Media Sosial?
Menurut P.N. Howard dan M.R Parks (2012) – Media sosial memiliki definisi sebagai media yang terdiri atas tiga bagian, yaitu : Insfrastruktur informasi dan alat yang digunakan untuk memproduksi dan mendistribusikan isi media, Isi media dapat berupa pesan-pesan pribadi, berita, gagasan, dan produk-produk budaya yang berbentuk digital, Kemudian yang memproduksi dan mengkonsumsi isi media dalam bentuk digital adalah individu, organisasi, dan industri.
Menurut saya, media sosial memiliki peran penting dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya dalam bidang politik. Media sosial menjadi sarana informasi politik, dimana kita dapat mengetahui perkembangan perpolitikan di Negara dan berpartisipasi aktif dalam menciptakan kondisi perpolitikan yang baik. Dan media sosial menjadi suatu sarana kekuatan sosial yang tak boleh diabaikan. Dengan akun-akun pribadi atau anonim, banyak pengguna media sosial kini ikut menyampaikan dan mengkritisi berbagai fenomena sosial, mengomentari pejabat-pejabat yang kurang mereka suka disukai, ikut serta mengontrol kebijakan-kebijakan publik dan menggalang publik untuk membela kepentingan individu atau kelompok tertentu. Hal inilah yang menjadi kekuatan dari media massa, dimana media sosial menjadi
Media sosial seperti menembus batas-batas interaksi antarmanusia dan memungkinkan tiap-tiap individu memiliki kebebasan dalam berpendapat di ruang publik. Namun, kebebasan berpendapat dalam ranah publik ini seringkali disalahgunakan. Media sosial memiliki dampak positif jika digunakan sesuai kegunaannya, seperti mengkritisi kebijakan pemerintah, menggerakan massa dan lain sebagainya. Namun, tak dapat dipungkiri dari segi negatif, didalam media sosial sendiri ada beberapa oknum yang melakukan penyelewengan dengan menyebarkan dan memposting berita-berita atau infomasi yang provokatif.
Di satu sisi, media sosial saat ini dapat diibaratkan seperti arena tanding, dan banyaknya hal-hal yang dapat memprovokasi penggunanya. Dimana media sosial digunakan sebagai tempat untuk hate speech, saling hujat, dan lain sebagainya. Perpolitikan pun diramaikan dengan aksi saling hujat, saling bela pilihan politik dan merendahkan pilihan lain yang awalnya di dunia nyata, kini bergeser ke dunia maya. Tidak heran kemudian intensitas berita-berita provokatif di media sosial begitu viral di media sosial. Para aktor dan korban penyebar tidak lagi tuggal, melainkan lebih kompleks.
Khusus nya di Indonesia akhir-akhir ini, penggunaan media sosial yang tidak bijak menjadi masalah utama yang sudah sangat mengkhawatirkan di Indonesia karena isu-isu politik mengenai Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) paling sering diangkat menjadi materi untuk konten-konten provokatif. Isu-isu mengenai SARA ini kemudian menjadikan bangsa Indonesia mengalami konflik horizontal. Kesatuan bangsa Indonesia menjadi terancam, dan memecah belah masyarakat Indonesia. Tiap-tiap golongan berusaha mengedepankan agama yang dianut dan menggerus secara perlahan nilai-nilai toleransi.
Berdasarkan data yang diperoleh “Isu sensitif soal sosial, politik, lalu suku, agama, ras, dan antar golongan, dimanfaatkan para penyebar hoax untuk memengaruhi opini publik, menurut riset yang dilakukan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) serta sebnyak 91,8 persen responden mengaku paling sering menerima konten hoax tentang sosial politik, seperti pemilihan kepala daerah dan pemerintahan. Tidak beda jauh dengan sosial politik, isu SARA berada di posisi kedua dengan angka 88,6 persen. Bentuk konten hoax yang paling banyak diterima responden adalah teks sebanyak 62,1 persen, sementara sisanya dalam bentuk gambar sebanyak 37,5 persen, dan video 0,4 persen.”
Hal tersebut menunjukkan dengan jelas bahwasannya kegiatan-kegiatan politik banyak dimotori oleh informasi-infomasi di media sosial. Dan besar kemungkinan bahwa media sosial dijadikan alat untuk menjatuhkan lawan politik. Berita provokatif yang disebarkan tersebut kebanyakan muncul sebagai justifikasi terhadap kepentingan politis. Akan tetapi, sebagai masyarakat yang cerdas seharusnya mampu memfilter semua berita yang diperoleh, agar tidak termakan hal-hal dan kejadian yang tidak teruji keabsahannya.
Akibat banyaknya unsur provokatif di media sosial, stabilitas perpolitikan di Indonesia tidak dalam keadaan yang baik. Kepentingan yang kemudian memunculkannya pembunuhan karakter semakin marak dilakukan oleh pesaing politik terhadap lawan politiknya. Dan ditambah dengan peran-peran pengguna media sosial yang cenderung tidak bijak dalam menggunakan media sosial sehingga menjadi seperti perang dunia maya atau “cyber war”. Disini lah perlunya peran pemerintah dalam menangkal semua berita-berita dengan tendensi yang dapat memecah belah Bangsa Indonesia.
Menurut saya media sosial itu mampu menggiring opini publik sehingga informasi apapun harus dapat difilter oleh kita sendiri. Media sosial sejatinya dijadikan sebagai bentuk komunikasi politik, terutama media informasi antara elite politik dengan masyarakat sebagai pemilihnya. Tetapi dengan munculnya wacana-wacana provokatif menimbulkan tedensi politik yang akhirnya menjadi pertarungan sengit para petahanan demi mencapai kepentingan-kepentingan golongan. Sehingga atmosfer komunikasi politik tersebut tidak berjalan dengan baik. Terlebih kegiatan menyebarkan informasi yang provokatif menunjukkan komunikasi perpolitikan di Indonesia yang tidak ideal.
Daftar pustaka :
http://mastel.id/infografis-hasil-survey-mastel-tentang-wabah-hoax-nasional/