Matilah Kalian Sebelum Kalian Mati

Amir Barwanah berkata:

“Sungguh hati dan jiwaku ini sangat ingin melayani Allah siang dan malam, akan tetapi karena kesibukanku dengan urusan-urusan Mongol, aku jadi tidak bisa mewujudkan keinginan untuk bersua dengan-Nya.”

Maulana Rumi menjawab:

“Sesungguhnya yang kamu lakukan ini juga merupakan bentuk khidmat (melayani) Allah, karena yang kamu lakukan itu menjadi media untuk memberikan rasa aman dan perlindungan bagi para Muslim. Kamu telah mengorbankan jiwa, harta, dan ragamu untuk membuat mereka semua memperoleh ketenangan dalam melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah. Tentu saja hal ini juga merupakan amal yang baik. Allah telah menganugerahimu kecenderungan kepada amal yang baik ini. Rasa cintamu yang besar pada apa yang kamu lakukan ini merupakan bukti pertolongan Allah. Sebaliknya, jika rasa cintamu yang besar pada perkerjaan ini hilang, maka itu adalah bukti hilangnya pertolongan Allah. Dalam kasus ini, ketika Allah tidak menginginkan pekerjaan baik dan penting ini jatuh ke tangan orang lain, itu berarti bahwa orang lain itu tidak berhak atas pahala dan derajat-derajat yang tinggi."

Contohnya adalah bak mandi yang panas; tentu saja panas itu berasal dari bahan-bahan seperti jerami, kayu bakar, rabuk, dan lain sebagainya, yang dibakar di tungku. Dengan cara yang sama, Allah menunjukkan beberapa hal yang dari luarnya tampak sebagai sesuatu yang buruk dan dibenci, namun justru sebenarnya merupakan sebuah pertolongan Allah untuk membuatnya suci.

Di bak mandi yang panas ini, orang yang mandi di dalamnya dibakar (disucikan) dengan media-media yang tadi disebutkan, dan kemudian menjadi manfaat bagi orang lain.

Pada saat itu beberapa sahabat datang. Maulana Rumi meminta maaf sembari berkata:

“Jika aku tidak datang kepada kalian serta tidak berbicang dan bertanya kepadamu, itu sesungguhnya adalah sebuah penghormatan. Sebab bentuk penghormatan pada hal apapun haruslah sesuai dengan waktu terjadinya sesuatu itu."

Ketika mendirikan salat misalnya, seseorang tidak seharusnya menghentikan salatnya dan memberikan salam kepada ayah dan saudaranya saat mereka datang. Sikap acuh seseorang kepada orang-orang yang dikasihi dan para kerabatnya saat ia sedang mendirikan salat justru merupakan inti dari kepedulian dan bentuk keramahan yang sesungguhnya dari orang itu. Sebab ketika ia tidak menghentikan ketaatan dan perjumpaannya dengan Allah ketika salat dan tidak merasa terganggu oleh kedatangan mereka, maka ayah, saudara, dan kerabatnya tidak akan mendapatkan dosa dan terbebas dari siksa-Nya. Inilah bentuk kepedulian sesungguhnya dari orang yang sedang salat, yaitu menghindarkan mereka dari siksa.

Seseorang bertanya:

“Apakah ada cara lain yang lebih dekat kepada Allah daripada salat?

Maulana Rumi menjawab:

“Ada, yaitu salat juga. Tetapi bukan salat dalam bentuk luarnya saja.”

Salat yang kamu sebut dalam pertanyaanmu tadi adalah bentuk dari salat itu sendiri, karena ia memiliki pembuka dan penutup. Sementara semua hal yang memiliki pembuka dan penutup dinamakan bentuk, takbiratul ihram adalah pembuka salat, dan salam adalah penutupnya. Sama halnya dengan syahadat. Syahadat bukan merupakan sesuatu yang dilafalkan dengan bibir saja, tetapi syahadat juga memiliki permulaan dan akhiran. Segala sesuatu yang diekspresikan dengan kata, suara, dan memiliki awalan serta akhiran adalah bentuk dan kerangka. Sementara jiwa dari syahadat itu tidaklah terbatas dan tidak memiliki titik akhir, tak bermula dan tak berakhir.

