Manusia Adalah Kombinasi Malaikat Dan Binatang

Taman Surga

Amir berkata:

“Orang-orang kafir menyembah berhala dan bersujud di hadapannya. Sekarang kita juga melakukan hal yang sama. Kita pergi dan bersujud kepada bangsa Mongol serta melayani mereka. Kita juga menganggap mereka sebagai Muslim. Jauh di dalam hati kita, juga terdapat banyak sekali berhala seperti sifat tamak, nafsu, dendam, dengki, yang semuanya kita patuhi. Demikianlah kita berperilaku, secara lahir maupun batin. Lantas kita menganggap diri kita sebagai seorang Muslim!”

Maulana Rumi berkata:

“Tetapi di sini ada sesuatu yang berbeda. Dalam pikiranmu terlintas satu pandangan bahwa perilaku semacam itu (tamak, nafsu, dendam, dengki, dan lain-lain) sungguh jahat dan benar-benar menjijikkan. Mata hatimu telah melihat sesuatu yang agung yang menunjukkan bahwa perilaku-perilaku itu adalah buruk dan keji. Air asin menunjukkan keasinannya kepada orang yang sudah meneguk air manis, dan “segala sesuatu akan menjadi lebih jelas lewat kebalikan-kebalikannya.” Oleh karena itu, Allah SWT menanamkan cahaya keimanan dalam jiwa-jiwa kalian sehingga kalian bisa melihat perbuatan-perbuatan tersebut sebagai sesuatu yang tercela.

Ringkasnya, sebagai oposisi dari keindahan, keburukan menjadi tampak. Namun karena orang lain tidak bisa merasakan rasa sakit ini, maka mereka sangat berbahagia dengan kondisi mereka sekarang, seraya berkata:

“Ini sungguh indah.”

Allah akan menganugerahkan apa yang kamu minta. Sejauhmana semangatmu, sejauh itulah kamu akan mendapatkan apa yang kamu minta.

“Burung terbang dengan kedua sayapnya, dan orang Mukmin terbang dengan semangat yang dimilikinya.”

Makhluk Allah terbagi ke dalam tiga jenis:

  • Pertama, adalah malaikat. Mereka hanya memfokuskan diri secara murni pada ibadah. Ketaatan, ibadah, dan zikir adalah sifat dan makanan mereka. Mereka makan dan hidup dengan semua esensi itu. Seperti ikan yang hidup di dalam air, alas dan bantal mereka adalah air. Malaikat tidak memiliki nafsu karena mereka tidak dikaruniai syahwat sehingga mereka suci darinya. Lantas apa yang mereka peroleh dari tidak memiliki nafsu di dalam jiwa? Karena mereka suci dari nafsu, maka tentu saja tidak ada usaha bagi mereka untuk melepaskan diri dari hawa nafsu. Ketika mereka menaati apa yang Allah perintahkan, maka hal itu tidak lagi disebut sebagai sebuah ketaatan, sebab ketaatan adalah sifat mereka, mereka juga tidak memiliki kuasa sedikit pun untuk tidak taat.

  • Jenis yang kedua adalah binatang, yang mana di dalam dirinya hanya ada nafsu belaka. Mereka tidak memiliki akal yang dapat mencegah mereka dari hawa nafsunya. Mereka juga tidak dibebani tanggungjawab apapun.

  • Adapun jenis yang ketiga adalah manusia yang lemah. Mereka memiliki akal dan juga hawa nafsu. Setengah dari dirinya adalah malaikat, dan setengahnya yang lain adalah binatang. Setengah ular, setengah ikan. Ikan menarik dirinya ke lautan, sementara ular menarik dirinya ke daratan.

    Mereka selalu berada dalam pergulatan dan peperangan.

    “Barang siapa yang akalnya mengalahkan hawa nafsunya, maka ia lebih mulia dari malaikat, dan siapa yang hawa nafsunya mengalahkan akalnya, maka ia lebih rendah daripada binatang.”

Malaikat selamat karena pengetahuannya, binatang selamat karena ketidakpeduliannya

Dan anak cucu Adam akan selalu bersengketa tentang dua hal itu.

Sebagian anak Adam lebih memilih untuk mengikuti akalnya ketimbang hawa nafsunya sehingga mereka sampai pada tingkat malaikat dan Cahaya murni. Mereka ini adalah para Nabi dan wali. Mereka telah terbebas dari kungkungan rasa takut dan harapan. Karena itulah,

“Maka tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [QS. al-Baqarah: 38]

Adapun sebagian yang lain lebih memilih untuk memenangkan hawa nafsunya ketimbang akal, sehingga mereka benar-benar menjadi seperti binatang. Sedangkan sisanya masih terus dalam pergulatan antara hawa nafsu dan akal. Mereka adalah sekelompok orang yang dalam diri mereka berbaur perasaan gelisah, sakit, sedih, menderita, dan tidak puas dengan hidup yang mereka jalani. Mereka adalah orang-orang Mukmin yang ditunggu oleh para wali untuk membawa mereka kembali ke tempat asal mereka, untuk membuat mereka seperti para wali itu. Di tempat lain, mereka juga ditunggu oleh para setan yang akan menyeret mereka ke tempat yang paling rendah, dan dijadikan sebagai kolega mereka.

Kita menginginkannya, yang lainnya juga menginginkannya. Lantas siapakah yang akan beruntung? Adalah dia yang menjadi kekasih dari kemujuran!

Allah SWT berfirman:

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat.” (QS. an-Nashr: 1-3)

Para mufasir mazhab Zahiri (tekstual) menginterpretasikan surat ini sebagai berikut: Nabi Muhammad Saw… memiliki semangat yang tinggi, beliau berkata:

“Akan aku membuat semua manusia di bumi menjadi Muslim dan aku akan membuat mereka berada di jalan Allah.”

Ketika merasa maut sudah mendekat, beliau berkata,

“Ah, bukankah aku dilahirkan untuk mengajak manusia ke jalan Allah?”

Allah SWT menjawab:

“Jangan bersedih. Ketika waktu kepergianmu telah tiba, semua wilayah dan kota yang hendak kamu taklukkan dengan bala tentara dan hunusan pedang ini akan Aku jadikan semuanya tunduk dan beriman tanpa bala tentara dan pedang. Tanda ini kelak akan datang menjelang ajalmu tiba, kamu akan melihat mereka memasuki pintu-pintu-Ku dengan berbondong-bondong dan menjadi Muslim. Ketika kamu melihat tanda ini, ketahuilah bahwa waktu keberangkatanmu telah tiba. Saat itu, bertasbih dan beristighfarlah! Karena kamu akan tiba di sana.”

Sementara para muhaqqiq (ahli tahkik) berkata:

“Sesungguhnya makna surat ini adalah bahwa manusia menganggap bahwa diri mereka mampu membuang sifat-sifat tercela dengan ilmu dan usaha mereka. Kemudian ketika mereka berjuang dan mengerahkan seluruh kekuatan serta menggunakan segala cara, mereka menjadi berputus asa. Pada saat itu, Allah berfirman:

“Kamu anggap mampu meraih tujuan itu dengan kekuatan, usaha, dan tindakanmu. Inilah sunah yang telah Aku tetapkan: Semua yang kamu miliki, belanjakanlah di jalan-Ku, niscaya anugerah-Ku akan memancar padamu. Allah memerintahkan kepadamu untuk menyusuri jalanan yang tak berujung ini dengan kedua tangan dan kakimu. Sudah barang tentu Aku tahu bahwa kamu tidak akan mampu menembus jalanan ini dengan kedua kaki lemahmu itu, bahkan selama ratusan ribu tahun pun kamu tidak akan mampu melewati satu tempat pun dari jalan ini. Akan tetapi, jika kamu terus berjalan hingga terjatuh dan pingsan, dan tanpa kekuatan yang tersisa lagi dalam tubuhmu untuk melanjutkan perjalanan, maka pada saat itulah pertolongan Allah akan datang.”

“Seperti anak kecil, setelah lahir ia digendong dengan kedua tangan ibunya, lalu setelah tumbuh besar ia dibiarkan untuk berjalan di atas kedua kakinya sendiri. Sekarang, ketika tidak ada sedikit pun kekuatan yang tersisa dalam dirimu—di mana dulu kamu terus mengerahkan semua kekuatan yang kamu miliki, saat tidur maupun terjaga—akan Kutunjukkan kepadamu sebuah kelembutan yang darinya kamu akan mendapatkan kekuatan sehingga kamu bisa mencari-Ku dengan penuh harap. Demikianlah, ketika sudah tidak ada lagi cara yang bisa kamu gunakan, maka lihatlah anugerah, hadiah, dan pertolongan-Ku ini. Ketika orang-orang datang kepadamu dengan berbondong-bondong, padahal tidak ada satu pun dari mereka yang kamu lihat ketika kamu mengerahkan seratus ribu tentara, “ maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.”

Beristighfarlah kamu karena pikiran dan pradugamu itu. Kamu tidak akan menyangka bahwa impianmu tidak terwujud dengan tangan dan kakimu, ternyata Aku-lah yang mewujudkan impian itu. Sekarang, setelah kamu menyadari bahwa Aku-lah yang mewujudkan semua itu, beristighfarlah kamu kepada Allah karena “Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat.”

