Kita Kembali Dari Jihad Aksiden Menuju Jihad Pikiran

Taman Surga

Rumi berkata,

“Sudah lama aku ingin bertemu denganmu tapi aku tahu kau sedang sibuk dengan kemaslahatan manusia, jadi aku tidak ingin memberatkanmu.”

Amir menjawab,

“Ini memang sudah menjadi kewajibanku. Tapi sekarang kesibukan-kesibukanku ini telah selesai, jadi aku siap untuk melayanimu.”

Maulana Rumi berkata,

“Tidak ada bedanya. Semuanya sama. Dalam dirimu ada kebaikan yang membuat semuanya menjadi sama. Bagaimana seseorang bisa berbicara tentang kesusahan? Akan tetapi, karena aku tahu sekarang kalian adalah orang-orang yang dipenuhi oleh perbuatan-perbuatan baik dan bermanfaat, maka aku akan menemui kalian.”

Sekarang kita akan membahas tentang satu masalah: Jika ada seseorang yang memiliki banyak anak dan yang lainnya tidak, apakah mungkin untuk mengambil anak dari orang pertama dan kemudian diberikan kepada orang kedua?

Ulama Zahiriyyah berkata,

“Kamu ambil saja anak dari orang yang pertama itu lalu kau berikan kepada orang yang kedua.”

Jika kamu renungkan baik-baik, sebenarnya orang yang tak memiliki anak itulah yang memiliki anak. Misalnya ada seorang wali, yang memiliki permata di hatinya, memukul seseorang hingga membuat kepala, hidung, dan rahangnya terluka. Setiap orang berkata bahwa orang yang dipukul adalah orang yang dizalimi, tapi sebenarnya orang yang dizalimi itulah yang memukul (yang menzalimi). Orang yang zalim adalah mereka yang melakukan sesuatu untuk untuk kemaslahatannya dirinya sendiri. Ia yang menerima kepalan tangan dan dihantam kepalanya adalah orang zalim itu sendiri dan orang yang memukul ini pasti adalah orang yang dizalimi. Hal ini dikarenakan ia yang memiliki permata di hatinya, karena ia fana dalam kemuliaan Tuhannya, dan karena yang dilakukannya adalah perbuatan Allah SWT. Sementara Allah tak mungkin dikatakan sebagai Dzat yang Zalim. Sama halnya ketika nabi Muhammad Saw. membunuh, menumpahkan darah, dan menginvasi, sebenarnya merekalah yang zalim dan nabi Muhammad adalah yang orang yang dizalimi.

Contoh lainnya, orang barat tinggal di Barat dan orang timur datang ke Barat. Orang barat itu adalah orang asing bagi orang timur; tapi sesungguhnya orang timur itulah yang menjadi orang asing bagi orang-orang barat. Seluruh dunia ini tidak lain adalah sebuah rumah, tidak lebih. Apakah kita pergi dari rumah ini ke rumah itu, atau dari sudut ini ke ke sudut itu, bukankah pada akhirnya kita masih tetap ada di rumah yang sama? Orang barat yang memiliki permata hati itu berasal dari luar rumah. Nabi Muhammad Saw. bersabda:

“Islam datang dalam keadaan asing,”

dan tidak bersabda,

“Orang timur datang dalam keadaan asing.”

Dengan demikian, ketika nabi Muhammad Saw. dikalahkan oleh musuh-musuhnya, beliau adalah orang yang dizalimi. Begitu pula saat beliau menghantam mereka, beliau juga adalah orang yang dizalimi. Karena dalam dua keadaan tersebut, Tuhan (kebenaran) ada bersama dirinya, dan orang yang dizalimi adalah orang yang menggengam Tuhan (kebenaran) di tangannya.

Hati Nabi Muhammad Saw. berasa terbakar melihat para tawanannya. Kemudian Allah menurunkan wahyu-Nya untuk mendamaikan hati beliau:

“Wahai Muhammad, katakanlah pada mereka; ‘Saat ini kalian tertawan dalam ikatan dan rantai-rantai, jika kamu berniat untuk melakukan kebaikan, maka sungguh Allah akan membebaskan kalian dari belenggu itu. Dia akan mengembalikan segala milikmu yang telah hilang dan bahkan akan melipatgandakannnya. Allah akan memberikan pengampunan dan keberkahan untukmu di akhirat kelak. Dia juga akan memberi kalian dua gudang harta, yang mana salah satunya adalah gudang yang hilang dari diri kalian dan yang satunya lagi adalah gudang akhirat.’”

Amir bertanya:

“Jika seorang hamba melakukan suatu amal, apakah pertolongan dan kebaikan yang akan ia dapatkan disebabkan oleh amal yang ia lakukan itu ataukah itu anugerah dari Allah?”

Maulana Rumi menjawab:

“Tentu saja itu adalah anugerah dari Allah SWT. Tetapi Allah SWT, karena kasih sayang- Nya yang luas, membuatnya seolah-olah berasal dari hamba. Karena itu, Ia berfirman: ‘Pertolongan dan kebaikan itu adalah milikmu.’”

“Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-Sajdah: 17)

Amir berkata:

“Karena Allah memiliki kasih sayang ini, maka setiap orang yang benar-benar mencari kebenaran akan mendapatkannya.”

Maulana Rumi menjawab:

“Akan tetapi tanpa adanya seorang pemandu (mursyid) hal itu tidak akan terjadi."

Ketika Bani Israil mematuhi Nabi Musa as., semua jalan dibukakan pada mereka, bahkan lautan sekalipun. Lumpur disingkirkan dari lautan untuk jalan mereka. Tapi jika mereka saling berbeda pendapat, maka mereka akan tetap mengembara di jalan-jalan gurun pasir (berada dalam kejahiliyahan) selama bertahun-tahun. Para pemandu masa itu bertanggung jawab terhadap kemaslahatan mereka yang berpegang teguh dan yang taat kepadanya. Misalnya, jika sekelompok tentara mematuhi perintah raja mereka, maka sang raja pun akan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka dan bertanggungjawab atas kemaslahatan mereka. Tetapi jika mereka tidak patuh, untuk apa sang raja repot-repot memikirkan urusan- urusan mereka?

Akal itu seperti raja dalam tubuh manusia. Selama anggota tubuh yang lain patuh pada akal, maka semua urusan akan berada pada jalan yang benar. Tapi jika anggota tubuh itu tidak patuh kepadanya, maka semua urusan akan rusak. Tidakkah kamu lihat ketika seseorang mabuk karena meminum alkohol, berapa banyak kerusakan yang diperbuat oleh tangan, kaki, mulut, dan anggota tubuh lainnya? Kemudian di hari berikutnya, ketika ia sadar, ia berkata, “Ah, apa yang telah kulakukan? Kenapa aku memukul? Kenapa aku mencaci?”

Demikian juga semua urusan di sebuah desa akan sempurna tatanannya hanya ketika ada seorang mursyid di desa tersebut, dan para penduduk desa patuh kepadanya. Dengan demikian, akal sesungguhnya memikirkan kemaslahatan rakyat-rakyat ketika mereka mematuhi sang mursyid. Jika ia berpikir untuk pergi, ia tidak akan pergi kecuali para kaki berada di bawah perintahnya, jika tidak, berarti ia memang tidak berpikir demikian.

Sama seperti akal yang berposisi sebagai raja dalam tubuh manusia, jika dihubungkan dengan seorang wali, maka semua eksistensi yang disebut makhluk—dengan seluruh potensi akal, pengetahuan, perenungan, dan ilmu-ilmu mereka—adalah tubuh umat manusia dan wali tersebut adalah akal di tengah-tengah semua eksistensi itu. Dengan demikian, ketika manusia (tubuh) tidak patuh pada wali (akal) yang menjadi raja bagi mereka, maka segala urusan mereka akan menjadi kacau dan mereka akan menyesal. Mereka harus patuh dan menerima segala yang dilakukan oleh sang wali, dan mereka tidak perlu menggunakan akal mereka. Karena bisa jadi mereka tidak bisa memahami apa yang diperbuat oleh sang wali dengan akal mereka sendiri, maka sudah sepatutnya mereka patuh pada wali tersebut. Ini seperti seorang anak yang diserahkan kepada seorang penjahit untuk dididik. Sudah seharusnya sang anak patuh pada penjahit itu. Jika penjahit memberinya sepotong kain untuk dijahit, maka ia harus menjahit potongan kain itu. Jika penjahit memberikan depun kepadanya, maka anak itu harus menjahit dengan depun itu. Jika anak tersebut ingin mempelajari keahlian sang penjahit, maka ia harus menanggalkan seluruh hasrat pribadinya dan tunduk pada semua perintah penjahit itu.

Kita berharap semoga Allah memudahkan jalan itu untuk kita. Jalan yang merupakan pertolongan-Nya. Jalan yang melebihi seribu daya dan upaya.

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. al-Qadr: 3)

Ayat di atas semakna dengan ungkapan ini:

“Satu sentakan Allah SWT itu lebih baik daripada ibadahnya orang-orang yang tekun.”

Artinya, jika pertolongan Allah mengintervensi amal manusia, maka pertolongan itu telah melakukan ratusan kali lipat perjuangan, dan bahkan lebih. Perjuangan itu indah, baik, dan bermanfaat, tapi apalah artinya perjuangan itu jika dibanding dengan pertolongan Allah?

Amir bertanya:

“Apakah pertolongan Allah menciptakan perjuangan?”

Maulana Rumi menjawab:

“Kenapa tidak? Ketika pertolongan Allah muncul, perjuangan dimulai."

Alangkah besarnya usaha yang dilakukan oleh Nabi Isa as. ketika ia berkata di dalam kandungan ibunya:

“Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Injil [QS. Maryam: 30],

dan Yahya menyebutkan bahwa Isa saat itu sedang berada dalam perut ibunya. Sementara perkataan itu sudah siap untuk Nabi Muhammad tanpa adanya usaha:

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam.” (QS. al-Zumar: 22)

Keutamaan datang terlebih dahulu. Kemudian jika dalam diri manusia muncul kesadaran dari kesesatan, maka itulah yang dinamakan keutamaan dan anugerah murni dari Allah SWT. Jika tidak, mengapa Allah tidak memberikan hal itu kepada teman-temannya yang lain yang dekat dengannya? Keutamaan dan balasan dari Allah laksana percikan api. Pada mulanya ia adalah anugerah, akan tetapi jika kamu letakkan katun di dalamnya dan kamu kembangkan api itu sampai apinya semakin membesar, maka itulah yang disebut dengan keutamaan dan balasan. Percikan api itu awalnya kecil dan lemah:

“Dan manusia dijadikan bersifat lemah [QS. al-Nisa’: 28].

Akan tetapi ketika api yang lemah itu menyantap hidangannya, ia akan menjalar ke seluruh penjuru dunia dan membakar dunia, percikan kecil dan lemah itu kini telah menjadi besar dan kuat.

“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam: 4)

Seseorang berkata:

“Sesungguhnya Maulana Rumi teramat mencintaimu.”

Maulana Rumi menjawab:

“Kedatangan dan perkataanku bukanlah indikasi dari rasa cintaku."

Aku mengatakan apa saja yang tampak padaku. Jika Allah menghendaki, Dia akan menjadikan ucapan yang sedikit ini menjadi bermanfaat dan menumbuhkannya di hati kalian, berikut dengan manfaatnya yang besar. Sebaliknya, jika Allah tak menghendaki, seratus ribu kata yang terucap sekalipun tak akan ada yang terpatri di hati siapapun, melainkan hanya akan berlalu dan dilupakan. Seperti halnya sebuah percikan api yang jatuh pada sepotong kain. Jika Allah berkenan, percikan itu akan menjadi besar dan melumat kain itu. Sebaliknya jika Ia tak berkenan, seratus percikan api yang dikobarkan pada kain itu akan mati, dan tidak sedikit pun membakarnya.

“Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi.” (QS. al-Fath: 4)

Kata-kata adalah tentara Allah SWT. Atas perintah Allah, mereka akan menghantam benteng dan menguasainya. Jika Allah menitahkan ribuan tentara berkuda untuk menaklukkan sebuah benteng tanpa harus menguasainya, maka mereka akan melakukannya. Begitu pula jika Allah memerintahkan satu pasukan berkuda untuk meruntuhkan benteng dan menguasainya, maka satu pasukan berkuda tersebut akan membuka pintu benteng itu dan menguasainya. Allah mengirimkan seekor nyamuk untuk melawan Namrud dan menghancurkannya. Seperti yang pernah dikatakan,

“Di mata sang arif semua sama, baik itu satu sen, satu dinar, seekor singa, dan seekor kucing.”

