Potensi ekosistem daratan dalam mengurangi CO2 di udara tergantung dari macam ekosistem, komposisi spesies, struktur dan distribusi umur tanaman (terutama untuk hutan). Faktor lain yang cukup mempengaruhi adalah kondisi setempat seperti iklim, kondisi tanah, adanya gangguan alam dan macam pengelolaan lahan.
Sebagai dampak dari adanya penebangan, kebakaran dan gangguan lainnya, di dalam ekosistem muda setiap tahun terjadi penyerapan CO2 dari atmosfer, misalnya hutan industri atau hutan regenerasi (hutan sekunder). Sedang pada hutan tua di daerah tropika basah akumulasi biomasa terus berlangsung sehingga diperoleh akumulasi biomasa yang sangat tinggi. Dengan demikian disimpulkan bahwa hutan umumnya dapat mengurangi emisi gas CO2 di atmosfer.
Hal ini benar terjadi bila hanya diperhatikan pada tingkat pohon, tetapi tidak pada skala sistem hutan karena tingkat dekomposisi bahan organik di hutan kurang lebih kurang sama dengan tingkat penyerapan CO2 . Perkecualian terjadi pada hutan gambut di mana akumulasi CO2 justru terjadi di dalam lapisan organik tanah dan proses dekomposisi bahan organik tanah berlangsung sangat lambat.
Banyak hasil penelitian telah dilaporkan bahwa alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menurunkan cadangan C. Penurunan tersebut antara lain disebabkan oleh:
- Hilangnya atau berkurangnya jumlah tegakan pohon per luasan;
- Perbedaan komponen penyusun sistem penggunaan lahan yang baru;
- Pengelolaan residu panen.
Hilangnya atau berkurangnya jumlah tegakan pohon per luasan.
Pengukuran cadangan C di beberapa tempat di Indonesia, diketahui bahwa cadangan C tertinggi terdapat pada biomasa pohon.
Perbedaan komponen penyusun sistem penggunaan lahan.
Berubahnya komponen penyusun sistem penutupan lahan dari sistem polikultur dan umumnya berumur panjang cenderung berubah menjadi monokultur dan berumur pendek. Hal ini terutama berpengaruh melalui masukan seresahnya baik ditinjau dari kuantitas maupun kualitasnya. Sistem polikultur seperti yang dijumpai di hutan mempunyai keragaman tanaman yang tinggi sehingga masukan seresahnya juga sangat bervariasi kualitasnya.
Pada sistem hutan ini masukan seresah terjadi terus menerus dan bervariasi kualitasnya, sehingga “masa tinggalnya” di atas permukaan tanah juga cenderung lebih lama. Pada sistem pertanian monokultur masukan seresah hanya satu macam saja. Bila seresah tersebut berkualitas tinggi (Nisbah C:N, Lignin:N, Poliphenol:N rendah) misalnya pada tanaman leguminosa, maka seresah ini akan cepat mengalami dekomposisi dan mineralisasi sehingga jumlah yang tertinggal sebagai komponen organik sangat rendah. Dengan demikian perolehan cadangan C dari lapisan organik menjdi rendah pula.
Pengelolaan residu panen
Pada sistem hutan alami, pengangkutan biomasa keluar plot hampir tidak terjadi. Sedang pada sistem pertanian, hampir selalu ada pengangkutan biomasa keluar petak bersama hasil panen. Keadaan ini diperparah dengan tidak adanya usaha pengembalian sisa panen, dengan demikian cadangan C dalam tanah akan berkurang dengan cepat.
Salah satu tawaran untuk meningkatkan cadangan C terutama pada tanah-tanah terdegradasi adalah melalui usaha Agroforestri, suatu sistem pertanian berbasis pepohonan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dan mempertahankan kelestarian alam. Di Indonesia terdapat berbagai macam agroforestri yang berkembang mulai dari bentuk yang sederhana (misalnya budidaya pagar) hingga kompleks (misalnya hutan karet dan damar di Sumatera).
Bila ditinjau dari cadangan C, sistem agroforestri ini lebih menguntungkan daripada sistem pertanian berbasis tanaman semusim. Hal ini disebabkan oleh adanya pepohonan yang memiliki biomasa tinggi dan masukan seresah yang bermacam- macam kualitasnya dan terjadi secara terus menerus.