Malam Satu Suro di Keraton Surakarta

Bagi masyarakat Jawa, malam satu Suro dalam penanggalan Jawa adalah sebuah malam sakral nan kramat. Pada malam itu, orang-orang ramai menggelar berbagai ritual maupun semadi sebagai wujud laku prihatin. Di Solo, Jawa Tengah, para abdi dan sentono dalem Keraton Kasunanan Surakarta menggelar tradisi Kirab Kebo Bule keturunan Kyai Slamet sebagai cucuk lampah memimpin barisan terdepan kirab pusaka mengelilingi kota. Menjelang tengah malam itu Keraton Kasunanan Surakarta nampak sibuk. Para punggawa setianya sedang berkumpul dan bersiap diri mengikuti hajatan Keraton. Beberapa diantaranya terlihat khidmat berdoa. Kedua telapak tangannya mengatup sambil mulutnya komat kamit mengucapkan permohonannya kepada Yang Maha Kuasa dengan media kembang dan dupa di dalam kompleks istana.

Jarum jam hampir menunjuk pukul 00.00 WIB, namun suasana di luar kompleks Istana Kasunanan Surakarta malah semakin ramai oleh masyarakat. Ratusan abdi dalem kakung maupun putri yang sudah sedari berjam-jam lalu berkumpul di dalam Keraton mulai beranjak keluar dari kompleks Keraton. Mereka menanti datangnya pergantian hari sebagai tanda waktu akan dimulainya ritual sakral nan mistis di malam satu suro, yakni Kirab Kebo Bule mengawal pusaka Keraton.

Setiap malam satu suro tiba, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tak pernah absen menggelar ritual Kirab Kebo Bule keturunan Kyai Slamet. Ritual ini diselenggarakan untuk memohon berkah dan keselamatan serta sebagai wujud refleksi diri untuk menyambut tahun baru dalam penanggalan Jawa yang juga bertepatan dengan tahun baru Islam. Bagi masyarakat Kota Solo, Kirab Kebo Bule merupakan momentum yang dinanti tiap tahunnya. Ritual tersebut merupakan simbol budaya nan adiluhung penanda datangnya Bulan Suro atau Muharam. Warga dari berbagai daerah di luar kota pun berdatangan untuk sekedar menonton ataupun ngalap berkah dari prosesi ritual Kebo Bule ini. Sebagian dari mereka percaya bahwa mengikuti kirab ini dapat membawa berkah dan keselamatan hidup kedepannya.

Ritual Kebo Bule di malam satu suro ini diawali dengan memanjatkan doa oleh para abdi dalem di depan Kori Kemandungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Seusai berdoa, para abdi dalem tersebut kemudian menyebar singkong dan taburan kembang tujuh rupa untuk menyambut kedatangan si Kebo Bule keturunan Kyai Slamet yang dikeramatkan itu. Konon katanya, ritual baru akan dimulai ketika si Kebo Bule mau berjalan keluar kandang dengan sendirinya. Jadi apabila sang kerbau belum mau keluar kandang, maka dapat dipastikan prosesi ritual belum dapat dimulai. Tak ada satupun abdi maupun sentono dalem Keraton Surakarta yang berani memaksa si kerbau berjalan, mengingat hewan tersebut sangat dikeramatkan. Para punggawa Keraton tak memperlakukan sang kerbau keramat tersebut layaknya hewan biasa, malahan mereka memperlakukannya seperti seorang pangeran. Setelah sang Kebo Bule keturunan Kyai Slamet datang di depan Kori Kemandungan Keraton, para abdi dalem pun menyambutnya dengan penuh penghormatan gaya kejawen. Mereka melakukan sungkem di depan kerbau keramat, lalu mengalungkannya dengan untaian kembang melati dan kantil. Setelah itu sang kerbau dibiarkan memakan tebaran singkong di depan Kori Kemandungan Keraton. Saat kawanan Kebo Bule tiba, suasana pun terasa semakin riuh. Banyak warga yang berusaha ingin menyentuhnya berharap mendapat berkah ataupun sekedar mengabadikannya melalui gawai mereka masing-masing. Para pengawal prosesi kirab pun langsung menghalau warga yang berusaha menyentuh sang kerbau keramat. Wajar saja, sekawan Kebo Bule keturunan Kyai Slamet yang dikeramatkan itu dikenal sangat sensitif, diharapkan kerbau keramat itu tidak terganggu oleh kerumunan warga sehingga mau berjalan sendiri untuk memulai prosesi kirab.

Kebo bule keturunan Kyai Slamet yang dikeramatkan oleh pihak Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tersebut adalah jenis kerbau albino yang memiliki corak kulit berwarna putih dengan bintik kemerah-merahan. Persis seperti kulit orang-orang (bule) Eropa. Oleh sebab itu kerbau berkulit putih ini dikenal luas oleh masyarakat Kota Bengawan dengan sebutan Kebo Bule. Konon ceritanya, Kebo Bule tersebut merupakan pemberian dari Bupati Ponorogo pada Sri Susuhanan Paku Buwono II saat masih bertahta di Keraton Kartasura, sekitar lima kilometer kearah barat dari Keraton sekarang yang berada di Kota Solo (dahulu bernama Desa Sala). Kerbau tersebut bukanlah kerbau biasa.

Kebo Bule sangat dikeramatkan dan menjadi salah satu ‘pusaka’ paling penting di Keraton Surakarta. Sejarahnya tertulis dalam beberapa literatur Jawa kuno, seperti tertera dalam Babad Giyanti karya pujangga kuno dan juga Babad Sala karya Raden Mas Said yang juga bergelar Adipati Mangkunegaran I. Kesemuanya menceritakan bahwa nenek moyang Kebo Bule adalah binatang kesayangan Sunan Paku Buwono II.

1 Like