Masih ada sesuatu yang lain, yaitu salat yang ditunjukkan para Nabi. Nabi Muhammad Saw. menjelaskan perihal salat ini kepada kita semua melalui sabdanya:

“Aku memiliki sebuah waktu bersama Allah yang tidak dapat dideteksi oleh nabi-nabi lain maupun para malaikat yang dekat dengan Allah.”

Dari sini, bisa kita pahami bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah adalah jiwa (roh)nya salat. Bukan semata bentuk luarnya saja, melainkan kekhusyukan yang sempurna. Sebuah kondisi di mana bentuk apa pun tidak dapat masuk ke dalamnya, tidak ada tempat bagi mereka di sana, bahkan Jibril—yang merupakan wujud suci— sekalipun tak dapat masuk ke dalamnya.

Dikisahkan bahwa pada suatu hari para sahabat ayahku melihat ayahku (Bahauddin, semoga Allah menyucikan jiwa beliau ) sedang berada dalam kekhusyukan yang sempurna. Kebetulan saat itu telah masuk waktu salat, sehingga beberapa murid memanggil ayahku:

“Waktu salat telah tiba.”

Ayahku tidak menghiraukan suara yang memanggil, sehingga mereka membiarkannya dan menunaikan salat tanpa ayahku. Akan tetapi, ada dua murid yang mengikuti apa yang dilakukan ayahku dan tidak ikut menunaikan salat.

Adalah Khwajagi, salah satu murid yang melaksanakan salat, ditunjukkan ke dalam mata hatinya sehingga ia bisa melihat dengan jelas bahwa punggung semua orang yang salat berjemaah di belakang imam menghadap Ka’bah (salat dengan membelakangi Ka’bah), sementara ayahku dan dua murid yang mengikutinya justru menghadap Ka’bah. Hal itu dikarenakan ayahku telah menghilangkan kekitaan serta keakuannya dan menjadi fana’. Wujud mereka bertiga telah ‘mati’ dan telah meneguk cahaya Tuhan; Matilah kalian sebelum kalian mati,” mereka telah menyatu dengan cahaya Allah. Semua orang yang memalingkan wajahnya dari cahaya Allah dan menghadapkan wajahnya ke tembok, maka mereka menghadapkan punggungnya kepada kiblat, karena cahaya Allah adalah kiblat yang sebenarnya. Cahaya Allah adalah roh dari kiblat.

Siapa saja yang menghadap Ka’bah, ketahuilah bahwa nabi Muhammad telah menjadikan Ka’bah sebagai kiblat dunia. Jika Ka’bah adalah kiblat dunia, maka yang lebih utama adalah ketika Ka’bah menjadi kiblat bagi seseorang.

Nabi Muhammad Saw. pernah menegur seorang sahabat dan berkata:

“Aku memanggilmu, mengapa kamu tak datang?”

Sahabat itu menjawab:

“Aku sedang khusyuk salat.”

Nabi bertanya lagi:

“Kamu betul, tetapi bukankah aku memanggilmu untuk salat?”

Sahabat itu menjawab:

“Aku pasrah.”

Maulana Rumi berkata:

Ada baiknya kamu untuk selalu merasa tidak mampu setiap saat, dan menganggap dirimu tidak mampu meski sebenarnya kamu mampu, seperti saat kamu benar-benar tidak mampu."

Hal itu karena di atas kemampuanmu, ada kemampuan yang lebih besar, dan kamu akan selalu takluk oleh Allah dalam kondisi apapun. Dalam hal ini kamu tidak terbagi menjadi dua, terkadang mampu dan terkadang tidak mampu. Kamu melihat ada kemampuan dalam dirimu, tapi selalu menganggap dirimu tidak mampu, tidak memiliki tangan dan kaki, lemah tak berdaya. Apa yang bisa dilakukan oleh orang yang lemah ini, saat ia melihat singa-singa, seluruh harimau, semua buaya lemah dan gemetaran di hadapan Allah? Segenap langit dan bumi tunduk dan takluk pada hukum-Nya. Dia adalah Raja Yang Agung. Cahaya-Nya tidak seperti sinar bulan dan matahari, yang mana benda masih dapat tegak berdiri di bawah sinar bulan dan matahari itu. Akan tetapi, saat cahaya-Nya terpancar tanpa ada selubung, tidak akan ada lagi langit, tidak pula bumi, tidak ada matahari, tidak juga bulan, tidak ada lagi yang tersisa selain Sang Raja.

Hikayat


Seorang raja berkata pada darwis:

“Ketika nanti kamu telah sampai pada tingkat tajali dan berada dekat di sisi Allah SWT, ingatlah kepadaku!”

Darwish itu menjawab:

“Ketika aku sampai ke hadirat Allah SWT, dan cahaya matahari keindahan-Nya memancar kepadaku, aku tidak akan lagi mengingat siapa diriku. Lalu bagaimana aku akan mengingatmu?”

Takhalli (membersihkan hati dari keterikatan dengan dunia), Tahalli (mengisi hati yang telah kosong dari keterikatan dunia dengan hanya Allah), dan Tajalli (lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang tidak dapat dilukiskan).

Ketika Allah telah memilih seorang hamba dan menjadikannya lebur secara sempurna bersama diri-Nya, maka setiap orang yang memegang kakinya dan memohon bantuan kepadanya, Allah yang akan mendengar keinginan mereka. Meski orang agung yang berada di sisi Allah itu tidak ingat siapa yang meminta bantuan kepadanya, Dia akan tetap memberikan apa yang mereka inginkan.

Konon ada seorang raja yang memiliki hamba yang sangat khusus. Ketika hamba ini sedang berjalan menuju istana kerajaan, orang-orang yang mempunyai keinginan menitipkan sebuah qishash dan beberapa buah buku kepadanya, dengan harapan ia akan membacakannya di hadapan sang raja.

Qishash merupakan lembaran-lembaran yang berisi berbagai harapan para rakyat tentang keingi- nan-keinginan mereka yang hendak diberikan kepada sang raja.

Hamba itu kemudian memasukkan qishash dan beberapa buah buku itu ke dalam tasnya. Ketika ia telah tiba di hadapan baginda raja, ia tak mampu menahan cahaya keindahan yang terpancar dari sang pemilik kerajaan, ia pun jatuh dan tak sadarkan diri tepat di depan sang raja. Baginda, dengan maksud bergurau, memasukkan tangannya ke dalam saku dan tas hambanya yang khusus itu, seraya berkata:

“Apa yang dimiliki oleh hamba yang kagum kepadaku dan melebur ke dalam keindahanku ini.”

Raja memungut qishash dan buku yang dititipkan oleh rakyat kepadanya. Setelah selesai membaca semuanya, sang raja kemudian memerintahkan untuk mengabulkan semua harapan dan keinginan yang tercatat dalam tulisan itu dengan menulis di atasnya, lalu raja mengembalikan ke dalam tas hambanya yang khusus itu. Demikianlah, sang raja mengabulkan segala harapan dan keinginan semua orang tanpa perlu dituturkan oleh hambanya tersebut, dan tanpa ada satu keinginan pun yang ditolak. Bahkan mereka mendapatkan yang diinginkan berlipat ganda dan jauh lebih banyak dari yang mereka harapkan. Sementara para hamba lainnya yang sadar, dan mampu menyampaikan qishash rakyat di hadapan baginda raja, jarang dan bahkan sedikit sekali yang dikabulkan, mungkin hanya satu dari seratus harapan dan impian yang mereka sampaikan.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum