Mencintai Allah adalah Segalanya

Allah

Orang yang hatinya telah dikuasai cinta kepada Allah tentu akan menghirup lebih banyak kebahagiaan dari penampakan-Nya dibanding orang yang hatinya tidak didominasi cinta kepada-Nya. Keadaan keduanya seperti dua orang yang sama-sama bermata tajam melihat wajah yang cantik. Orang yang mencintai pemilik wajah itu akan lebih berbahagia saat menatapnya ketimbang orang yang tidak mencintainya.


Cinta kepada Allah adalah topik paling penting. Kesempurnaan manusia tercapai jika cinta kepada Allah memenuhi dan menguasai hatinya. Seandainya cinta kepada Allah tidak sepenuhnya menguasai hati, setidaknya ia menjadi perasaan paling dominan, mengatasi kecintaannya kepada selain Dia. Tentu saja, kita sulit mencapai tingkatan cinta kepada Allah. Tak heran jika sebuah mazhab kalam sama sekali menyangkal kenyataan bahwa manusia bisa mencintai suatu wujud yang bukan spesiesnya. Mereka mengartikan cinta kepada Allah hanya sebatas ketaatan kepada-Nya. Orang yang beri pendapat seperti itu sesungguhnya tidak mengetahui apa makna agama yang sebenarnya. Seluruh muslim sepakat bahwa mereka wajib mencintai Allah, sebagaimana firman-Nya tentang sifat kaum beriman:

“Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya,”

dan sabda Nabi saw.,

“Sebelum seseorang mencintai Allah dan Nabi-Nya melebihi cintanya kepada yang lain, imannya tidak benar.”

Ketika malaikat maut datang menjemput, Nabi Ibrahim berkata,

“Pernahkah kau melihat seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?”

Allah menjawab,

“Pernahkah kau melihat seorang kawan yang tidak suka melihat kawannya?”

Maka Ibrahim pun berkata,

“Wahai Izrail, ambillah nyawaku!”

Doa berikut ini diajarkan oleh Nabi saw. Kepada para sahabatnya:

“Ya Allah, berilah aku kecintaan kepada-Mu dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu, dan segala yang membawaku lebih dekat kepada cinta-Mu. Jadikanlah cinta-Mu lebih berharga bagiku daripada air dingin bagi orang yang kehausan.”

Hasan al-Basri sering berkata,

“Orang yang mengenal Allah akan mencintai-Nya dan orang yang mengenal dunia akan membencinya.”

Sekarang kita akan membahas sifat cinta. Cinta bisa didefinisikan sebagai suatu kecenderungan kepada sesuatu yang menyenangkan. Contoh yang paling jelas tampak pada panca indra kita. Masing-masing indra mencintai sesuatu yang membuatnya senang. Mata mencintai pemandangan yang indah, telinga mencintai musik dan suara yang merdu, dan seterusnya. Jenis cinta seperti ini juga dimiliki hewan. Tetapi manusia punya indra keenam, yakni persepsi, yang tertanam dalam hati dan tak dimiliki hewan. Fakultas persepsi membuat kita menyadari keindahan dan keunggulan ruhani. Karena itulah seseorang yang hanya mengenal kesenangan indriawi tidak akan bisa memahami maksud Nabi saw. ketika menyatakan bahwa ia mencintai salat melebihi cintanya pada wewangian dan wanita.

Sebaliknya, orang yang mata hatinya telah terbuka untuk melihat keindahan dan kesempurnaan Allah pasti akan meremehkan semua penglihatan luar meski semua itu tampak indah di mata.

Manusia yang hanya mengenal kesenangan indriawi akan mengatakan bahwa keindahan ada pada rupa yang warna-warni, keserasian anggota tubuh, dan seterusnya, namun tak bisa melihat keindahan moral yang dimaksudkan oleh orang-orang ketika mereka membicarakan seseorang yang bertabiat baik. Tetapi menurut orang yang punya pandangan lebih dalam, kita dapat mencintai orang-orang besar yang telah mendahului mereka, seperti Khalifah Umar dan Abu Bakar, yang memiliki karakter mulia meski jasad mereka telah bercampur debu. Cinta seperti itu tidak melihat bentuk luar, tetapi mencermati sifat-sifat ruhani. Bahkan ketika kita ingin membangkitkan rasa cinta seorang anak kepada orang lain, kita tidak menguraikan keindahan tubuhnya, tetapi keunggulan moralnya.

Jika prinsip ini kita terapkan untuk kecintaan kepada Allah, kita akan mendapati bahwa hanya Dia satu-satunya yang pantas dicintai. Seseorang yang tidak mencintai Allah berarti tak mengenali-Nya. Karena alasan inilah kita mencintai Muhammad saw., nabi dan kekasih-Nya. Cinta kepada Nabi saw. berarti cinta kepada Allah. Begitu pula, cinta orang yang berilmu dan bartakwa sesungguhnya merupakan cinta kepada Allah. Kita akan memahami hal ini lebih jelas kalau kita membahas fakor-faktor yang membangkitkan cinta kepada Allah.

Faktor pertama adalah bahwa manusia selalu mencintai dirinya dan kesempurnaan sifatnya. Ini mengantarkannya langsung menuju cinta kepada Allah, karena keberadaan manusia dan sifat-sifatnya tak lain adalah anugerah Allah. Kalau bukan karena kebaikan-Nya, manusia tidak akan pernah muncul dari balik tirai ketiadaan ke dunia kasatmata ini. Pemeliharaan dan pencapaian kesempurnaan manusia juga sepenuhnya bergantung kepada kemurahan Allah. Sungguh aneh, ada orang yang berlindung dari panas matahari di bawah bayangan sebuah pohon tetapi tidak mensyukuri pohon itu—sumber bayangan—yang tanpanya pasti tak akan ada bayangan sama sekali. Kalau bukan karena Allah, manusia tidak akan ada dan tidak akan punya sifat-sifat. Karenanya, setiap orang pasti dan mesti mencintai Allah, kecuali orang-orang yang tidak mengetahui-Nya.

Mereka tak bisa mencintai-Nya, karena cinta kepada-Nya memancar langsung dari pengetahuan tentang-Nya. Dan sejak kapankah orang yang bodoh punya pengetahuan?

Faktor kedua adalah cinta manusia kepada pendukungnya, dan sesungguhnya yang senantiasa mendukung dan membantu manusia hanyalah Allah. Sebab, kebaikan apa pun yang diterimanya dari sesama manusia pada hakikatnya disebabkan oleh dorongan langsung dari Allah. Motif apa saja yang menggerakkan seseorang memberi kebaikan kepada orang lain, apakah itu keinginan untuk mendapat pahala atau nama baik, sesungguhnya digerakkan oleh Allah.

Faktor ketiga adalah perenungan terhadap sifat-sifat Allah, kekuasaan, dan kebijakan-Nya. Kekuasaan dan kebijakan manusia hanyalah cerminan paling lemah dari kebijakan dan kekuasaan-Nya. Cinta seperti ini mirip dengan cinta kita kepada orang-orang besar di masa lampau, seperti Imam Malik dan Imam Syafi‘i meski kita tak pernah berharap mendapat keuntungan dari mereka. Inilah cinta yang tanpa pamrih. Allah berfirman kepada Nabi Daud,

“Hamba-Ku yang paling mencintai-Ku adalah yang tidak mencari-Ku karena takut dihukum atau mengharapkan pahala. Ia mencari-Ku hanya untuk membayar hutangnya kepada ketuhanan-Ku.”

Dalam Alkitab tertulis:

“Siapakah yang lebih kafir daripada orang yang menyembah-Ku karena takut neraka atau mengharap surga? Jika tidak Kuciptakan keduanya, tidak pantaskah Aku untuk disembah?”

Faktor keempat adalah adanya “kemiripan” antara manusia dan Allah. Inilah makna sabda Nabi saw.:

“Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya.”

Dan dalam sebuah hadis qudsi Allah berfirman:

“Hamba-Ku mendekat kepada-Ku sehingga Aku menjadikannya sahabat-Ku. Lantas, Aku menjadi telinganya, matanya, dan lidahnya.”

Dan Allah berfirman kepada Musa as.:

“Aku sakit tetapi engkau tidak menjengukku!”

Musa menjawab,

“Ya Allah, Engkau adalah penguasa langit dan bumi, bagaimana mungkin Engkau sakit?”

Allah berfirman,

“Salah seorang hamba-Ku sakit. Dengan menjenguknya berarti kau telah mengunjungi-Ku.”

Memang tema ini agak riskan diperbincangkan karena berada di luar pemahaman orang awam. Orang yang cerdas sekalipun tersandung ketika membicarakan masalah ini sehingga mereka meyakini adanya inkarnasi dan persatuan dengan Allah. Meski demikian, kemiripan antara manusia dan Allah menjawab keberatan teolog Zahiriah yang berpendapat bahwa manusia tidak bisa mencintai wujud yang bukan dari spesiesnya seni diri. Betapa pun jauh jarak yang memisahkan keduanya, manusia bisa mencintai Allah karena kemiripan yang diisyaratkan dalam sabda Nabi:

“Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya.”

Melihat Allah


Semua muslim mengakui percaya bahwa melihat Allah adalah puncak kebahagiaan manusia, sebagaimana dikatakan syariat. Tetapi kebanyakan pengakuan mereka hanyalah pengakuan lisan yang tidak disertai keyakinan yang teguh. Fenomena ini tidaklah mengherankan karena bagaimana bisa manusia mendambakan sesuatu yang tak diketahuinya! Kami akan berusaha menjelaskan secara ringkas, kenapa melihat Allah menjadi kebahagiaan terbesar manusia.

Semua fakultas dalam diri manusia sesungguhnya memiliki fungsi tersendiri yang harus dipenuhi. Masing-masing punya kebaikannya sendiri, mulai dari nafsu jasadi yang paling rendah hingga pemahaman intelektual yang tertinggi. Namun, bahkan upaya mental yang paling kecil sekalipun akan memberikan kesenangan yang lebih besar daripada pemuasan hasrat jasad. Begitulah, seseorang yang telah larut dalam permainan catur tidak akan ingat makan meski berulang kali dipanggil. Dan, semakin tinggi pengetahuan kita, semakin besar kegembiraan kita. Misalnya, kita merasa lebih senang mengetahui rahasia raja daripada rahasia wazir. Karena Allah merupakan objek pengetahuan tertinggi maka pengetahuan tentang-Nya pasti akan memberikan kesenangan yang sangat besar. Orang yang mengenal Allah, di dunia ini, pasti merasa telah berada di surga “yang luasnya seluas langit dan bumi”, yang buah-buahannya begitu nikmat dan bebas dipetik; dan surga yang tak menjadi sempit sebanyak apa pun penghuninya.

Kendati demikian, nikmat pengetahuan masih jauh lebih kecil daripada nikmat penglihatan. Jelas saja, melihat orang yang kita cintai memberi kenikmatan yang jauh lebih besar ketimbang hanya mengetahui dan melamunkannya. Keterpenjaraan kita dalam jasad yang terbuat dari lempung dan air ini, dan kesibukan kita mengurusi dunia telah menciptakan tirai yang menghalangi kita dari melihat Allah meski hal itu tidak mencegah kita dari memperoleh sebagian pengetahuan tentang-Nya. Karena alasan inilah Allah berfirman kepada Musa di Bukit Sinai:

“Engkau tidak akan bisa melihatiKu.”

Penjelasannya seperti ini. Sebagaimana benih manusia akan menjadi manusia dan biji kurma yang ditanam akan tumbuh menjadi pohon kurma maka pengetahuan tentang Tuhan yang dicapai di bumi pun kelak akan menjelma menjadi penampakan Tuhan di akhirat. Orang yang tak pernah mempelajari pengetahuan itu tak akan bisa melihat Tuhan. Kendati demikian, Tuhan akan menampakkan diri-Nya kepada orang-orang yang mengetahui-Nya dengan kadar penampakan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka. Tuhan itu satu, tetapi Dia akan terlihat dalam banyak modus yang berbeda, persis seperti sebuah benda tecermin dalam beragam cara melalui sejumlah cermin; ada yang memantulkan bayangan yang lurus, ada yang baur, ada yang jelas, juga ada yang kabur.

Cermin yang kotor dan rusak bisa jadi akan mengubah tampilan benda yang indah menjadi tampak buruk. Begitu pula manusia yang datang ke akhirat dengan hati yang kotor, rusak, dan gelap. Sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan bagi orang lain justru membuatnya sedih dan menderita. Orang yang hatinya telah dikuasai cinta kepada Allah tentu akan menghirup lebih banyak kebahagiaan dari penampakan-Nya dibanding orang yang hatinya tidak didominasi cinta kepada-Nya. Keadaan keduanya seperti dua orang yang sama-sama bermata tajam melihat wajah yang cantik. Orang yang mencintai pemilik wajah itu akan lebih berbahagia saat menatapnya ketimbang orang yang tidak mencintainya. Agar mendapat kebahagiaan sempurna, pengetahuan semata tanpa disertai cinta belumlah cukup. Dan cinta kepada Allah tak bisa memenuhi hati manusia sebelum hatinya disucikan dengan zuhud dari cinta dunia. Keadaan orang yang mencintai Allah di dunia ini adalah seperti pecinta yang akan melihat wajah kasihya di keremangan senja, sementara pakaiannya dipenuhi lebah dan kalajengking yang terus menyiksanya. Ia akan merasakan kebahagiaan sempurna saat matahari terbit dan menampakkan wajah sang kekasih dengan segenap keindahannya disertai matinya semua binatang berbisa yang selalu mengusiknya. Seperti itulah keadaan hamba yang mencintai Allah setelah keluar dari keremangan dan terbebas dari bala yang menyiksa di dunia ini. Ia akan melihat-Nya tanpa tirai. Abu Sulaiman berkata,

“Orang yang sibuk dengan dirinya di dunia, kelak akan sibuk dengan dirinya; dan orang yang sibuk dengan Allah di dunia, kelak akan sibuk dengan-Nya.”

Yahya ibn Mu‘adz meriwayatkan bahwa ia mengamati Bayazid Bistami dalam salatnya sepanjang malam. Usai salat, Bayazid berdiri dan berkata,

“Ya Allah! Sebagian hamba telah meminta dan mendapat kemampuan luar biasa, berjalan di atas air atau terbang di udara, tetapi aku tidak meminta itu; sebagian lainnya meminta dan mendapatkan limpahan harta, tetapi bukan itu pula yang kuminta.”

Kemudian Bayazid berpaling dan ketika melihat Yahya, ia bertanya,

“Engkaukah itu Yahya?”

“Ya.”

“Sejak kapan?”

“Cukup lama.”

Kemudian Yahya memintanya agar mengungkapkan beberapa pengalaman ruhaniahnya.

“Akan kuungkapkan,” jawab Bayazid, “apa yang boleh diceritakan kepadamu. Yang Mahakuasa telah memperlihatkan kerajaan-Nya kepadaku, dari yang paling mulia hingga yang paling hina. Ia mengangkatku ke atas Arasy dan Kursi-Nya dan ketujuh langit. Kemudian Dia berkata, ‘Mintalah kepada-Ku apa yang kauinginkan.’

Aku menjawab,

‘Ya Allah! Tak kuingini sesuatu pun selain Engkau.’ Dia berkata, ‘Sungguh, engkaulah hamba-Ku.”

Di kesempatan yang berbeda Bayazid berkata,

“Jika Allah menawarimu keakraban dengan-Nya seperti keakraban Ibrahim kepada-Nya, kekuatan doa Musa, dan keruhanian Isa, mintalah agar wajahmu terus mengarah kepada-Nya. Cukuplah itu bagimu, karena Dia memiliki khazanah yang bahkan melampaui semua ini.”

Suatu hari seorang sahabatnya berkata,

“Selama tigapuluh tahun aku berpuasa di siang hari dan salat di malam hari, tetapi sama sekali tak kudapati kebahagiaan ruhaniah yang sering kau sebut-sebut itu.”

Bayazid menjawab,

“Meski kau berpuasa dan salat selama tiga ratus tahun, kau tetap tidak akan mendapatinya.”

“Kenapa?”

“Karena perasaan mementingkan diri sendiri telah menjadi tirai antara dirimu dan Allah.”

“Lalu, bagaimana menyembuhkannya?”

“Kau tidak mungkin bisa melaksanakannya.”

Namun, sahabatnya itu bersikeras memohon hingga akhirnya Bayazid berkata,

“Pergilah ke tukang cukur terdekat, cukuri lah jenggotmu. Buka semua pakaianmu kecuali korset yang melingkari pinggangmu. Ambillah sebuah kantong penuh buah kenari, gantungkan di lehermu, pergilah ke pasar dan berteriaklah: ‘Setiap orang yang memukul tengkukku akan mendapat satu buah kenari.’

Kemudian dalam keadaan seperti itu, pergilah ke tempat para kadi dan fakih.”

“Astaga!” kata temannya, “aku tak bisa melakukannya. Adakah cara penyembuhan yang lain?”

“Yang kusebutkan tadi barulah langkah awal untuk menyembuhkan penyakitmu. Namun, seperti telah kukatakan, kau tak bisa disembuhkan.”

Bayazid menunjukkan cara penyembuhan seperti itu karena sahabatnya itu sangat ambisius mengejar kedudukan dan kehormatan. Ambisi dan kesombongan adalah penyakit yang hanya bisa disembuhkan dengan cara-cara seperti itu. Allah berfirman kepada Isa,

“Wahai Isa, jika Kulihat di hati para hamba-Ku kecintaan yang murni kepadai Ku, yang tidak ternodai nafsu mementingkan diri sendiri di dunia maupun dia akhirat, maka Aku akan menjadi penjaga cinta itu.”

Dan diriwayatkan bahwa ketika orang-orang meminta Isa a.s. menyebutkan amal yang paling mulia, ia menjawab,

“Mencintai Allah dan memasrahkan diri kepada kehendak-Nya.”

Ketika ditanya apakah ia mencintai Nabi saw., Rabiah al Adawiyah menjawab,

“Kecintaan kepada Sang Pencipta telah mencegahku mencintai mahluk.”

Ibrahim ibn Adam dalam doanya berkata,

“Ya Allah, di mataku, surga masih lebih rendah dari seekor serangga jika dibanding cintaku kepada-Mu dan kebahagiaan mengingat-Mu yang telah Kau anugerahkan kepadaku.”

Sungguh telah tersesat jauh orang yang menduga bahwa kebahagiaan di akhirat bissa dinikmati tanpa kecintaan kepada Allah. Sebab, tujuan utama kehidupan manusia adalah sampai kepada Allah kelak di akhirat sebagaimana sampainya seseorang pada sesuatu yang sangat didambakannya. Kebahagiaan pertemuan dengan-Nya, setelah melewati pelbagai rintangan yang tak terbilang, sungguh tak terkatakan. Itulah kebahagiaan puncak manusia di akhirat. Namun, kebahagiaan itu takkan pernah dirasakan oleh orang yang tak pernah mencintai-Nya dan tak merasa senang kepada-Nya di dunia. Jika rasa senang kepada Allah di dunia teramat kecil, tentu di akhirat pun rasa senangnya sangat kecil. Ringkasnya, kebahagiaan kita di masa datang sama persis kadarnya dengan kecintaan kita kepada Allah di masa sekarang.

Nasib yang jauh lebih buruk di akhirat—kita berlindung kepada Allah dari mendapat nasib seperti ini—akan menimpa orang yang semasa di dunia justru mencintai sesuatu yang bertentangan dengan Allah. Baginya, negeri akhirat akan menjadi tempat penderitaan tak berkesudahan. Segala hal yang membuat orang lain bahagia akan membuatnya sedih dan menderita. Keadaannya tak berbeda dengan seorang pemakan bangkai yang pergi ke toko minyak wangi. Ketika mencium aroma yang sangat wangi, ia jatuh pingsan. Orang-orang mengerumuninya dan memercikkan air mawar kepadanya, kemudian menciumkan misik (minyak wangi) ke hidungnya. Namun keadaannya justru semakin parah. Akhirnya, datanglah seseorang, yang juga pemakan bangkai. Ia mendekatkan sampah ke hidung orang itu. Segera ia bangkit sadarkan diri, mendesah puas, “Wah, ini baru wangi!”

