Manisnya Gula Adalah Fitrah

Taman Surga

Segala sesuatu tidak akan bisa kamu raih tanpa didahului dengan usaha,

Ini tidak berlaku untuk kekasih, ia tidak bisa kamu cari sebelum kamu mendapatkannya.

al-Hakim Sanai al- Ghaznawi

Kecenderungan manusia adalah mencari sesuatu yang belum pernah ditemukannya. Ia selalu sibuk mencarinya siang dan malam. Seandainya dia mengejar sesuatu yang sudah ada dan sudah tercapai, maka hal itu merupakan satu hal yang menakjubkan!

Kecenderungan semacam ini tidak akan terbesit dalam benak manusia dan tidak bisa digambarkan, sebab manusia akan selalu mencari sesuatu yang baru, yang belum pernah dia dapatkan sebelumnya. Sementara yang ini adalah bentuk pencarian atas sesuatu yang sudah ada, yaitu pencarian kepada Allah*.* Dia adalah pemilik segala sesuatu, dan segala sesuatu itu terwujud atas kekuasaannya. “ Jadi, maka jadilah —Dialah Dzat Yang Menemukan ( al-Wajid ) dan Maha Mulia ( al-Majid ).” Al-Wajid adalah yang menemukan segala sesuatu, meski demikian Allah adalah “Wujud Yang Mencari dan Wujud Yang Menang.”

Maksud dari pernyataan di atas adalah: “Wahai manusia, sepanjang kamu berpegang teguh pada kecenderunganmu untuk mencari sesuatu yang baru dari sifat-sifat kemanusiaan, maka ia akan semakin menjauh dari tujuan. Namun saat kamu mencurahkan kecenderunganmu pada pencarian kepada Allah yang menguasai kecenderunganmu itu, maka saat itu kamu akan mencari apa yang dicari oleh Allah.”

Seseorang berkata:

“Kami tidak memiliki dalil, baik berupa ucapan, perbuatan, keajaiban, maupun sesuatu yang lainnya, yang membuktikan bahwa seseorang adalah wali Allah dan telah menyatu dengan-Nya. Sebuah ucapan bisa diketahui dengan keyakinan yang murni. Perbuatan dan keajaiban juga dimiliki oleh para pendeta. Mereka telah menampakkan banyak keajaiban melalui sihir.” Orang itu kemudian membeberkan beberapa contoh dari pernyataannya itu.

Maulana Rumi menjawab:

“Apakah kamu percaya pada seseorang atau tidak?”

Lelaki itu menjawab:

“Ya, demi Allah. Tentu saja ada orang yang aku percaya dan aku cintai.”

Maulana Rumi bertanya lagi:

“Apakah kepercayaanmu kepadanya didasarkan pada bukti dan penjelasan, atau hanya sekedar memejamkan mata lalu kamu memilih orang itu?”

Lelaki itu menjawab:

“Aku berlindung kepada Allah, aku mempercayainya tanpa didasari oleh bukti dan penjelasan.”

Maulana Rumi berkata:

“Lantas kenapa kamu mengatakan bahwa tidak ada dalil maupun penjelasan yang bisa menunjukkan pada kepercayaan? Kalau begitu, kamu sudah mengatakan pernyataan yang paradoks.”

Seseorang yang lain berkata: “Setiap wali dan orang bijak yang besar akan menyangka: ‘Kedekatanku dengan Allah dan perhatian yang kudapat ini tidak dimiliki oleh orang lain dan tak seorang pun bisa merasakannya.’”

Maulana Rumi bertanya:

“Siapa yang menyatakan hal itu? Seorang wali atau bukan? Kalau yang menyatakan seorang wali, maka ketahuilah bahwa setiap wali memiliki keyakinan seperti ini, jadi bukan hanya mereka yang istimewa karena mendapatkan perhatian Allah. Adapun jika yang menyatakan hal itu bukan seorang wali, maka sebenarnya dia adalah kekasih Allah yang paling istimewa dari para kekasihnya. Karena Allah telah menyembunyikan rahasia ini dari segelintir para wali dan menampakkannya pada orang itu.”

