Kisahan keluarga

Sumber:https://images.app.goo.gl/ehEprQi12JHSgKXt6

Beberapa hari ini, aku selalu batal untuk tidur. Biasanya, aku selalu duduk di kursiku, seraya memindai hujan yang turun tiap malam. Aku selalu mengangan-angan cerita yang pernah diceritakan ibu padaku. Hujan turun hanya untuk melipurku dengan musik rintiknya yang merdu. Malam dan hujan berbaur membekaku untuk melupakan kisah itu, dan lekas sembuh. Mereka berdua membawaku bahagia. Dan hasilnya, aku selalu batal untuk tidur, walaupun aku sudah sangat mengantuk. Aku lebih memilih bahagia, daripada aku tidur dan takut tidak akan bangun.

Walaupun cerita itu hanya berputar kepada satu keluarga kecil. Tapi, cerita itu memang sangat menakutan bagiku. Ibuku bercerita tentang ada keluarga kecil dan sangat miskin. Sang istri hanya bisa menjadi ibu rumah tangga dengan sedikit pendidikan yang pernah ditempuhnya. Sang suami adalah seorang petani dengan sawah kecil, dan sesekali menjadi kuli bangunan kalau ada panggilan. Keluarga ini dari dulu terlilit hutang banyak sekali, walaupun hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan itupun tidak berlebihan. Kalau sang istri sudah malu untuk menghutang belanjaan, sering kali keluarga ini menahan perut mereka yang sakit kelaparan. Uang kerap kali tidak ada di dompet sang suami, dan istripun tidak bisa membeli bahan makanan untuk bisa dihidangkan.

Selang beberapa hari, setelah sang istri melahirkan anaknya yang kedua. Saat itu, sawah kecil sang suami mengalami gagal panen. Sebab ada hama yang menghabiskan padi yang ditanamnya. Gagal panen adalah suatu hal yang buruk bagi seorang petani di desa-desa. Dan sang suami tidak bisa mendapatkan hasil apapun dari apa yang ditanamnya, seperti uang.
Dan kata ibuku, saat itu, sang suamipun sudah lama tidak menerima panggilan untuk menjadi kuli bangunan. Di dompet suami sudah nihil uang, karena habis digunakan untuk istrinya melahirkan. Istri dan anaknya sudah tiga hari tidak makan nasi, mereka hanya memakan penderitaan. Meraka meminum tangisan mereka masing-masing.
Sebenarnya, sang istri sudah berulang kali memintah kepada suaminya agar cepat mencari pekerjaan lain. Bagaimanapun mereka semua juga butuh makanan untuk melanjutkan kehidupan.
Karena sudah sangat resah, sang istri berbicara dengan nada marah kepada suaminya. Tapi, suaminyapun tidak memikirkan itu semua. Memang sulit untuk mendapatkan pekerjaan, apalagi di desa terpencil seperti ini. Sang suami hanya bisa berdiam diri di rumah dan melamun di depan jendela. Ia sama sekali tidak ingin keluar rumah untuk mencari pekerjaan. Setiap hari hanya mau minum kopi sambil menikmati senja yang tersisa.
“Menurutku, walaupun sulit untuk mendapat pekerjaan, tapi sudah seharusnya kan si suami mencari pekerjaan,” selahku saat ibu sedang asik bercerita dengan menahan isak tangisnya. Aku belum tahu kenapa ibu seperti itu.
“Iya, kamu diam dulu. Ibu belum rampung bercerita,”
“Apakah memang si suami sangat egois. Dia tak mau mencari pekerjaan lain. Apakah memang begitu sifatnya. Seharusnya dia cepat mencari pekerjaan, tidak salah istrinya membentak-bentak padanya. Itu semua salahnya.” Serangku.
Tanpa mengacuh kepadaku, Ibu melanjutkan ceritanya. Suasana di rumah kecil itu menjadi sangat kacau, kata ibuku. Sang istri setiap hari membentaki suaminya. Karena juga manusia, padahal sang suami adalah orang yang sangat sabar. Tapi lama-kelamaan dia pun ikut terpancing kemarahannya. Sang suami ikut-ikutan membentaki istrinya. Sesekali, kepalan tangannya jua yang mewakili kemarahannya.
Dan pada saat malam hari, sehabis sang suami memukul kembali istrinya. Ketika sang istri sekali lagi memintah suaminya untuk mencari kerja. Saat malam itu, ketika istri dan laparnya sudah tertidur dengan pulas. Sang suami mempunyai cara bagaimana mengakhiri semua penderitaan ini.
Dengan sangat egois, sang suami memegang sebuah pisau besar yang diambilnya dari dapur. Dia dengan keji telah menggorok leher istrinya. Seperti orang mabuk, sang suami tak segan memotong-motong bagian tubuh istrinya itu. Ia potongi kecil-kecil, lalu diambil dan dilemparkanya dengan gila daging istrinya memenuhi isi rumah. Bau anyir dan merah darah menghiasi di sana-sini. Setelah memastikan istrinya hancur. Sang suami pun dengan sangat egois, ia tak memikirkan nasib anak-anaknya. Dia juga memotong lehernya sendiri. Dia menyusul istrinya yang mati untuk mengakhiri penderitaan ini. Si sulung yang terbangun karena mendengar teriakan ayahnya yang sempat kesakitan, sangat ketakutan melihat semua ini. Ia hanya bisa menangis dan memeluk adiknya yang masih bayi. Dengan masih menahan lapar di perutnya.
Aku hanya bisa mengangan-angan cerita itu dengan sangat ketakutan. Aku sering tidak bisa tidur ketika mengingatnya. Ibuku menceritakan itu semua ketika ia sudah mati.
Saat itu aku masih bayi…

1 Like