Aku tidak mencintai Amir karena pertimbangan-pertimbangan duniawi, martabat, ilmu, atau perbuatannya. Orang lain mencintainya karena semua hal ini. Mereka tidak melihat wajah Amir, melainkan melihat punggungnya. Amir bagaikan cermin dengan mutiara-mutiara berharga dan sepuhan emas di punggung cermin itu. Mereka yang menyukai emas dan mutiara akan melihat punggung cermin ini. Sementara mereka yang menyukai cermin, akan melihat ke depan cermin dan tidak akan melihat mutiara dan emas yang ada di punggung cermin. Mereka menyukai cermin karena ia adalah cermin, karena mereka melihat ada keindahan luar biasa dan tidak membosankan di dalam cermin itu. Orang yang berwajah buruk dan beraib hanya akan melihat keburukan di dalam cermin itu, sehingga ia akan segera memalingkan mukanya dari cermin itu dan beralih mencari perhiasan-perhiasan tadi. Lalu, apa yang melukai cermin itu jika di punggungnya diukir dengan seribu ukiran dari mutiara dan disepuh dengan emas?

Allah SWT menyusun manusia dari dua partikel; kemanusiaan dan kehewanan.

“Segala sesuatu akan menjadi jelas dengan kebalikan-kebalikannya.”

Adalah mustahil bagi kita untuk mengetahui sesuatu tanpa mau mengetahui kebalikannya. Tetapi Allah tidak memiliki kebalikan, maka Allah berfirman:

“Aku adalah gudang yang tersembunyi, Aku ingin diketahui.”

Catatan : Kalimat diatas merupakan Hadis Qudsi yang masyhur, para ahli taSaw.uf menggunakan hadis ini dalam banyak karangannya. Pengarang kitab al-Lu’lu’ al-Marshu’ berkata bahwa hadis tersebut, sebagaimana juga dikatakan oleh Ibn Taymiyyah dan kemudian diikuti oleh Az-Zarkasyi dan Ibnu Hajar, bukan termasuk hadis Nabi, dan tidak diketahui apakah ada sanad shahih maupun daif yang menyebutkan hadis tersebut atau tidak. Akan tetapi maknanya adalah benar dan jelas. Hadis ini selalu berotasi di kalangan para sufi. ( Al-Lu’lu’ al-Marshu’ , hlm. 61. Dinukil dari catatan kaki terakhir dalam komentar Bedîuzzaman Forouzanfar dalam kitab ini yang berbahasa Persi, Tahqiq Forouzanfar , hlm. 293).

Untuk itulah maka Allah menciptakan dunia ini dari kegelapan agar menampakkan cahaya- Nya. Demikian juga Dia menciptakan para Nabi dan wali sembari berkata pada mereka semua,

“Pergilah dengan semua sifat-Ku kepada semua makhluk-Ku!”

Mereka adalah penunjuk kepada cahaya Tuhan, agar tampak orang yang tulus dari yang munafik, agar dapat dibedakan antara kerabat dari orang asing. Esensi itu tidak memiliki kebalikan, sehingga untuk bisa melihatnya adalah dengan cara melihat pada bentuknya. Seperti halnya kebalikan dari Nabi Adam adalah Iblis, kebalikan Nabi Musa adalah Fir’aun, kebalikan Nabi Ibrahim adalah Namrud, kebalikan Nabi Muhammad Saw… adalah Abu Jahal, dan demikian seterusnya. Oleh karena itu, melalui perantaraan para wali, akan tampak musuh-musuh Allah, meskipun secara esensi Allah tak memiliki musuh. Melalui permusuhan dan perlawanan, amal perbuatan mereka menjadi tampak.

Allah berfirman:

“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang kafir membencinya. [QS. ash-Shaff: 8]

Seperti kata seorang penyair:

Bulan menampakkan cahayanya, sementara anjing menggonggong.

Apa kesalahan bulan, jika memang kebiasaan anjing begitu?

Dari bulan itu, cahaya menerangi tiap sudut langit Apa yang dilakukan anjing itu dalam keheningan di bumi?

Ada banyak sekali manusia yang disiksa oleh Tuhannya dengan kenikmatan, harta, emas, dan kekuasaan, lantas jiwa-jiwa mereka kabur dari kemegahan dunia itu. Seorang fakir melihat Amir yang kaya raya lagi dermawan di tanah Arab, di atas dahi sang Amir itu ia melihat cahaya para Nabi dan wali, ia kemudian berkata: “Maha Suci Allah yang menyiksa para hamba-Nya dengan berbagai kenikmatan.”

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum