Mengapa Penting Menjaga Kesehatan Mental Bagi Milenial di Tengah Pandemik COVID-19?

Di tengah pandemik COVID-19, umat manusia ditantang untuk mengubah cara belajar, bekerja, dan bersosialisasi. Bagi sebagian orang, mengubah dimensi offline menjadi online perlu adaptasi bertahap. Beberapa masalah muncul, seperti tabungan yang mulai habis, tidak ada bantuan dari pemerintah, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan berbagai cicilan rumah dan kendaraan yang tertunda. Jelas, kesehatan mental berperan besar dalam menjaga akal tetap sehat di tengah berbagai tekanan ekonomi tersebut. Bagi milenial, pandemic COVID-19 ini menjadi parameter identitas, sebagaimana yang dikatakan Stein (2013) bahwa mereka digambarkan sebagai narsis, terobsesi dengan ketenaran dan promosi diri, rapuh secara emosional, malas, dan merasa berhak (entitled).

Sebelum pandemik COVID-19 menyebar ke 34 provinsi di Indonesia, sejak 2013, sudah terjadi peningkatan 47% kaum milenial dalam kondisi diagnosis depresi berat dan 50% generasi milenial tersebut telah meninggalkan pekerjaan karena alasan kesehatan mental. Sebuah studi baru menemukan bahwa kesehatan mental adalah salah satu dari beberapa masalah terbesar yang mengganggu seluruh generasi. Ditemukan bahwa depresi berat memiliki tingkat prevalensi tertinggi, atau kemungkinan seseorang mengidap penyakit, di antara kondisi kesehatan yang memengaruhi kaum milenial. Ketegangan finansial pada generasi milenial ini kemungkinan besar berkontribusi pada meningkatnya tingkat kecemasan dan depresi mereka.

Sebuah studi tahun 2018 terhadap 40.000 mahasiswa Amerika, Kanada, dan Inggris yang diterbitkan dalam jurnal Psychological Bulletin menemukan bahwa kaum milenial menderita “kesempurnaan multidimensi” di banyak bidang kehidupan mereka. Generasi ini dikenal untuk menetapkan tujuan yang tinggi dengan harapan yang tidak realistis, dan ketika tujuan ini tidak tercapai, rasa gagal merembes masuk, menghasilkan harga diri dan kecemasan yang rendah.

Mengapa kesehatan mental dapat terganggu?

Salah satunya disebabkan karena internalisasi stigma penyakit mental dikaitkan dengan tingkat harga diri (self esteem) yang lebih rendah, self-efficacy (keyakinan individu dalam memperoleh keberhasilan), dan orientasi pemulihan (Drapalski et al. 2013). Meskipun stigma kesehatan mental telah memainkan peran di masa lalu, itu tidak berarti mereka harus terus memainkan peran yang sama di masa depan. Penelitian sekarang sedang mencari cara untuk mengurangi stigma kesehatan mental melalui peningkatan pengetahuan kesehatan mental. Ini dapat dilihat dalam penelitian A. F. Jorm tentang cara-cara untuk memperkenalkan konsep kesehatan mental literasi untuk khalayak luas oleh ulasan naratif (2000). Dalam penelitiannya, dia melihat “banyak anggota masyarakat tidak dapat dengan benar mengenali gangguan mental dan tidak pahami arti istilah psikiatris ”(Jorm 2000: 396).

Analisa saya bahwa mereka yang terganggu kesehatan mental hanya dapat diketahui oleh orang-orang dekat. Dengan arti lain, pengidap kesehatan mental tidak dapat terdeteksi secara fisik. Jorm melanjutkan bahwa kesalahpahaman dapat menyebabkan masalah dalam komunikasi dengan praktisi kesehatan serta perbedaan dalam metode bantuan dan perawatan, karena banyak anggota masyarakat menghindari mencari bantuan karena takut kemungkinan dampak negatif pada situasi pekerjaan mereka (Jorm 2000). Jorm mengadvokasi peningkatan pendidikan literasi kesehatan mental di dalamnya masyarakat tetapi tanpa batas-batas profesional kesehatan mental. Dia menyatakan bahwa jika “ada untuk menjadi keuntungan yang lebih besar dalam pencegahan … kita membutuhkan masyarakat yang ‘melek kesehatan mental’ yang mendasar pengetahuan dan keterampilan lebih banyak didistribusikan ”(Jorm 2000: 399) di antara semuanya bukan hanya para profesional. Bagaimana bisa kita bayangkan, jumlah pekerja yang telah dirumahkan dan terkena Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK) beserta dampak terhadap anak-anak dan keluarga akibat terdampak COVID-19 sudah menembus 2 juta orang. Berdasarkan data Kemenaker per 20 April 2020, terdapat 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan dirumahkan dan kena PHK akibat terimbas pandemi COVID-19.

