Luka Disudut Ibu Kota

![IMG_20200416_161635|690x776](upload://sZF2AXpZeIdoBsJX0sYDcHzPXDk.jpeg

Sumber : https://pin.it/lbpUOr5

Mentari pagi perlahan muncul dari ufuk timur. Kicauan burung terdengar nyaring sehingga mampu membangunkan seorang gadis yang terlelap di balik selimut. Matanya terbuka dan menyipit pada datangnya sinar mentari pagi yang menerobos masuk melalui celah jendela. Dengan sedikit malas dia bangun dan melangkah keluar rumah.

Setelah diluar rumah, napasnya ia tarik panjang untuk menghirup udara segar yang sangat menyejukkan, ditambah tetesan embun pagi saling berlomba-lomba untuk jatuh diantara ranting pohon.

Bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Hatinya bahagia. Mungkin jika tak ada liburan sekolah, maka ia tak akan pernah ke tempat dimana ia bisa menikmati sinar mentari pagi dan udara yang sangat sejuk. Itu fakta, karena kota metropolitan tak pernah menyuguhkan hal yang sederhana ini.

Banyak orang mengatakan jika tinggal di Ibu kota adalah menyenangkan, tapi baginya itu adalah hal yang buruk. Bukan tanpa alasan, karena hampir setiap saat dia selalu menyaksikan kemacetan kota yang parah dan itu menimbulkan polusi dimana-mana. Ditambah bencana banjir yang tak pernah surut.

“Kamu udah bangun Nduk?” suara pria paruh baya mengagetkan dirinya. Ia pun menengok ke arah sumber suara itu. Matanya bertemu dengan mata tua milik sang Kakek.

“Kakek mau kemana?” tanyanya, mata dipinya menatap sepeda ontel tua yang dituntun sang Kakek dari arah belakang.

“Kakek mau ke pantai, mau ikut ndak?”

“Pantai? Sepagi ini, ngapain Kek?”

“Ada apa ini?” tanya wanita paruh baya dari arah dalam rumah.

“Itu loh cucumu, udah kayak wartawan.”

“Adel mau ikut sama Kakekmu?”

Gadis bernama Adel itu terlihat bingung. Ia sebenarnya malas pergi keluar, tapi ia juga penasaran dengan rencana Kakeknya yang akan pergi ke pantai.

“Aku ikut Kakek deh. Adel pergi dulu ya Nek,”

“Kamu gak mau cuci muka dulu?”

“Enggak, kasian Kakek nanti kesiangan.”

Setelah menyalami sang Nenek, Adel langsung berlari pada sang Kakek dan duduk di jok belakang Kakeknya.

“Dadahhh Nek,” Adel melambaikan tangannya pada sang Nenek yang dibalas dengan senyuman.

Sepanjang menuju pantai, Adel mendengar Kakeknya bersenandung tanpa lirik. Entahlah, ia juga tidak tahu lagu apa yang disenandungkan. Tapi dari nada-nadanya Adel yakin jika itu lagu Jawa.

Tak butuh waktu lama, Adel dan sang Kakek tiba disebuah pantai. Betapa terkejutnya Adel saat melihat bibir pantai didepannya. Bukan karena takjub tapi ia tak percaya merlihat bentangan sampah yang terlihat mengenaskan. Adel tak pernah tahu jika pantai di desa Kakeknya penuh dengan sampah.

Perlahan ia berjalan mendekati tumpukkan sampah yang dikerubungi lalat dan menimbulkan bau tak sedap.
Tak berapa lama sang Kakek mengambil kantong plastik dan memunguti sampahnya. Adel menatap bingung pada Kakeknya.

“Kakek ngapain?”

“Kakek mau membersihkan sampah-sampah ini, itu kerjaan Kakek setiap pagi.”

“Kakek digaji pemerintah?”

“Tidak, Kakek ikhlas kok.”

“Udah Kek jangan dipungutin, biar orang lain aja.”

“Nduk, kamu tahu ini perbuatan siapa? Manusia. Jika kita membiarkan saja itu tandanya kita tidak peduli dengan titipan Tuhan yang indah. Itu sama saja dengan kita yang egois. Lihat sampah ini, dikirim dari kota dan orang desa yang menerima dampaknya. Padahal saat zaman Kakek dulu tidak ada sampah disini, bahkan sangat bersih. Tapi lihatlah ulah manusia, merusak segalanya.”

Adel mendekati Kakeknya yang terlihat menatap sayu ke arah lautan lepas.

“Kamu tahu Nduk, mereka yang membuang sampah sembarangan tak pernah memikirkan apa dampaknya bagi alam. Ikan mati, air laut tercemar bahkan beberapa waktu lalu ada kura-kura terjerat jaring plastik yang dibuang begitu saja. Mereka tak sadar jika perbuatan yang terlihat biasa begitu membahayakan alam. Maka dari itu janganlah egois Nduk, itu sifat buruk. Sifat yang enggak baik.”

Adel tersenyum miris. Ternyata bukan di kota saja yang banyak sampah, di desa pun mereka kena dampaknya. Betapa egoisnya manusia, membuang sampah sembarangan tanpa memikirkan orang yang terkena dampaknya. Adel lalu mengambil kantong plastik dari Kakeknya dan memunguti sampah yang masih membentang luas, jika Kakeknya yang lanjut usia peduli dengan alam kenapa Adel sebagai anak muda tidak.
Adel tersenyum pada Kakeknya dan mengepalkan tangan lalu mengangkatnya keatas, memberikan semangat pada sang pria paruh baya itu. Adel sangat bangga pada sang Kakek. Suatu saat nanti ia akan menceritakan pada mereka, bahwa ada seorang pahlawan yang tak pernah mendapatkan jabatan tapi mempunyai tekad yang bulat. Dan Adel berjanji pada bumi jika ia akan menjadi makhluknya yang selalu bersyukur dan tidak egois. Percayalah, egois itu tidak baik. Tidak untuk kita dan tidak untuk orang lain.

1 Like