Dengan demikian, para budak dunia tidak akan merasakan kenikmatan akhirat. Kebahagiaan ruhaniah di akhirat tidak akan mendekati mereka, bahkan membuat mereka semakin menderita. Hasrat-hasrat kotor mereka di dunia akan dibalas dengan balasan yang kotor pula. Akhirat adalah dunia ruh yang merupakan pengejawantahan dari keindahan Allah. Karenanya, ia tak layak bagi orang yang berpikiran dan berperilaku kotor. Kebahagiaan itu hanya akan diberikan kepada orang yang berusaha menggapainya dan tertarik kepadanya. Mereka mencurahkan energi dalam zuhud, ibadah, dan perenungan sehingga ketertarikan mereka semakin menguat. Itulah arti cinta yang sesungguhnya. Mereka itulah yang disebutkan ayat:

“Orang yang telah menyucikan jiwanya akan berbahagia.”

Ketertarikan pada kebahagiaan ukhrawi tidak akan dimiliki oleh orang yang selalu bergelimang dosa dan syahwat duniawi. Mereka akan menderita di akhirat. Alquran menyatakan,

“Dan orang yang mengotori jiwanya akan merugi.”

Orang yang dianugerahi wawasan ruhaniah memahami kebenaran ini sebagai kenyataan teralami, bukan sekadar ungkapan tanpa makna. Karena itulah mereka yakin betul bahwa orang yang membawa kebenaran itu benar-benar seorang nabi, sebagaimana orang yang telah belajar kedokteran meyakini kebenaran ucapan seorang dokter. Keyakinan semacam ini tak lagi membutuhkan dukungan mukjizat, seperti mengubah tongkat menjadi ular yang masih mungkin dipengaruhi oleh mukjizat-mukjizat sejenis yang dilakukan para ahli sihir.

Tanda-tanda Cinta Kepada Allah


Banyak orang mengaku mencintai Allah, tetapi mereka harus mempertanyakan kembali, semurni apakah kecintaan mereka itu?

Kecintaannya itu harus diuji, di antaranya dengan tidak membenci kematian, karena seorang “teman” tidak akan takut bertemu dengan “teman”nya. Nabi saw. bersabda,

“Siapa yang ingin melihat Allah, Allah pun ingin melihatnya.”

Memang benar, seorang pecinta Allah yang ikhlas mungkin saja takut akan kematian sebelum tuntas mempersiapkan dirinya untuk kehidupan akhirat. Namun, jika ia benar-benar ikhlas, pasti ia akan bersemangat mempersiapkan diri. Jadi, salah satu tanda bahwa seseorang mencintai Allah adalah tidak takut mati.

Tanda berikutnya adalah kesediaan seseorang untuk mengorbankan segala hasrat dan kehendaknya demi mencapai kehendak Allah. Ia harus mengikuti dan melaksanakan segala sesuatu yang dapat mendekatkannya kepada Allah seraya menjauhkan diri dari segala yang menjauhkannya dari Allah.

Kendati demikian, orang yang pernah melakukan dosa tidak lantas divonis tidak mencintai Allah sama sekali. Keberdosaannya itu semata-mata membuktikan bahwa ia tidak mencintai-Nya sepenuh hati. Wali Fudhail berkata kepada seseorang,

“Jika ada yang bertanya kepadamu, cintakah engkau kepada Allah, diamlah; karena jika kaujawab, ‘Aku tidak mencintai-Nya,’ kau telah kafir; dan jika kaujawab, ‘Ya, aku mencintai-Nya,’ berarti kau dusta karena banyak perbuatanmu yang bertentangan dengan pengakuanmu.”

Tanda yang ketiga adalah pikiran yang selalu hidup dan segar berkat zikir kepada Allah. Setiap saat, ingatan kepada-Nya tak pernah lepas dari pikirannya. Seorang pecinta pasti akan terus mengingat kekasihnya. Dan jika cintanya itu sempurna, tentu ia tidak akan pernah melupakan-Nya. Meski demikian, mungkin saja cinta kepada Allah tidak menempati tempat utama di hati seseorang, namun kecintaan akan cinta kepada Allah menguasai hatinya. Kedua hal itu, cinta kepada Allah dan kecintaan akan cinta kepada-Nya, sungguh berbeda.

Tanda cinta kepada Allah yang keempat adalah mencintai Alquran, firman Allah, dan mencintai Muhammad Nabiyullah. Lalu, jika cintanya benar-benar kuat, ia akan mencintai semua manusia, karena mereka semua adalah hamba Allah. Bahkan, cintanya akan meliputi seluruh mahluk, karena orang yang mencintai seseorang akan mencintai karya-karya cipta dan tulisan tangannya.

Tanda yang kelima adalah adanya hasrat yang kuat untuk beruzlah demi tujuan ibadah. Seorang yang mencintai Allah senantiasa mendambakan datangnya malam agar bisa berhubungan dengan Temannya tanpa halangan. Jika ia lebih menyukai bercakap-cakap di siang hari dan tidur di malam hari ketimbang melakukan uzlah seperti itu, berarti cintanya tidak sempurna. Allah berkata kepada Daud a.s.,

“Jangan terlalu dekat dengan manusia, karena ada dua jenis manusia yang jauh dari kehadiran-Ku, yaitu orang yang bernafsu mencari imbalan namun semangatnya kendor setelah mendapatkannya, dan orang yang lebih menyukai pikiran-pikirannya sendiri daripada mengingat-Ku. Tanda-tanda keengganan-Ku adalah Aku membiarkannya sendirian.”

Sebenarnya, jika cinta kepada Allah benar-benar menguasai hati manusia, kecintaan kepada segala sesuatu yang lain akan sirna. Dikisahkan bahwa seorang Bani Israil biasa salat di malam hari. Tetapi ketika melihat seekor burung yang selalu bernyanyi dengan merdu di atas sebatang pohon, ia mulai salat di bawah pohon itu agar dapat menikmati nyanyian burung itu. Allah memerintahkan Daud a.s. untuk mengunjunginya dan berkata kepadanya,

“Engkau telah mencampurkan kecintaan kepada seekor burung yang merdu dengan kecintaan kepada-Ku sehingga tingkatanmu di antara para wali melorot jatuh.”

Di lain pihak, ada orang yang sangat mencintai Allah sehingga ketika sedang beribadah kepada-Nya dan rumahnya terbakar habis, ia tidak menyadarinya sama sekali.

Tanda yang keenam adalah perasaan ringan dan mudah untuk beribadah. Seorang wali berkata,

“Selama tiga puluh tahun pertama aku menjalankan ibadah malamku dengan susah payah, tetapi tiga puluh tahun kemudian aku bahkan sangat menyukainya.”

Jika cinta kepada Allah sudah sempurna, tak ada kebahagiaan yang bisa menandingi kebahagiaan beribadah kepada-Nya.

Tanda ketujuh adalah mencintai orang yang menaati-Nya dan membenci orang kafir dan orang yang tidak taat, sebagaimana dikatakan Alquran:

“Mereka bersikap keras kepada orang kafir dan saling mengasihi di antara sesamanya.”

Nabi saw. pernah bertanya kepada Allah,

“Ya Allah, siapakah pencinta-pencinta-Mu?”

Dia menjawab,

“Orang yang berpegang erat kepada-Ku layaknya seorang anak kepada ibunya; yang berlindung dalam mengingat-Ku sebagaimana seekor burung mencari perlindungan di sarangnya; dan orang yang murka melihat perbuatan dosa layaknya seekor macan ketika marah; ia tidak takut kepada apa pun.”

Sumber : Imam al-Ghazali, Kimiya’ al-Sa‘adah : Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi terj Dedi Slamet Riyadi & Fauzi Bahreisy, Penerbit Zaman.