan kultur. Kultur merujuk pada hal-hal yang sifatnya menjadi kesepakatan kolektif di masyarakat meski bisa berubah-ubah dan berbeda di setiap daerah. Pemikiran seperti ini tidak akan pernah hilang kalau kita tidak membicarakan si tersangka utamanya, yaitu patriarki. Dalam budaya patriarki ini menuntut bahwa perempuan haruslah feminim, salah satu aspek feminim adalah ‘nggak boleh koar-koar’ harus tetap stay calm. . Perempuan harus menjadi obyek yang dipimpin, dan tidak mendapatkan kesepatan menjadi subyek.
Berdasarkan hasil penelitian oleh Putri dan Fatmariza (2020) dengan judul “Perempuan dan Kepemimpinan di Organisasi Mahasiswa Universitas Negeri Padang” mendapatkan kesimpulan bahwa pemimpin hanya 5,88% perempuan yang menjadi pemimpin di Ormawa sejak tahun 2015-2020. Penyebab rendahnya kepemimpinan perempuan di Ormawa adalah Perempuan dianggap kurang paham dalam mengambil kebijakan yang mempengaruhi orang banyak dengan persentase sebesar 62%. Perempuan tidak percaya diri untuk menjadi pemimpin dengan persentase sebesar 47%, ketidakyakinan kepada perempuan untuk memenuhi tanggung jawab menjadi pemimpin dengan persentase sebesar 44%. Budaya patriarki yang masih melekat dalam lingkungan organisasi dengan persentase sebesar 59%. Perempuan dianggap tidak mampu mendisiplinkan orang dewasa terkhusus laki-laki dengan persentase sebesar 54%. Perempuan tidak memiliki relasi yang kuat dalam memperoleh suara untuk memimpin dengan persentase sebesar 50%. Sehingga hal tersebut membuat perempuan sangat sulit untuk menjadi pemimpin.
Dari hasil penelitian tersebut, sudah nampak jelas bahwa budaya patriarki masih melenggang di ranah mahasiswa.
Untuk membela penindasan akan perempuan diranah politik ini, kita mengenal denga gerakan feminisme. Namun, tidak sedikit pula kaum yang menentang gerakan ini. Padahal, basis dari feminisme adalah mendukung kesetaraan. Bukan membenci laki-laki, tapi patriarki. Bukan ingin sama atau bahkan lebih dari laki-laki, tapi ingin disetarakan, didengarkan suaranya, diakui keberadaannya, dan diberi kesempatan untuk terlibat di dinamika kehidupan. Inget, ya. Setara, bukan sama. In conclusion, perempuan sulit menjadi pemimpin itu karena budaya.

Referensi:

Putri, N., & Fatmariza, F. (2020). Perempuan dan Kepemimpinan di Organisasi Mahasiswa Universitas Negeri Padang. Journal of Civic Education , 3 (3), 267-276. Perempuan dan Kepemimpinan di Organisasi Mahasiswa Universitas Negeri Padang | Journal of Civic Education

Pada dasarnya semua manusia adalah seorang pemimpin seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 30, namun memang sifat kepemimpinan ini perlu dilatih. Lalu mengapa perempuan sulit untuk menjadi pemimpin? faktor besarnya adalah budaya patriarki yang masih melekat dikehidupan bermasyarakat kita. Perempuan dinilai megedepankan perasaan sehingga pikiran logisnya kadang tertutupi dan dinilai dapat menghambat jalannya pemimpin dibandingkan laki-laki yang mendahului logika dan berpikir secra konkret. Padahal bisa saja sifat-sifat perempuan banyak dibutuhkan dalam kelompok, contohnya rasa kepedulian yang tinggim rasa kasih sayang, rasa mengayomi, dan sebagainya. Jadi untuk memilih pemimpin sebaiknya jangan didasarkan oleh streotype mengenai gender atau jenis kelamin, tapi pilih dan pilah berdasarkan kebutuhan kelompok.

menurut saya wanita sulit menjadi pemimpin karena pola pikir masyarakat yang selalu beranggapan bahwa hanya pria yang cocok jadi pemimpin sedangkan wanita tidak, karena wanita seharusnya bersifat lemah lembut dan menurut perkataan pria membuat masyarakat lebih percaya jika yang memimpin adalah seorang pria. meskipun sudah ada emansipasi wanita namun masyarakat sampai saat ini tetap menganggap bahwa wanita tidak boleh berada di atas pria karena hanya pria yang boleh menjadi pemimpin.

Terdapat kesenjangan gender yang nyata ketika membicarakan posisi kepemimpinan laki-laki dan perempuan di berbaga tempat terutama di tempat kerja. Saat ini ada 18 wanita pemimpin dunia, termasuk 12 perempuan kepala pemerintahan dan 11 perempuan kepala negara terpilih (beberapa pemimpin memegang kedua posisi, dan pemimpin kerajaan tidak termasuk), menurut data PBB pada 2015. Wanita-wanita ini mengemban hanya satu persepuluh jumlah pemimpin dunia saat ini dari negara-negara anggota PBB.

Kesenjangan yang terjadi mungkin sebagian besar berakar dari asumsi seksis. Dimana masyarakat menganggap bahwa pria memiliki kualitas kepemimpinan yang lebih baik dibanding wanita. Padahal nyatanya siap atau tidaknya seseorang untuk memimpin dilihat dari pribadinya bukan gender dari seseorang tersebut.