Karena jika Allah sudah menurunkan berkah-Nya, maka uang satu sen akan mampu melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh uang satu dinar, dan bahkan lebih.

Sementara jika Allah merenggut berkah-Nya dari seribu dinar, maka uang sebesar ini tak akan mampu melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh uang satu sen. Begitu pula jika seekor kucing dititahkan untuk menaklukkan singa, seperti nyamuk yang diperintahkan untuk menghancurkan Namrud, maka singa-singa akan bergetar ketika berhadapan dengannya, atau tampak seperti keledai dungu di hadapan kucing. Seperti beberapa darwis yang menunggangi singa atau seperti api yang menjadi dingin di tubuh Ibrahim as. dan menyelamatkan, mendamaikan, menghiasi, dan melindungi beliau; semua itu karena Allah tidak menitahkan api untuk membakar Ibrahim.

Pendek kata, jika kita menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah SWT, maka semua yang tampak dalam pandangan mereka adalah satu dan sama. Aku berharap kepada Allah SWT semoga kalian juga mendengar kata- kata ini dengan telinga batin kalian, karena itu akan bermanfaat.

Walaupun ada seribu pencuri dari luar rumah, semuanya tidak akan bisa membuka pintu sebuah rumah jika mereka tidak memiliki pencuri jujur di dalam rumah yang bisa membukakan pintu dari dalam. Ucapkanlah seribu kata dari luar, maka semua itu tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada pembenaran dari dalam. Seperti halnya pohon yang tidak subur akar-akarnya, maka banjir ribuan kali pun tidak akan memberi manfaat apa-apa untuknya. Jika mengharapkan air bermanfaat baginya, maka akar pohon itu harus segar dan subur terlebih dahulu.

Sekalipun seseorang mampu melihat seratus ribu cahaya,
Niscaya cahaya itu tak akan turun kecuali menuju asalnya

(Nurul ‘Ain)

Meskipun dunia dipenuhi oleh cahaya, tak akan ada seorang pun yang mampu melihat cahaya itu jika di matanya tidak ada percikan cahaya. Asal dari ketidakmampuan itu berada di dalam dirinya sendiri.

Jiwa adalah sesuatu dan roh adalah sesuatu yang lain. Tidakkah kamu lihat ke mana jiwa pergi saat sedang tidur? Sementara roh tetap tinggal dalam tubuh, jiwa justru berkelana dan berubah menjadi hal yang lain. Dengan demikian, ungkapan; “Barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya,” ini berbicara tentang jiwa.

Maulana Rumi berkata:

“Ungkapan itu berbicara tentang jiwa, tapi hal itu bukanlah sesuatu yang mudah."

Jika kita menfasirkan ungkapan itu dengan jiwa, maka pendengar akan memahaminya dengan deskripsinya yang menunjuk pada jiwa tersebut karena ia tak tahu tentang jiwa itu sendiri. Sebagai contoh, jika kamu memegang sebuah cermin kecil di tanganmu dan kemudian tampak sesuatu yang baik, kecil ataupun besar, di cermin itu, maka sifat-sifat itu adalah milik benda itu sendiri. Kata-kata saja tak bisa mengungkapkan pemahaman spiritual ini; kata-kata hanya dapat memberikan dorongan internal terhadap pendengarnya.

Di luar dunia yang sedang kita bicarakan, ada dunia lain yang sudah sepatutnya kita cari. Dunia ini beserta keindahannya melayani binatang dalam diri kita. Semua hal ini memberikan hidangan pada sifat hewani manusia. Sementara yang asal, yaitu manusia, mengurangi dan membatasi dirinya dari hidangan-hidangan hewani itu.

Mereka berkata: “Manusia adalah hewan yang berbicara.” Dari sini dapat dipahami bahwa dalam diri manusia terdapat dua kecenderungan.

  • Pertama, memberikan hidangan pada sifat kehewanannya di dunia yang materil ini, yaitu nafsu dan harapan-harapan.

  • Kedua , memberikan hidangan pada sifat kemanusiaan berupa ilmu, kebijaksanaan, dan kemampuan melihat Tuhan.

Kecenderungan yang kedua inilah yang dimaksud dengan inti yang hakiki. Sifat kehewanan dalam diri manusia pergi dari Tuhan, sementara sifat kemanusiaan dalam diri manusia menjauh dari dunia.

“Maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang Mukmin.” (QS. al-Taghabun: 2)

Dua manusia di dunia ini saling berperang. Siapa yang akan menang? Adalah dia yang dijadikan sebagai kekasih Tuhan oleh nasibnya.

Tak diragukan lagi bahwa dunia ini adalah dunia musim dingin. Mengapa mereka menyebut benda-benda sebagai barang yang kaku? Karena benda-benda itu kaku. Batu, gunung, dan jubah yang mencakup semua hal juga merupakan barang-barang kaku. Jika di dunia ini tidak ada musim dingin, bagaimana benda-benda itu bisa menjadi kaku? Arti dari dunia ini sangatlah luas; dan meskipun arti itu tak terlihat, tapi dengan tanda-tandanya kita bisa mengetahui bahwa di dalam dunia itu ada angin dingin dan hawa dingin yang menusuk.

Dunia ini seperti musim dingin, di mana semua yang ada di dalamnya menjadi beku. Musim dingin yang bagaimana? Musim dingin ini bisa diraba oleh pikiran, tapi tidak dirasa oleh indra. Ketika angin Ilahi berhembus, gunung-gunung akan mencair, dan kepadatan dunia akan meleleh; seperti halnya ketika kehangatan musim panas berhembus, semua benda yang beku meleleh. Di hari kiamat, ketika angin itu berhembus, semua benda akan meleleh.

Allah menjadikan kata-kata ini sebagai tentara yang ditempatkan di sekitar kalian, untuk menghalau kehadiran musuh-musuh kalian; karena ada banyak musuh, baik dari dalam maupun dari luar. Tapi mereka sesungguhnya bukanlah apa-apa; apalah arti mereka itu? Tidakkah kamu lihat ribuan orang kafir yang menjadi tawanan bagi satu orang kafir, yaitu rajanya. Sementara raja kafir itu menjadi tawanan bagi pikiran-pikirannya.

Dari sini kita memahami bahwa pikiran memiliki pengaruh yang besar, karena hanya dengan satu pikiran yang lemah saja, ribuan manusia dan seluruh dunia bisa menjadi tawanannya. Bertolak dari hal ini, meski dunia pikiran tak pernah berhenti, renungkan keagungan dan kemegahan yang dimilikinya. Betapa mudahnya ia menaklukkan musuh-musuhnya, dan betapa semaraknya dunia yang mereka tundukkan! Aku terheran-heran saat melihat ratusan bentuk yang tak ada batasnya, tentara yang merentang tanpa ujung dari satu padang ke padang lainnya, semuanya menjadi tawanan satu orang, dan satu orang itu menjadi tawanan dari pikiran keji di kepalanya! Ini berarti bahwa mereka semua adalah tawanan bagi satu buah pikiran. Di mana mereka berdiri di antara pikiran besar, tak terbatas, serius, sakral dan sublim?

Dari sini dapat kita lihat bahwa pikiran memiliki pengaruh yang sangat besar. Segala bentuk yang ada di dunia ini hanya mengikuti dan menjadi alat bagi pikiran; yang mana tanpa pikiran, bentuk- bentuk itu akan mati dan kaku. Mereka yang hanya mementingkan bentuk dan dan menyibukkan diri dengannya juga mati; mereka tidak mampu menembus makna. Mereka adalah anak-anak dan belum dewasa, sekalipun mereka tampak seperti seorang syekh yang berumur seratus tahun.

Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar,” artinya kita sedang bertempur melawan bentuk dan berusaha untuk mengalahkan para shuwariyyin (orang-orang yang memperhatikan bentuk) ini. Selanjutnya kita juga harus berhadapan dengan tentara-tentara pikiran, sehingga pikiran yang baik dapat menghancurkan pikiran yang buruk dan mengusirnya dari kerajaan tubuh kita. Inilah yang disebut dengan jihad besar dan pertempuran yang agung.

Demikianlah, pikiran memiliki pengaruhnya sendiri karena ia bekerja tanpa intervensi dari tubuh, seperti halnya akal yang secara efektif mampu mengatur rotasi bintang tanpa bantuan instrumen apapun. Itulah mengapa seorang filsuf mengatakan bahwa pikiran tidak membutuhkan alat (tubuh).

