Lebih baik tak terlahirkan

Sejak orangtuaku bercerai, ibu bekerja siang dan malam demi kelangsungan hidup kami dan masa depanku. Menjadi juru cuci, menjahit baju pesanan tetangga, menerima pesanan kue lebaran jika bulan ramadhan tiba, apapun dilakukannya selama itu halal. Aku membantu ibuku berjualan nasi uduk di sekolah, juga kusempatkan membantu pekerjaannya tiap hari. Tidak pernah kudapati semangatnya luntur meski tumpukan pekerjaannya tidak mengizinkannya tidur. Jujur saja aku rapuh melihat usaha ibuku tanpa henti, aku harus menjadi sukses dikemudian hari. Agar semua usaha ibuku tidak sia-sia. Ini janjiku untukmu bu.
Hari ini seperti biasa aku berangkat ke kesekolah yang berjarak sekitar 2km dari rumahku sambil membawa nasi uduk yang masih hangat namun hari ini jalan begitu sepi, angkot yang biasa simpang siur juga tidak ada. Sudah 15 menit aku menunggu dipinggir jalan tapi hanya angin yang menemaniku. Jika aku terus menunggu, aku khawatir akan telat sampai ke sekolah jadi kuputuskan berjalan sambil menunggu angkot.
“gina…” kawan satu kelasku menyapa dari dalam mobilnya
“hai din” kujawab sapaanya dengan harapan ia bersedia memberikan tumpangan
“aku duluan ya…” ternyata sebaiknya, ia memanggilku hanya untuk memamerkan mobil barunya
Kuteruskan langkahku kemudian, namun rasanya tidak mungkin aku bisa sampai tepat waktu jika langkahku seperti ini, sementara waktu terus mendesakku. Kupercepat langkahku kemudian, tapi hasilnya aku tetap telat, huh memang nasibku hari ini sedang tidak beruntung. Bagaimana bisa aku berjualan nasi uduk ini jika aku tidak diperbolehkan masuk pagi ini? aku memutar otakku dan mendapatkan ide, karena aku ditahan untuk masuk jadi kuminta pak satpam untuk mengantarkan nasi uduk ini ke kantin karena tidak mungkin aku berjualan dikelas seperti biasanya.
Sepulang sekolah aku menemui ibu kantin dan ternyata nasi uduk ku masih tersisa banyak, karena aku memberikannya tidak sejak pagi. Bagaimana ini, aku tidak mungkin pulang dengan nasi nasi ini. karena sekolahku tidak jauh dari perumahan, aku mencoba menjualkannya dari rumah kerumah. Lagipula aku tidak akan pulang terlambat jarena biasanya aku pulang dengan jalan kaki dan memang selalu sampai dirumah satu atau dua jam setelah jam pulang sekolah. Butuh kesabaran yang tinggi berjualan disini karena jarang sekali pembeli nya tapi aku tetap optimis. Setelah 2jam aku berkeliling, akhirnya semua nasinya terjual habis. Rasanya aku lelah sekali, aku akan pulang naik angkot saja lagipula uang ongkosku kan tadi pagi tidak kupakai tapi mengapa jalan masih saja sepi, angkot sama sekali tidak terlihat, aku takut ibu khawatir jka aku pulang lebih lama karena hpku sudah dijual bulan lalu jadi aku tidak bisa memberitau ibuku jika aku akan telat sampai rumah hari ini, maka aku putuskan pulang dengan berjalan kaki saja dan menceritakan keadaanku nanti dirumah.Syukurlah ibuku mengerti dan tidak memarahiku, ia justru menangis. Kuppeluk ibuku berbisik bahwa aku sama sekali tidak keberatan dengan kondisi kami apapun selama aku selalu bersamanya.
“ring… ring… ring…” seperti biasa, alarmku berdering membangunkanku
Aku tidak ingin kejadian kemarin terulang, aku segera bersiap-siap agar tidak terlambat. Tapi sejak aku membuka mataku mengapa tidak kutemukan ibu, harusnya ibu sedang memasak nasi uduk seperti biasannya didapur. Mungkin ibu sedang belanja, lebih baik aku bergegas.
“assalamualaikum ginaaa” suara yang sepertinya kukenal berteriak keras sekali dari luar rumah
“waalaikumsalam, iya sebentar” kujawab dari dapur
“buka pintunya cepet nak, ibumu pingsan ini” ibu? Kakiku tak dapat kutahan dari gerakan spontanya, aku panik, segera kubuka pintu rumahku
“bu, pak tolong direbahkan di kamar saja” sambil membantu membopong tubuh lemas ibuku kuminta tetangaku membaringkan ibuku dikamar
Entah apa dan bagaimana kondisi ibuku bisa seperti ini, tubuhnya lemas, wajahnya pucat, semakin hari sudu tubuh nya semakin menurun, sudah dua hari sejak ibuku pingsan namun tetap saja kondisinya belum membaik. Aku tidak bisa diam saja, aku bergegas membawa ibuku kerumah sakit namun uangku tidak cukup untuk membayar biaya registrasi, tanpa berfikir panjang aku meminjam uang kepada rentenir.
“keluarga ibu sumi?” dokter yang memeriksa kondisi ibuku keluar dari ruang UGD
“saya anaknya dok, bagaimana kondisi ibu saya?”
“mari ikut saya keruangan” tanpa pikir panjang kuikuti pinta dokter
“ sebelumnya saya mohon maaf sekali dek, saya tidak bisa menolong ibu kamu, setelah saya periksa ternyata ibu kamu terkena kanker stadium akhir dan sudah sangat terlambat dibawa kesini”
Kepergian ibuku merenggut duniaku, Bagaimana aku bertahan hidup dari keegoisan mereka yang selalu memandang rendah orang miskin sepertiku. Aku berharap aku tidak pernah dilahirkan.