Keuntungan dari Pertanian Tanpa Bakar

Ruslan Subekti (32) semula menentang aturan pembukaan lahan tanpa bakar. Dia memandang, larangan membakar lahan cuma menghambat petani tradisional, termasuk masyarakat adat yang mengolah lahan dengan cara berpindah.

Namun demikian, dia tak berani melawan. Meski sempat memilih mandeg bertani lantaran aturan yang tertuang dalam Pergub Kalteng Nomor 15/2010 itu, dia akhirnya mencoba buka lahan tanpa bakar pada 2016.

“Seandainya kami melawan, pasti enggak ada gunanya. Lebih baik akhirnya ikutin peraturan,” beber Ruslan saat ditemui di Desa Tanjung Putri, Kecamatan Aru Selatan, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah pada Jumat (6/4/2018).

Kebutuhan perut dan dapur mendesaknya untuk mau merobohkan tebalnya penolakan aturan . Toh baginya, yang terpenting adalah memulai terlebih dahulu hal yang baru. Jika bicara hasil, itu urusan belakangan.

Tak disangka, Ruslan menemukan kenyataan sebaliknya. “Dulu, sebelum lahan tanpa bakar, kami coba bisa menanam setahun sekali. Dengan lahan tanpa bakar, kami bisa dua kali. Ini tak diduga malah lebih bagus,” ungkapnya.

Untuk lahan tanpa bakar, Ruslan biasa memulai menanam pada April akhir, lalu memanennya pada bulan Agustus. Lalu lahan dibiarkan “istirahat” dahulu sekaligus meratakannya kembali supaya bersih dari sisa pertanian sebelumnya dan baru ditanami 2 bulan kemudian.

Ruslan berpikir, pembukaan tanpa bakar lebih menguntungkan sebab tanaman bisa ditanam dalam jangka waktu lebih singkat. Bila dengan cara dibakar, setelah dipanen, padi baru bisa ditanam lagi saat tahun berikutnya.

Kendati begitu, Ruslan tak mengelak jika biaya untuk membuka lahan tanpa bakar terbilang lebih mahal. “Sebelum tanpa bakar, dari penebasan saat membuka sampai menanam hanya butuh biaya sekitar 1,5 juta rupiah. Tinggal bakar lalu ditunggu abunya,” ujarnya .

Pembukaan lahan tanpa bakar mengharuskannya merogoh uang hingga Rp 3,5 juta. Biaya ini masih akan bertambah saat panen tiba. Ia harus mengupah sekitar Rp 100 ribu per tenaga tambahan yang dilibatkan.

“Namun hasil panen tanpa bakar bisa sampai tiga ton gabah kering tiap panen. Beda dengan lahan yang dibuka dengan dibakar, hanya dua ton setahun sekali,” imbuh petani asal Desa Tanjung Putri itu.

Hasil panen tersebut diperoleh dari luasan satu hektar. Ruslan sebagai Ketua Kelompok Hutan Kemasyarakatan (KHKM) Sumber Rejeki tidak sendiri mengolah lahan garapan tanpa bakar seluas delapan hektar. Ia bersama 25 anggota lain bersama-sama mulai dari membuka lahan hingga memanen sampai menanam padi kembali.

Kini dia pun bertekad menyebarkan bukti keberhasilan lahan tanpa bakar supaya petani lain mau ikut menerapkan. Kata Ruslan, untuk lahan tanpa bakar mulanya ditebasi terlebih dahulu semak yang tumbuh di atas lahan yang bergambut setebal setengah meter miliknya. Lalu sampah organik tersebut disimpuk (ditumpuk) selama kurang lebih 25 hari.

Untuk membantu menguraikan sampah organik tersebut menjadi pupuk KHKm memanfaatkan cairan dekomposer. “Butuh biaya 65 ribu rupiah untuk satu botol dekomposer berisi 16 liter. Tiap hektar butuh lima liter. Lalu lahan dibiarkan dulu 20 hari,” terangnya.

image

Sayangnya, penanaman padi ini masih terkendala akses jalan dan irigasi. Air laut, sebut Ruslan bisa sewaktu-waktu membanjiri lahan karena belum ada pintu pengatur. “Kalau air asin sampai masuk, pertumbuhan padi kurang bagus lalu lengket. Pemerintah harus tahu ini,” pintanya.

Selain pintu air, kendala bertanam padi yang dikerjakan Ruslan adalah hama penggerek batang dan kedatangan kera. “Ketika dua bulan tanam kan sudah menguning. Itu sedang subur-suburnya. Kera sahabat kami itu, menyerang,” ujarnya sembari berkelakar.

Ruslan mengaku senang lantaran sudah ikut menjaga lingkungan setelah tidak lagi membakar untuk membuka lahan. Menurutnya, telah banyak berjatuhan korban akibat lahan yang dibakar seperti penyakit pernapasan yang diidap para bayi berumur satu tahun lalu kecelakaan transportasi akibat asap yang membumbung dan menghalangi pandangan.

“Saat ini tanpa bakar memang bikin udara lebih segar. Tinggal petani mau atau tidak meninggalkan kebiasaan membakar,” tandasnya.

Dukungan

Program pembukaan lahan tanpa bakar ini di bawah asuhan Yayasan Orang Utan Indonesia yang dibiayai oleh Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF). Proyek ini telah berlangsung dari 2016 hingga Maret 2018.

Direktur Eksekutif Yayorin, Eddy Santoso berkata bahwa proyek ini membina warga yang tinggal di sekitar area penyangga Suaka Marga Satwa Sungai Lamandau. Supaya Suaka Margasatwa Sungai Lamandau terjaga dari ancaman kerusakan akibat manusia yang terdesak kebutuhan ekonomi.

“Masyarakat diberi pemahaman kalau pembukaan lahan tanpa bakar bisa mencegah kebakaran di lahan gambut. Emisi karbon bisa ditekan,” ujarnya.

Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Medrilzam menyambut baik keberhasilan penerapan pembukaan lahan tanpa bakar di Desa Tanjung Putri. Menurutnya, ini membuktikan bahwa lahan yang rusak akibat kebakaran hutan pada tahun 2015 lalu bisa berfungsi jika dikelola secara benar.

Pihaknya terus mencari pola pembukaan lahan tanpa bakar agar bisa diterapkan pada berbagai tipe tanah atau lahan. “Kami terus mendorong supaya ini pembukaan lahan tanpa bakar ini dikembangkan ke wilayah lain. Ada kemungkinan untuk jadi kebijakan ke depannya,” ujar Medrilzam yang juga selaku Sekretaris Majelis Wali Amanat ICCTF.