Kamu adalah esensi, sementara dua dunia itu adalah aksiden (tampilan luar) bagimu,

Dan esensi yang kamu cari dari aksiden sama sekali tak berharga Tangisilah orang yang mencari ilmu dalam hati

Dan tertawalah pada orang yang mencari akal dalam jiwa.

Karena dunia ini hanya merupakan aksiden, maka tidak seharusnya bagi manusia untuk terus berdiri di sampingnya. Esensi itu laksana botol parfum dan dunia beserta keindahannya adalah aroma parfum itu. Aroma parfum ini tak akan bertahan lama sebab ia hanya merupakan aksiden. Siapa saja yang mencari botol parfum, bukan aromanya karena ia tidak puas hanya hanya dengan aroma itu, maka itulah orang yang bijak. Tetapi siapa saja yang mencari aroma dan sudah merasa puas dengannya, maka dia adalah orang yang bodoh. Mereka memburu sesuatu yang tidak bisa digenggam oleh tangan mereka. Hal itu karena aroma hanyalah sifat dari parfum ini. Selama ada parfum di dunia ini, maka aromanya pasti tercium oleh hidung. Tetapi jika parfum itu sudah melintasi selubung dan meninggalkan dunia ini, maka semua yang ada pada parfum itu akan hilang. Karena aroma adalah bagian yang inheren dari parfum, maka aroma itu akan ikut berpindah ke tempat di mana parfum itu berada.

Beruntunglah orang yang menemukan parfum itu dengan mengikuti aromanya dan kemudian menjadi satu dengannya. Mereka tidak pernah mati, tapi menjadi bagian yang abadi dari esensi parfum itu dan diberkati oleh kualitas-kualitas parfum. Setelah itu, mereka dapat menebarkan aromanya ke dunia dan dunia menjadi hidup karenanya. Tak ada lagi yang tersisa dari dirinya selain nama. Seperti kuda atau hewan-hewan lain yang tenggelam dalam basin garam, tak tersisa dari hewan itu selain namanya. Yang sebenarnya terjadi adalah, kuda itu sekarang telah menjadi bagian dari basin garam yang besar. Namanya tak akan merubah apapun, dan ia tetap tidak akan bisa keluar dari basin garam tersebut. Meski kamu berikan nama lain padanya di dalam basin garam itu, ia tetap tak akan bisa keluar dari sifat kegaramannya.

Oleh karena itu, manusia harus menghindari keindahan dan kemegahan-kemegahan dunia yang merupakan bias-bias sinar dan refleksi dari Allah SWT. Manusia tidak sepatutnya merasa puas hanya dengan hal-hal tersebut. Sebab meski semua itu merupakan kelembutan Allah dan sinar-sinar keindahan-Nya, tetapi semua itu tidaklah abadi. Semua itu abadi bagi Allah, tapi nisbi bagi manusia. Ia seperti cahaya matahari yang menyinari berbagai tempat di bumi; meski itu adalah sinar matahari dan cahaya, tetapi ia tetap merupakan bagian dari matahari. Ketika matahari tenggelam, maka sinar itu juga akan hilang. Dengan demikian, maka kita seharusnya menjadi matahari sehingga kita tak perlu takut lagi untuk kehilangan cahaya dan sinar itu.

Ada pemberian, ada juga pengetahuan. Ada yang mendapatkan pemberian dan anugerah, tapi tak memiliki pengetahuan. Ada pula yang mendapatkan pengetahuan tapi tak memiliki pemberian. Jika kedua hal ini bisa dimiliki oleh seseorang, maka orang tersebut benar-benar mendapat taufik yang besar dan benar-benar tak tertandingi. Analogi dari hal ini adalah seperti seseorang yang sedang menyusuri sebuah jalan tetapi ia tak tahu di mana jalan ini bermula dan berakhir, atau bahkan mungkin ia menyusuri jalan yang salah. Ia berjalan dengan buta, berharap seekor ayam berkokok atau muncul tanda- tanda adanya pemukiman. Bagaimana bisa orang ini dibandingkan dengan mereka yang mengetahui jalan tanpa membutuhkan tanda dan marka jalan? Tugas yang ia punya sangatlah jelas. Oleh karena itu, pengetahuan melebihi segala sesuatu.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum