Lautan Dan Buih Atau Akhirat Dan Dunia

Taman Surga

Maulana berkata: Syarif Paysukhta berkata:

Pemberi nikmat paling suci yang tidak membutuhkan dunia,
Diri-Nya sendiri adalah ruh bagi semua,
tapi Dia tidak butuh kepada ruh itu.

Semua hal yang terlingkup oleh prasangkamu,

Pemberi nikmat itulah yang disembah,
tapi Dia tidak butuh pada sesembahan itu.

Kata-kata ini sungguh memalukan. Kata-kata ini bukanlah pujian untuk Tuhan, tidak pula untuk mengormati manusia. Wahai manusia rendah, kebahagiaan apa yang kamu miliki sehingga Ia tidak butuh kepadamu?

Kata-kata ini jelas bukan ucapan para kekasih, melainkan ucapan para musuh.

Musuh itu bisa saja berkata:

“Aku tidak punya urusan dengan-Mu dan tidak membutuhkan-Mu.”

Coba bayangkan jika seorang Muslim yang amat besar rasa cintanya, saat di puncak kegembiraannya, berkata kepada orang yang dicintainya bahwa dia tidak membutuhkannya. Ini seperti seorang juru api kamar mandi yang duduk di depan kamar mandi sambil berkata: “Sultan tidak membutuhkanku, seorang juru api. Sultan tidak peduli padaku dan juga tidak memperhatikan para juru api lainnya.” Kebahagiaan apa yang diperoleh juru api itu sehingga ia berprasangka bahwa rajanya tidak perhatian kepadanya? Tidak, kata yang semestinya ia ucapkan adalah: “Aku sedang berada di kamar mandi, lalu Sultan melintas di hadapanku, aku mengucapkan salam padanya. Sultan terus melihat ke arahku, bahkan setelah melewatiku beliau tidak melepaskan pandangannya padaku.” Kata-kata seperti ini bisa jadi akan memberikan kegembiraan pada juru api itu. Adapun kata-kata “Sultan sama sekali tidak memperhatikannya,” jenis pujian kepada raja yang bagaimana itu dan kebahagiaan macam apa yang muncul dalam diri juru api itu?

“Semua hal yang terlingkup oleh prasangkamu” wahai manusia rendah, apa yang akan melintas di hadapan prasangkamu dan yang akan tampak di depanmu ketika semua orang tidak membutuhkan prasangka dan imajinasimu, dan jika kamu ceritakan pada mereka, mereka akan bosan dan pergi? Manakah dari prasangkamu yang tidak membutuhkan Allah di dalamnya? Tanda ketidakbutuhan terlihat pada orang-orang kafir; tidak mungkin perkataan ini adalah milik orang-orang Mukmin.

Wahai manusia rendah, kemandirian Tuhan itu pasti; tetapi jika kamu memiliki kadar spiritual yang tinggi, maka Ia akan menjadi butuh kepadamu karena kadar kemuliaanmu itu.

Syekh Mahalla sering berkata:

“Awalnya melihat, kemudian berbincang-bincang. Semua orang bisa melihat sultan, tapi yang bisa berbincang dengannya hanyalah orang-orang khusus yang berpengaruh saja.”

Maulana Rumi berkata:

“Perkatan ini juga tidak benar dan sepenuhnya omong kosong. Musa menikmati percakapannya dengan Tuhan, baru kemudian ia memohon untuk bisa melihat diri-Nya. Maqam Nabi Musa as. adalah maqam percakapan, sementara maqam Nabi Muhammad Saw… adalah maqam penglihatan. Kalau begitu, bagaimana perkataan Syekh itu bisa dianggap benar?”

Maulana Rumi berkata:

“Seseorang berkata di hadapan Syamsuddin Tabrizi ( semoga Allah menyucikan jiwanya ): “Aku sudah membuktikan eksistensi Allah dengan bukti yang pasti.”

Pagi harinya Maulana Syamsuddin berkata:

“Semalam malaikat turun dan memanggil lelaki itu sambil berkata: ‘Alhamdulillah, dia sudah membuktikan eksistensi Allah!’ Allah memanjangkan umurnya! Ia tidak merusak hak orang-orang di muka bumi.’”

Wahai manusia rendah, Allah itu ada dan Dia tidak membutuhkan bukti apapun. Jika kamu melakukan sesuatu, maka buktikan dirimu dalam tingkatan dan maqam tertentu di hadapan-Nya. Kalau tidak bisa, berarti kamu sudah membuktikan tanpa dalil.

“Dan tidak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.” (QS. al-Isra’: 44)

Tidak perlu diragukan lagi bahwa para ahli fiqh adalah manusia- manusia cerdas yang seratus persen berkompeten di bidangnya. Tetapi antara mereka dan dunia spiritual ada sebuah tembok besar demi menjaga kelangsungsan “Boleh dan tidak boleh.” Jika tidak ada dinding besar itu sebagai tirai bagi mereka, tidak akan ada orang yang memohon mereka untuk memberikan fatwa dan pekerjaan mereka akan lenyap. Ini seperti analogi dari ucapan Maulana Syamsuddin: “Akhirat itu seperti lautan dan dunia ini adalah buihnya.” Allah ingin agar buih ini tetap teratur. Oleh karena itu, Allah meletakkan beberapa manusia yang membelakangi lautan untuk menjaga buih tetap ada. Jika mereka tidak disibukkan untuk menjaga buih ini, maka semua makhluk akan saling memberikan fatwa dan menghancurkan buih itu.

Sebuah tenda didirikan untuk ditinggali seorang raja dan dia membuat orang-orang sibuk untuk mendirikan tenda itu. Salah seorang dari mereka berkata:

“Jika aku tidak membuat tali tenda, bagaimana kemah ini bisa didirikan?”

Yang lain menimpali:

“Jika aku tidak membuat pancang, di mana tali itu akan diikat?”

Semua orang tahu bahwa mereka adalah pelayan dari raja, orang yang nantinya akan duduk di dalam tenda dan memperhatikan orang-orang yang dikasihinya.

Dengan demikian, jika seorang penenun meninggalkan kain tenunannya untuk menjadi seorang menteri, maka seluruh dunia ini akan telanjang dan terpisah. Dengan demikian, maka Aku beri mereka kesenangan dalam menenun sehingga ia tetap rela menjadi penenun. Dengan demikian, manusia diciptakan untuk menjaga agar dunia buih tetap teratur, dan dunia ini diciptakan untuk menjaga eksistensi para wali.

Alangkah senangnya mereka yang dijadikan sebagai tujuan dari diciptakannya dunia ini, dan bukan diciptakan untuk menjaga dunia. Allah SWT menganugerahkan keridaan dan kesenangan kepada semua manusia untuk bekerja pada keahliannya masing- masing, bahkan jika ia hidup hingga seratus ribu tahun , ia akan tetap membuka praktik untuk keahliannya itu. Rasa cintanya pada pekerjaan itu akan semakin bertambah setiap hari, beragam kemahiran yang lebih detail akan muncul terus menerus darinya, dan akhirnya ia akan memperoleh kesenangan dan kebahagiaan yang tiada tara.

“Dan tidak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.”

Pembuat tali memiliki pujiannya tersendiri, tukang kayu yang membuat pancang-pancang tenda memiliki pujiannya tersendiri , begitu juga dengan peletak pasak, penenun yang memenuhi tenda dengan kain, dan para wali yang duduk di dalam tenda sambil mengawasi, mereka semua memiliki pujian masing-masing.

Sekarang para pencari ini datang kepada kita. Jika kita tidak berkata apa-apa, mereka akan bosan dan sakit hati. Tetapi jika kita mengatakan sesuatu, maka itu harus sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Ketika kita merasa sakit hati karena hal itu, mereka justru pergi dan mengkritik kita, seraya berkata: “ Ia bosan dan melarikan diri dari kita.” Kecuali jika kompor itu yang pergi, bagaimana api bisa lari dari kompor? Tentu itu tidak mungkin. Karenanya, pelarian api dan percikannya itu bukanlah sebuah pelarian. Namun jika kompor itu melemah, maka seseorang akan terlebih dahulu menjauh darinya agar api tidak benar-benar mati. Jadi sebenarnya kompor itulah yang pergi. Jadi, pelarian kita adalah pelarian mereka. Kita adalah sebuah cermin. Jika mereka bergerah untuk melarikan diri, maka tampak demikian pada diri kita, kita pergi demi mereka. Dalam cermin, seseorang bisa melihat diri mereka sendiri. Jika mereka melihat kita membosankan, maka itu adalah kebosanan mereka. Karena bosan adalah sifat dari kelemahan dan di sini tidak ada tempat untuk sifat bosan, apalah gunanya kebosanan itu?

Di tempat pemandian, aku menunjukkan ketawadukan yang besar kepada syekh Shalahuddin. Syekh Shalahuddin justru malah menunjukkan ketawadukan yang sama besarnya kepadaku. Melihat ketawadukannya itu aku bertanya-tanya dalam hati. Terlintas dalam benakku, “Kamu melampaui batas dalam bertawaduk . Ketawadukan akan lebih baik jika dilakukan secara bertahap. Pertama kamu mencium tangannya, kemudian kakinya. Sedikit demi sedikit hingga kamu sampai pada sebuah titik di mana ia tidak tampak oleh mata, dan akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Ketika kamu menunjukkan ketawadukan itu secara bertahap, tentu mereka tidak lagi menjadi sesuatu yang dikejar-kejar, atau dipaksa menyesuaikan satu penghormatan ke penghormatan yang lain.”

Syekh Salahuddin Faridun Zarkub al-Qunawi merupakan salah satu sahabat spiritual Maulana Rumi setelah tidak ada Syams Tabriz di sisinya. Maulana Rumi selalau bersama orang ini untuk waktu yang lama. Beliau meninggal pada tahun 657 H.

Kita juga harus melakukan dengan cara yang sama kepada kawan maupun lawan, secara bertahap. Misalnya kepada sorang musuh, pertama kita tawarkan nasihat kepada mereka, sedikit demi sedikit. Jika mereka tidak mau mendengar, gunakan sedikit paksaan. Jika mereka belum juga mau mendengar, tinggalkan saja dia. Seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an:

“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (QS. al-Nisa’: 34)

Semua yang terjadi di dunia ini juga berjalan secara bertahap. Tidakkah kamu melihat kedamaian dan keramahan musim semi? Pada mulanya, ia menunjukkan kehangatan sedikit demi sedikit, dan kemudian terus bertambah. Begitu juga dengan pepohonan yang tumbuh sedikit demi sedikit. Pertama ia tersenyum, kemudian ia menunjukkan perhiasan-perhiasan dedaunan dan buahnya seperti para darwis dan Sufi yang memperlihatkan segala hal, dan mempertaruhkan semua yang mereka miliki.

Manusia selalu tergesa-gesa dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan duniawi maupun ukhrawi, berlebih-lebihan di awal pekerjaannya. Cara ini akan mempersulit mereka untuk sampai kepada tujuannya. Cara yang terbaik adalah dengan latihan. Sama halnya ketika seseorang makan terlalu banyak, ia harus mengurangi satu gigitan setiap harinya, secara bertahap. Dengan cara itu, sebelum satu atau dua tahun berlalu, ia telah mengurangi setengah dari jatah makanannya tanpa ia sadari. Demikian juga dengan ibadah, khalwat, taat, dan salat. Ketika ia memasuki jalan Allah, untuk sesaat ia akan menjaga salat lima waktu. Tetapi jika ia melakukan ibadah shalat dengan sepenuh hatinya, maka ibadah salatnya akan terus berlanjut tanpa henti.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum

1 Like