Ketentuan Hukum Internasional apa saja yang berkaitan dengan Intervensi ?

Intervensi

Intervensi adalah campur tangan secara terang-terangan dari suatu negara terhadap permasalahan dalam negeri negara lain dengan tujuan untuk memelihara atau mengubah situasi yang ada.

Ketentuan Hukum Internasional apa saja yang berkaitan dengan Intervensi ?

Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum antarnegara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara.

Terdapat 3 prinsip terkait Hukum Internasional yang erkaitan dengan Intervensi suatu negara, yaitu ; Prinsip Non Intervensi dan Prinsip Kedaulatan Negara.

Prinsip Non Intervensi


Non intervensi merupakan suatu prinsip atau norma dalam hubungan internasional dimana suatu negara tidak diperbolehkan untuk mengintervensi hal-hal yang pada pokoknya termasuk dalam urusan atau permasalahan dalam negeri (yurisdiksi domestik) negara lain. Setiap negara diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri urusan atau permasalahannya secara bebas tanpa campur tangan dari pihak manapun di atas prinsip kedaulatan suatu negara. Urusan atau permasalahan tersebut misalnya menyangkut penentuan sistem politik, ekonomi, sosial, sistem budaya dan sistem kebijakan luar negeri suatu negara.

Prinsip non-intervensi adalah prinsip yang mengemukakan bahwa suatu negara tidak memiliki hak untuk mencampuri ( to interfere ) urusan atau pemasalahan dalam negeri ( domestic affairs ) dari suatu negara lain. Prinsip non-intervensi mengandung nilai-nilai penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial dari setiap negara, penyelesaian setiap masalah politik melalui perundingan, serta peningkatan kerjasama dalam aspek keamanan dan pertahanan wilayah setiap negara.

Prinsip non-intervensi didasarkan kepada prinsip-prinsip kedaulatan ( sovereignity) dan prinsip menentukan sendiri nasib suatu negara (self determination). Setiap negara yang berdaulat dapat melakukan hubungan atau kerja sama dengan negara lainnya tanpa perlu ikut campur urusan dalam negeri negara lainnya. Karena kedaulatan negara meletakkan dasar-dasar masyarakat internasional modern yang memiliki kedaulatan penuh didasarkan pada paham kemerdekaan dan persamaan derajat sesama negara. Artinya bahwa negara berdaulat, bebas dari negara lainnya dan sama derajatnya dengan yang lain.

Suatu negara atau kekuatan apa pun dari luar tidak boleh melakukan intervensi, baik politik apalagi militer terhadap suatu negara yang sedang menghadapi masalah atau kemelut di dalam negerinya. Dalam Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB mencantumkan prinsip non-intervensi bagi organisasi PBB:

“Nothing contained in the present charter shall autorize the United Nations to intervene in matters which essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present charter, but the principle shall not prejudice the application of enforcement measures under chapter VII.”

Pasal di atas menyatakan bahwa pelarangan terhadap PBB untuk melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri suatu negara lain dan untuk menyelesaikan segala urusannya berdasarkan Piagam PBB. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antar negara berdasarkan persamaan derajat dan bebas.

Selain itu, terdapat pula larangan terhadap penggunaan kekerasan dan ancaman terhadap negara lain yang diatur dalam Piagam PBB Pasal 2 ayat (4) :

“All members shall refrain in their international relation from the threat or use of force against the teritorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations.”

Penggunaan kekerasan, berkaitan dengan adanya tindakan intervensi militer, oleh sebab itu, tindakan tersebut dilarang dalam hukum internasional. Larangan penggunaan kekerasan dalam Pasal 2 Ayat 4 adalah penegasan dari prinsip non- intervensi seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 2 Ayat 7 Piagam PBB dan juga sebagai akibat dari prinsip kesamaan kedaulatan negara seperti tertulis dalam Pasal 2 Ayat (1) Piagam PBB :

The Organization is based on the principle of the sovereign equality of all its Members.”

Tujuan dari adanya prinsip non-intervensi ini adalah agar dapat saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas teritorial dan identitas nasional semua negara. Karena merupakan sebuah hak suatu negara untuk menentukan jalannya pemerintahan negaranya sendiri tanpa adanya campur tangan oleh pihak lainnya.

Prinsip Kedaulatan Negara


Peranan penting dari wilayah negara dalam hukum internasional tercermin dalam prinsip penghormatan terhadap integritas kewilayahan (territorial integrity) yang dimuat dalm berbagai instrumen internasional, misalnya dalam bentuk larangan untuk melakukan intervensi terhadap masalah-masalah internal dari suatu negara. Namun hingga saat ini kedaulatan teritorial tetap merupakan suatu konsep penting dalam hukum internasional dan telah melahirkan berbagai ketentuan hukum tentang perolehan dan hilangnya wilayah negara.

Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional sangat penting peranannya. Tiap negara mempunyai sifat kedaulatan yang melekat padanya, karena kedaulatan merupakan sifat atau ciri hakiki dari suatu negara. Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi pada suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal tidak bertentangan dengan hukum internasional.

Kedaulatan pada dasarnya mengandung tiga aspek. Pertama, aspek ekstren adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain. Kedua, aspek intern ialah hak atau wewenang eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaganya, cara kerja lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk mematuhi. Ketiga, aspek teritorial berarti kekuasaan penuh dan ekslusif yang dimiliki oleh negara atas individu dan benda yang terdapat di wilayah tersebut.

Suatu negara yang menyalahgunakan kedaulatannya dengan memperlakukan warga negaranya atau warga asing dengan secara brutal dan penuh kekejaman, membuka peluang bagi negara lain untuk melakukan intervensi. Intervensi tersebut bukan bertujuan untuk mengganti kedaulatan suatu negara tetapi menyelamatkan para korban.

Pengecualian Terhadap Prinsip Non-Intervensi


Intervensi dalam Hukum Internasional

Intervensi tidaklah selalu merupakan pelanggaran kemerdekaan atau integritas wilayah negara lain, oleh sebab itu hukum internasional juga memberikan pengecualian terhadap prinsip tersebut. Pengecualian prinsip intervensi yang dimaksud yaitu:

  • Suatu negara pelindung (protector) telah diberikan hak-hak intervensi (intervention rights) yang dituangkan dalam suatu perjanjian oleh negara yang meminta perlindungan.

  • Jika suatu negara berdasarkan suatu perjanjian dilarang untuk mengintervensi, namun ternyata ia melanggar larangan ini, maka negara lainnya yang juga adalah pihak/peserta dalam perjanjian tersebut berhak untuk melakukan intervensi.

  • Jika suatu negara melanggar dengan serius ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan yang telah diterima umum, negara lainnya mempunyai hak untuk mengintervensi negara tersebut.

  • Jika warga negaranya diperlakukan semena-mena di luar negeri, maka negara tersebut memiliki hak untuk mengintervensi atas nama warga negara tersebut, setelah semua cara damai telah diambil untuk menangani masalah tersebut.

  • Suatu intervensi dapat pula dianggap sah/legal dalam hal tindakan bersama oleh organisasi internasional yang dilakukan atas kesepakatan bersama negara-negara anggotanya…

  • Suatu intervensi dapat juga sah manakala tindakan tersebut dilakukan atas permintaan yang sungguh-sungguh dan tegas (genuine and explicit) dari pemerintah yang sah dari suatu negara (invitational intervention) .

J.G. Starke juga beranggapan bahwa tindakan intervensi Negara atas kedaulatan Negara lain belum tentu merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum, terdapat kasus-kasus tertentu dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut hukum internasional. Adapun tindakan intervensi tersebut adalah:

  • Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB.

  • Untuk melindungi hak dan kepentingan, serta keselamatan warga negaranya di Negara lain.

  • Pertahanan diri (Self Defence) . Jika intervensi dibutuhkan segera setelah adanya sebuah serangan bersenjata ( armed attack) . Syarat-syarat pembelaan diri adalah: langsung ( Instant) , situasi yang mendukung ( overwhelming situation ), tidak ada cara lain (leaving no means) , tidak ada waktu untuk menimbang ( no moment of deliberation). Syarat-syarat ini diadopsi dari kasus kapal Caroline.

  • Berhubungan dengan urusan-urusan protektorat yang berada dibawah kekuasaannya.

  • Jika Negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional, menyangkut negara yang melakukan intervensi, sebagai contoh: apabila negara pelaku intervensi sendiri telah diintervensi secara melawan hukum.

Pelaksanaan dari intervensi yang disebutkan di atas, disamping tidak menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik, juga harus mendapat izin atau tidak melanggar ketentuan- ketentuan dalam Piagam PBB. Maka untuk ini suatu intervensi harus mendapat izin dari PBB melalui Dewan Keamanan. Izin ini berbentuk rekomendasi yang berisikan pertimbangan-pertimbangan terhadap keadaan yang menjadi alasan tindakan intervensi dan apakah intervensi itu diperlukan terhadap keadaan- keadaan tersebut.

Alasan-alasan dasar suatu negara untuk melakukan sebuah intervensi dikenal sebagai humanitarian intervention atau intervensi nilai-nilai kemanusiaan. O‟Brien menggolongkan humanitarian intervention dalam beberapa syarat yakni:

  • Harus adanya ancaman terhadap HAM,
  • Intervensi harus dibatasi hanya untuk perlindungan atas HAM,
  • Tindakan bukan berdasar pada undangan dari pemerintah setempat, dan
  • Tindakan tidak dilakukan atas dasar Resolusi Dewan Keamanan.

Persoalan yang dapat dijadikan dasar diberlakukannya sebuah intervensi humaniter adalah persoalan yang diperhitungkan berdasar pada pengaruhnya yang telah mengguncang hati nurani manusia. Dengan kata lain, suatu persoalan telah mengancam perdamaian atau sebuah perang saudara, dapat dijadikan alasan diberlakukannya intervensi humaniter.

Intervensi humaniter tanpa otorisasi Dewan Keamanan tidak didukung oleh banyak pakar karena dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Piagam PBB. Hanya intervensi humaniter yang direstui Dewan Keamananlah yang dibenarkan hukum internasional, sedangkan intervensi yang dilakukan secara unilateral atau kolektif oleh sejumlah negara tanpa otorisasi Dewan Keamanan dianggap tidak sah dan bertentangan dengan hukum internasional dan ketentuan-ketentuan Piagam PBB. Ada beberapa parameter yang digunakan sebagai alasan untuk melakukan intervensi kemanusiaan menurut Awaludin, yaitu:

  • Negara yang gagal. Bila dalam suatu negara pemerintahan gagal berfungsi untuk melindungi warganya karena adanya perang saudara atau pembunuhan masal, maka pada kondisi inilah negara lain dapat membenarkan diri untuk melakukan intervensi kemanusiaan.

  • Kesadaran kemanusiaan. Bila dalam suatu negara terjadi pembunuhan secara masal, perbudakan masal dan peledakan yang menimbulkan kematian yang besar (shocking the conscious of mankind) , maka kondisi itulah yang membenarkan suatu negara melakukan intervensi kemanusiaan.

  • Jalan terakhir. Bila semua cara non-militer telah dilakukan tetapi tetap gagal, maka intervensi menjadi salah satu pilihan dan dapat dibenarkan. 104

Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, ada dua prinsip umum hukum internasional dalam pengecualian prinsip non-Intervensi antara lain:

Prinsip Kemanusiaan

Prinsip-prinsip kemanusiaan ditafsirkan sebagai pelarangan atas sarana dan metode berperang yang tidak penting bagi tercapainya suatu keuntungan militer yang nyata. Dalam bukunya yang berjudul Development and Principle of International Humanitarian Law , Jean Pictet menginterpretasikan arti kemanusiaan sebagai berikut:

“… penangkapan lebih diutamakan daripada melukai musuh, dan melukai musuh adalah lebih baik daripada membunuhnya; bahwa non-kombatan harus dijauhkan sedapat mungkin dari arena pertempuran; bahwa korban- korban yang luka harus diusahakan seminimal mungkin, sehingga mereka dapat dirawat dan diobati; bahwa luka-luka yang terjadi harus diusahakan seringan-ringannya menimbulkan rasa sakit.”

Mahkamah Internasional PBB menafsirkan prinsip kemanusiaan sebagai ketentuan untuk memberikan bantuan tanpa diskriminasi kepada orang yang terluka di medan perang, berupaya dengan kapasitas internasional dan nasional untuk mengurangi penderitaan manusia. Adanya prinsip ini bertujuan untuk melindungi dan menjamin penghormatan terhadap manusia. Prinsip ini bermanfaat untuk meningkatkan saling pengertian, persahabatan, kerja sama dan perdamaian berkelanjutan diantara semua rakyat sehingga tidak menciptakan diskriminasi karena kebangsaan, ras, kepercayaan agama, pendapat kelas maupun aliran politik. Prinsip ini dimaksudkan untuk melepaskan penderitaan, memberikan prioritas kepada kasus-kasus keadaan susah yang paling mendesak.

Prinsip HAM

Menurut Hukum HAM Internasional, suatu negara tidak boleh secara sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang dimiliki oleh individu. Sebaliknya negara memiliki kewajiban positif untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Contoh yang paling umum adalah hak untuk hidup dan pelarangan untuk penyiksaan. Negara tidak boleh membantu negara lain untuk menghilangkan nyawa seseorang atau melanggar pelarangan akan penyiksaan. Hal ini mengandung masalah bagi suatu negara ketika mempertimbangkan untuk menolak mengakui status pengungsi, mendeportasi orang-orang non-nasional ataupun menyetujui permintaan ekstradisi.

Perkembangan dalam hukum internasional telah mengindikasikan bahwa hak asasi manusia merupakan salah satu isu penting dan universal sehingga perlindungan terhadap hak-hak tersebut harus diutamakan dalam hubungan antar negara. Indikasinya dapat terlihat dengan lahirnya Universal Declaration of Human Right 1948, International Convenant on Economic, Social and Cultural Right (ICCPR) dan International Convenant on Economic, Social and Cultural Right . Padal awal penerimaan dan pemberlakuan hak asasi manusia, tiap-tiap negara memiliki perbedaan yang mendasar. Perbedaan yang cukup besar adalah mengenai universalitas hak asasi manusia itu sendiri. Prinsip kemanusian ini untuk pertama kali diakui dalam putusan Pengadilan Nurmberg terhadap penjahat-penjahat perang NAZI. Adapun ICJ menggunakan prinsip ini dalam pertimbangan putusan terhadap kasus Corfu Channel pada 9 April 1949.

Ketentuan intervensi dalam Piagam PBB

Piagam PBB ditandatangani tanggal 26 Juni 1945 di San Fransisco, pada penutupan Konferensi PBB tentang organisasi internasional dan mulai berlaku pada tanggal 24 Oktober 1945. Dalam Piagam PBB diatur tentang hal yang berkaitan dengan intervensi kemanusiaan yaitu Pasal 24, Pasal 25, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41. Pasal 42, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51.

Adanya organisasi internasional yang bisa merupakan penanggung jawab atas perdamaian dan keamanan internasional. Melalui pasal 24 dan 25 Piagam PBB tentang tugas dan fungsi Dewan Keamanan PBB, maka Dewan Keamanan berhak memberikan rekomendasi yang mengikat terkait adanya ancaman terhadap keamanan internasional, atau pelanggaran perdamaian, keamanan dan agresi. Adapun tugas dan fungsi Dewan Keamanan PBB berdasarkan Pasal 24 dan 25 ialah :

  • Untuk menjamin agar Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat menjalankan tindakannya dengan lancar dan tepat, maka anggota-anggota memberikan tanggung jawab utama kepada Dewan Keamanan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan menyetujui agar supaya Dewan Keamanan dalam menjalankan kewajiban-kewajiban bagi penanggung- jawaban ini bertindak atas nama mereka.

  • Dalam menjalankan kewajiban-kewajiban ini Dewan Keamanan akan bertindak sesuai dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kekuasaan khusus yang diberikan kepada Dewan Keamanan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban ini tercantum dalam Bab VI, VII, VIII dan XII.

  • Dewan Keamanan akan menyampaikan laporan tahunan dan jika perlu, laporan-laporan khusus kepada Majelis Umum untuk dipertimbangkan.

Berdasarkan Pasal 25 Piagam PBB maka Anggota-anggota PBB menyetujui untuk menerima dan menjalankan keputusan-keputusan Dewan Keamanan sesuai dengan Piagam ini. Selanjutanya apabila terjadi sebuah konflik, penyelesaian pertikaian secara damai merupakan pilihan utama dalam menyelesaikan suatu pertikaian.

Landasan hukum bagi tindakan intervensi kemanusiaan selanjutnya terdapat dalam Bab VI dan Bab VII Piagam PBB. Dalam bab VI (Pasal 33) Piagam PBB memiliki mandat untuk melakukan semua upaya agar konflik dapat diselesaikan secara damai melalui cara-cara negoisasi, mediasi, arbitrasi, penyelesaian hukum, serta cara damai lainnya. Sedangkan pasal 34 dalam bab yang sama menyatakan bahwa PBB bisa melakukan investigasi setiap pertikaian (konflik) yang bisa membahayakan ancaman perdamaian internasional. Adapun Pasal 33 Piagam PBB adalah sebagai berikut :

  • Pihak-pihak yang tersangkut dalam sesuatu pertikaian yang jika berlangsung terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan, dengan mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri.

  • Bila dianggap perlu, Dewan Keamanan meminta kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara yang serupa itu.

Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan ancaman-ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian dan tindakan agresi, Dewan Keamanan menurut Pasal 39 Piagam PBB, akan menentukan ada tidaknya suatu ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi dan untuk mencegah bertambah buruknya keadaan. Dewan Keamanan sebelum memberikan dan akan menganjurkan atau meneruskan tindakan apa yang harus diambil, dapat meminta kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk menerima tindakan-tindakan sementara yag dianggap perlu dan layak hal ini sesuai dengan Pasal 40.

Usaha untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional menurut Pasal 41 Piagam PBB Dewan Keamanan dapat memutuskan tindakan-tindakan di luar penggunaan kekuatan senjata harus dilaksanakan agar keputusan-keputusannya dapat dijalankan, dan dapat meminta kepada anggota-anggota PBB untuk melaksanakan tindakan-tindakan itu. Termasuk tindakan-tindakan itu ialah memulai dengan pemutusan seluruhnya atau sebagian hubungan-hubungan ekonomi, termasuk hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegrap, radio dan alat-alat komunikasi lainnya, serta sampai pada pemutusan hubungan diplomatik.

Berdasarkan Bab VII Piagam PBB terutama Pasal 42 dinyatakan bahwa apabila Dewan Keamanan menganggap bahwa tindakan-tindakan yang ditentukan dalam Pasal 41 tidak mencukupi atau telah terbukti tidak mencukupi, maka Dewan dapat mengambil tindakan dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau darat yang mungkin diperlukan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional. Dalam tindakan itu termasuk pula demonstrasi-demonstrasi, blokade, dan tindakan-tindakan lain dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau darat dari anggota-anggota PBB.

Upaya menjaga perdamaian dan keamanan dunia ini juga dibantu oleh anggota- anggota PBB yang dalam Pasal 49 Piagam PBB menerangkan bahwa anggota- anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa secara bersama-sama mengusahakan untuk saling bantu membantu dalam menjalankan tindakan-tindakan yang diputuskan oleh Dewan Keamanan.

Menurut Pasal 50 Piagam PBB jika tindakan-tindakan pencegahan atau pemaksaan terhadap sesuatu negara telah diambil oleh Dewan Keamanan, maka negara lain, baik anggota maupun bukan Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menghadapi persoalan-persoalan ekonomi khusus yang timbul karena tindakan-tindakan tersebut, berhak meminta pertimbangan Dewan Keamanan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.

Pasal 51 Piagam PBB juga mengatur salah satu bentuk intervensi. Dimana intervensi ini dilakukan atas nama PBB atau secara kolektif dengan tujuan self- defence terhadap suatu keadaan yang timbul yang membahayakan perdamaian

atau merusak perdamaian atau merupakan suatu agresi. Jadi dapat disimpulkan bahwa di bawah naungan PBB, suatu intervensi dengan tujuan pembelaan diri terhadap suatu serangan yang membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian atau merupakan suatu agresi dan ini adalah salah satu tujuan utama PBB untuk menjaga perdamaian dunia.

Referensi :

  • Malcolm N. Shaw, International Law, sixth edition, Cambridge University Press, New York, 2008.
  • Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional.
  • Hamid Awaludin, HAM, Politik, Hukum, dan Kemunafikan Internasional, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2012,
  • Jean Pictet, Development and Principle of internasional Humanitarian Law.
  • Twentieth International Conference of the Red Cross
  • Philip Alston dan Franz Magnis Suseno, Hukum Hak Asasi Manusia , PUSHAM UII, Yogyakarta, 2008.