Orang itu kemudian mengutarakan sebuah parabel: “Seorang raja memiliki sepuluh orang budak perempuan. Salah satu di antara budak itu berkata: ‘Aku ingin tahu siapa di antara kita yang lebih dicintai raja.’ Sang raja berkata: ‘Siapa yang besok pagi menemukan cincin ini di kamarnya, maka dialah yang paling aku cintai.’ Keesokan harinya, sang raja memerintahkan ajudannya untuk membuat sepuluh cincin yang serupa dan diletakkan di kamar kesepuluh budak perempuannya.”

Maulana Rumi berkata: “Hal itu belum bisa menjawab pertanyaan sebab cerita itu bukanlah sebuah jawaban. Pertanyaan yang berkaitan dengan masalah ini. Pernyataan: “Raja paling mencintaiku,” bisa saja dibawa oleh salah satu dari kesepuluh budak itu atau bisa juga oleh orang lain selain mereka. Jika yang menyatakan adalah salah satu dari budak-budak itu, sementara dia tahu bahwa setiap budak telah diberi cincin yang sama, maka dia tidak akan merasa lebih unggul dan lebih dicintai dari para budak lainnya. Akan tetapi jika yang menyatakan adalah seseorang selain sepuluh budak tadi, maka orang itu pasti yang paling berpengaruh dan paling dicintai oleh sang raja.

Seseorang yang lain lagi berkata: “Seorang pecinta harus merendahkan diri, menunduk dan menderita. Mereka juga memiliki sifat-sifat yang lain.”

Maulana Rumi berkata: “Seorang pecinta memang harus seperti itu, entah yang dicintai menghendaki hal itu atau tidak. Namun jika yang dicintai tidak menghendaki sifat-sifat itu, maka hakikatnya ia bukanlah pecinta tapi hanya mengikuti hasratnya semata. Jika pecinta hadir karena kehendak sang kekasih, sementara sang kekasih tidak menghendaki sang pecinta untuk menunduk dan merendahkan diri, maka bagaimana mungkin dia akan melakukan semua itu?”

Isa berkata: “Aku heran, bagaimana mungkin seekor binatang bisa memakan binatang lainnya?”

Kaum literalis berkata: “Sungguh manusia memakan daging seekor binatang, padahal mereka sama-sama binatang.” Pernyataan ini salah, kenapa? Karena saat manusia memakan daging, pada hakikatnya daging itu bukanlah makhluk hidup lagi, ia sudah mati. Saat binatang itu dibunuh, sifat kebinatangan sudah tidak tersisa lagi dalam dirinya. Makna yang sesungguhnya dari perkataan Isa itu adalah: “Sesungguhnya ketika sang guru mengutarakan contoh yang samar, maka sama saja ia sedang memakan muridnya.” Aku sendiri heran dengan kejadian langka ini.

Seseorang bertanya: “Ibrahim pernah berkata pada Namrud: ‘Sesungguhnya Tuhanku yang menghidupkan yang mati dan mematikan yang hidup.’ Namrud menimpali: ‘Aku juga bisa. Ketika aku membunuh seseorang, maka aku seperti mematikan mereka, dan ketika aku memberi seseorang sebuah jabatan, maka aku seperti menghidupkannya.’ Ibrahim kemudian menarik argumentasinya dan menerima argumentasi Namrud. Ibrahim kemudian berganti ke argumentasi yang lain dengan berkata: ‘Sesungguhnya Tuhanku yang menerbitkan matahari dari timur dan menenggelamkannya di barat. Coba kamu lakukan perbuatan yang sebaliknya.’ Secara literal, akankah ucapan ini berlawanan dengan realita?”

Maulana Rumi berkata: “Maha Suci Allah dari membiarkan Ibrahim dibungkam oleh dalil Namrud dan tidak mampu membalas dalilnya. Ibrahim menggunakan pernyataan ini untuk menunjukkan gagasan yang lain, yaitu: “Sesungguhnya Allah telah menerbitkan janin dari ufuk rahim dan menenggelamkannya di ufuk pusara. Argumentasi Ibrahim tersebut disampaikan dengan menggunakan pernyataan yang setara. Allah selalu menciptakan makhluk yang baru setiap saat, kemudian meniupkan sesuatu yang juga baru di lubuk hatinya; sesuatu yang tidak bisa ditiru oleh yang pertama, kedua, maupun yang ketiga. Namun yang menyulitkan adalah bahwa manusia itu cenderung lalai akan dirinya hingga ia tidak bisa mengetahui dirinya sendiri.

Seseorang mendatangi Sultan Mahmud, rahmatullah ‘alaih, dengan membawa seekor kuda yang sangat indah, pekikan suaranya begitu menawan. Ketika hari raya tiba, Sultan menaiki kuda itu, sementara para rakyat duduk di atas loteng rumah mereka agar bisa melihat Sultan dan ikut bersuka cita dengan pemandangan itu. Saat itu, seseorang yang mabuk sedang duduk di dalam rumahnya, mereka membawanya ke atas loteng sambil berkata: “Kemarilah agar kamu bisa melihat kuda yang agung itu.” Pemabuk itu berkata: “Aku sedang sibuk dengan diriku sendiri, aku tidak ingin melihat dan tidak bisa memperhatikan apa yang aku lihat.” Namun dia tidak bisa melarikan diri, jadi dia ikut duduk di ujung loteng dalam keadaan masih mabuk. Ketika sultan lewat di depannya, pemabuk itu berkata dengan spontan:

“Apa atinya kuda itu bagiku. Sekalipun kuda itu menjadi milikku dan ada seorang penabuh gendang menyanyikan sebuah lagu untukku, kuda itu akan aku berikan pada penabuh itu.”

Mendengar perkataan itu, sang sultan marah bukan kepalang dan menitahkan prajurit untuk menjebloskannya ke dalam penjara. Seminggu sudah berlalu. Lelaki pemabuk itu kemudian mengirim sebuah pesan kepada sultan:

“Dosa apa yang telah aku lakukan, kesalahan apa yang sudah kuperbuat? Biarkanlah raja semesta memutuskan kasusnya sehingga bisa mengabarkan kepada hambanya.”

Sang sultan pun memerintah orang untuk membawa lelaki ke hadapannya.

Sultan berkata:

“Wahai orang yang berfoya-foya dan tak tahu sopan santun, bagaimana kamu bisa mengucapkan kata-kata itu? Mengapa kamu mengatakannya?”

Lelaki itu berkata:

“Wahai raja semesta, bukan aku yang mengucapkan kata-kata itu. Saat itu ada seorang lelaki yang sedang mabuk dan duduk di ujung loteng lalu berkata demikian dan segera pergi. Saat ini aku bukan lelaki itu, aku adalah orang yang berakal dan cerdas.”

Sang sultan senang dengan jawabannya, segera ia memberinya hadiah dan memerintahkan agar lelaki itu dibebaskan. Siapa pun yang bergabung bersama kami dan meminum dari gelas ini, ke mana pun ia pergi, dengan siapa pun ia duduk dan berbicara, maka pada hakikatnya ia selalu bersama kami dan bersatu dengan golongan ini. Karena menemani perubahan-perubahan musim adalah cerminan dari lembutnya menemani kekasih. Bersatu dengan yang bukan sejenis akan mendatangkan rasa cinta pada yang sejenis dan menyatu dengannya, sebab “dengan menjadi lawanannya, segala sesuatu akan menjadi tampak.”

Abu Bakar ra. menamai gula dengan sebutan “ummi” yang berarti fitrah. Maksudnya manisnya gula adalah fitrah. Buah-buahan membanggakan diri di hadapan gula seraya berkata:

“Kami telah lama meneguk rasa pahit hingga kami sampai pada kemanisan ini. Lalu apa yang kamu ketahui dari lezatnya rasa manis, sedang kau tidak pernah merasakan getirnya rasa pahit.”

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum