Lampu Hijau Egoisme

Tinn!” sontak kudengar bunyi klakson mobil dari arah belakang yang memekakkan telinga. Dengan tatapan sinis aku menoleh ke arah mobil itu tanpa bicara sepatah kata pun.

Tinn……tinnn!” tanpa jeda ia mengklakson lagi.

Kupejamkan mataku sesaat, aliran darah terasa naik ke ubun-ubun. Aku komat-kamit memantrai hati agar sabar. “Sabar Rin, sabar!”

Tiiiinnnnn!” ulangnya lagi untuk ketiga kalinya. “Hei, jalan dong!” si pemilik mobil yang seorang lelaki paruh baya itupun buka suara.
Kesabaranku kini sudah memasuki fase akhir. Tiba-tiba saja terdengar pukulan keras pada kap mobil yang membuatku terkejut dan mendahului egoku.

“Berisik banget sih pak! Gak lihat apa semua orang juga gak bisa jalan? Bukan bapak doang!” ujar seorang perempuan penumpang ojek online yang berada di sebelahku.

“Hampir saja aku mau maki juga tadi, udah keduluan!” gemingku dalam hati.

“Saya buru-buru nih. Saya ada meeting penting tau gak! Kalian yang di depan tolong kasih saya jalanlah!” pinta pemilik mobil itu kasar.

Tak ada yang mengindahkannya. Begitupun aku. Lagi pula celah untuk bergeserpun sangat kecil, terlebih untuk mobil.

“Hei, tolonglah!” pintanya lagi kesal.

“Pak! Bapak pikir cuma bapak yang punya kepentingan? Saya juga buru-buru mau kuliah, tapi saya gak ngotot kayak bapak.” komentar penumpang itu tak kalah kasar.

“Iya pak, tolong sabar. Saya juga buru-buru mau ke rumah sakit, menantu saya melahirkan, saya mau lihat cucu saya!” tambah seorang ibu ikut berkomentar dengan bangganya.

“Ah, sial!” gerutu si pemilik mobil.

Aku hanya menjadi pendengar yang baik dari pertikaian mereka. Semua merasa paling penting dan tak mau kalah.

Sudah tiga menit sejak aku dan semua kendaraan di sini terdiam dalam antrian. Sama sekali tak ada pergerakan. Aku menunggu dalam kebingungan karena tak mengetahui penyebab kemacetan ini. Ku perhatikan dari spion kaca motorku, terlihat seorang supir ojek online lain yang sedang berusaha menyelip dari tiap celah jalan yang ada.

“Permisi! Numpang lewat duluan boleh? Penumpang saya anaknya lagi demam tinggi perlu buru-buru ke rumah sakit.” pintanya pada pengendara di depannya.

“Tapi kita lagi dilarang jalan mas. Soalnya jalan ditutup sementara, ada polisi yang jaga di depan. Dengar-dengar ada orang penting mau lewat.” ujar seorang pengendara.

“Oh, ternyata!” keluhku dalam hati.

“Gak apa-apa mas. Nanti saya coba minta izin, karena ini kondisinya genting!” jelas si supir ojek dengan raut muka panik. Melihat kondisi penumpangnya seorang perempuan dengan keadaan menggendong bayi yang sedang menangis kencang, orang-orang pun memberi jalan sebisanya, begitu juga aku dan beberapa pengendara setelahku.

“Ini kenapa geser-geser?” protes seorang ibu pada seorang bapak yang bergeser karena aku. Ibu yang sedang memboncengi anaknya itupun terlihat kesal.

“Gak tau bu. Tolong bu geser sedikit, saya terjepit nih!” ucapnya kesusahan.

Belum lama bapak itu meminta bergeser, tiba-tiba dia kehilangan kendali hingga mendorong motor si ibu. Bapak itu pun hampir terjatuh, namun berhasil menahan beban motornya. Tetapi tidak dengan si ibu yang sudah tersungkur hingga menjepit kaki pengendara lain di sebelahnya.
Semua orang terkejut. Beberapa orang bergegas membantu si ibu dan anaknya, juga pengendara yang kakinya terjepit. Suasana berubah menjadi riuh seketika.
Melihat keributan itu, seorang polisi pun datang menuju ke arah antrian kami dan membunyikan peluitnya.

“Bapak ibu semua dimohon tenang dan tertib. Jalan ditutup hanya sementara. Sepuluh menit lagi pak presiden akan lewat. Di mohon bersabar sebentar!” imbau polisi itu.

Dilain hal, aku melihat supir ojek online yang menerobos jalan tadi sedang bernegosiasi dengan polisi. Setelah beberapa saat berbicara, akhirnya ia pun berlalu meninggalkan kemacetan yang berkepanjangan. Melihat hal itu, tiba-tiba saja pengendara lain satu persatu mulai ikut-ikutan menerobos jalan dan melaju dengan kencangnya. Beberapa dari mereka menggunakan teknik berkilah tinggi hingga ada yang hampir terjatuh karena polisi menarik bajunya. Polisi yang berjagapun menjadi riuh karena kekacauan itu. Seperti tak mau kehilangan kesempatan, si bapak pemilik mobil yang protes tadi pun melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Namun tiba-tiba saja, “Dorr!” terdengar suara tembakan.

Refleks saja aku menutup mata karena terkejut. Ku dengar bunyi desitan mobil begitu kuat. Saat ku buka mataku, terlihat mobil tadi sudah berhenti karena tembakan tepat mengenai roda mobilnya. Beberapa polisi langsung berlari menuju arah mobil itu. Semua orang lagi-lagi menjadi riuh dan panik.

“Huhh!” desahku lelah menyaksikan kekacauan ini. Tekanan darahku naik lagi hingga kepalaku terasa sakit. “Kacau!” ujarku geram.

-Sekian-