Dari orang tua ke anak


Orang tua memiliki mekanisme kecerdasan emosi yang lebih baik dari sang anak. Oleh karenanya, gejala kesehatan mental tidak banyak berpengaruh terhadap orang tua yang memang sudah biasa hidup prihatin, namun kepada anak-anaknya. Identitas anak di masa bencana seperti ini, menjadi penting untuk mengenal sisi “gelap” atau mentalitas anak yang secara persis diketahui orang tua 24 jam setiap hari.

Secara teoritis, meskipun konsep subyektif, identitas tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial; dalam teori Giddens dan Erikson, identitas didorong oleh refleksivitas yang konstan dan keterlibatan dengan orang lain. Erik Erikson (1968) mendefinisikan identitas sebagai subyektif, terus dikembangkan melalui pilihan aktif, dan pada inti dari individu dan “budaya komunalnya”. Sementara menurut Giddens (1991), identitas diri … bukanlah sesuatu yang hanya diberikan, sebagai hasil dari kesinambungan sistem tindakan individu, tetapi sesuatu yang harus dibuat dan dipertahankan secara rutin dalam kegiatan refleksi individu. Tidak menjadi persoalan, saat individu mampu “menjadi diri sendiri” di era milenial, namun kondisi membuat “jati diri” di era ini justru identitas diri sangat dipengaruhi dari orang lain.

Dalam kompleksitas abad ke-21, adalah fakta bahwa individu harus sadar diri dan terlibat dengan lain baik secara langsung maupun online, dan selalu dikelilingi oleh rangsangan yang berlebihan (seperti email, pesan teks, laporan berita, dan artikel politik), dan disajikan dengan banyak peluang untuk merefleksikan diri melalui media sosial. Dalam pandangan Johnson (2017) bahwa kondisi ini mengarah pada hiper-refleksivitas di luar yang dijelaskan oleh Giddens, terutama karena peran yang dimainkan media sosial dalam cara kita memandang diri sendiri dan orang lain: hari ini masyarakat membutuhkan kemampuan untuk membuat dan mengontrol gambar seseorang baik secara online maupun secara langsung.

Sebelum ada media sosial, masalah kejiwaan yang dihadapi seseorang sering mendapat reaksi negatif dari orang-orang yang berada di sekelilingnya, bahkan cenderung diabaikan. Apalagi saat media sosial menjadi rutinitas orang dalam mengekspresikan segala hal baik yang berkaitan dengan dirinya maupun orang lain. Pendidikan literasi kesehatan mental menjadi suatu keniscayaan yang dibutuhkan terlebih di era dimana media sosial sangat masif digunakan, oleh penerus milenial, yakni Gen Z. Kita tidak kaget lagi, jika ada orang yang kelihatan baik-baik di media sosial ternyata esoknya melakukan bunuh diri dan hal negatif lainnya. Sebagaimana dialami seorang remaja 14 tahun di Inggris, Molly Russel yang bunuh diri dan ayahnya meyakini bahwa Instagram ikut bertanggung jawab atas kematian putrinya. Saat memeriksa akun Instagram Molly, keluarganya menemukan banyak akun yang mempromosikan tindakan melukai diri sendiri bahkan bunuh diri. Dukungan komunitas remaja dan sekolah menjadi semakin perlu untuk mengantisipasi penyimpangan mental.

Kesehatan mental perlu dipelajari apalagi dalam kaitan dengan penggunaan media sosial. Ada beberapa hal penting agar kita tetap berkinerja, diantaranya:

  • Pertama, membatasi penggunaan media sosial yang menjadi bumerang bagi kita sendiri. Misalkan, seperti membagi pengalaman sahur dengan menu yang mewah. Penting sekali bagi kita untuk proporsional membagikan dan apa yang tidak perlu dibagikan ke publik. Hal ini dapat menyebabkan orang lain membuat perbandingan yang tidak sehat di antara realitas diri dan kehidupan ideal yang digambarkan di internet, sehingga harga diri menjadi rendah.

  • Kedua, memanfaatkan waktu bersama keluarga di masa pandemik ini untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman, bahkan mengevaluasi serta membuat rencana-rencana keluarga yang hebat setelah COVID-19 selesai.

  • Ketiga, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, misalkan yang muslim dapat solat berjamaah bersama. Sang ayah memberikan nasihat/kultum, membiasakan tilawah, dan bergantian menjadi imam, hanya beberapa hal yang sangat direkomendasikan menyehatkan mental kita.

Sebagaimana yang dikatakan Ali bin Abi Thalib RA, bahwasanya “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya”. Dengan mengenal hakikat diri kita yang hanya bagian kecil dari ciptaan Allah SWT, maka kita akan berpikir tentang hal-hal yang lebih besar sehingga terbentuk konsep diri yang positif. Inilah pentingnya bagaimana kesehatan mental sangat terkait dengan identitas diri yang dibangun. Mulai dari pendidikan di keluarga, dukungan komunitas dan sekolah, dan sikap religius semisal bagaimana menghadapi masalah kehidupan, apakah utang, cinta, dan lain sebagainya, dan selalu yakin bahwa “Masalah memang besar, tapi masih ada yang Maha Besar yang akan menolong hambanya”.

Daftar Pustaka

1 Like