Mengapa shalat magrib dan isya membaca suratnya dikeraskan suarannya?

Shalat

Mengapa shalat magrib dan isya membaca suratnya dikeraskan suarannya?

Ketika diajukan pertanyaan serupa, Syaikh Bin Baz rahimahullah menjawab :

“Wallahu a’lam alasan mengapa diajarkan untuk membaca keras-keras dalam shalat-shalat tersebut (Maghrib, ‘Isya dan Shubuh). Alasan yang paling mungkin – dan Wallahu a’lam – adalah bahwa pada malam hari dan pada saat shalat Fajar , orang lebih mungkin memperoleh manfaat dari bacaan yang dilakukan dengan keras, karena kurangnya gangguan dari sekitar mereka daripada pada saat Zhuhr dan ‘ Ashar”

Ada salah satu pendapat yang mengatakan alasan mengeraskan bacaan shalat ketika malam hari adalah karena waktu malam adalah saat yang sunyi dan dianjurkan untuk terjaga, maka dianjurkan membaca bacaan shalat dengan keras untuk mendapatkan kenikmatan bermunajat kepada Allah Swt. Kemudian bacaan jahr disunnahkan pada rakaat pertama dan kedua karena pada saat itu orang yang shalat masih dalam keadaan bersemangat.

Sedangkan di waktu siang hari adalah saat-saat sibuk dan berkumpulnya manusia sehingga dianjurkan membaca samar sebab tidak adanya masalah yang mendesak untuk menyempurnakan munajat ketika siang hari. Sebagaimana diterangkan dalam kitab I’anah at-Thalibin:

Perkataan musannif, (disunnahkan mengeraskan bacaan) meskipun kuatir riya’. Imam Ali Syibramulisy berkata “Adapun hikmah mengeraskan bacaan pada tempatnya yaitu sesungguhnya ketika adanya malam itu tempat kholwat (menyepi) dan enak dibuat ngobrol, maka disyari’atkan mengeras-kan bacaan untuk mencari nikmatnya munajat seorang hamba kepada Tuhannya, dan dikhususkan pada dua rakaat pertama karena semangatnya orang yang shalat berada di dalam dua rakaat tersebut. Dan ketika siang itu tempat berbagai macam kesibukan dan berkumpul dengan manusia, maka dianjurkan membaca dengan suara lirih karena tidak adanya maslahah untuk menyempurnakan munajat, dan shalat shubuh disamakan dengan shalat malam, karena waktunya bukan tempat kesibukan”. (I’anah at-Thalibin, juz 1, hal. 179, Dar Ibn ‘Ashashah)