Keluarga-keluarga hukum


Ahli perbandingan hukum sering menggunakan istilah major legal system untuk menjelaskan mengenai keluarga-keluarga hukum yang ada. Lantas apa sebenarnya maksud dari keluarga hukum dan apa saja bentuk dari keluarga-keluarga hukum itu tersendiri?

Istilah keluarga sistem hukum atau parent legal system merupakan sebuah istilah yang sering dipergunakan oleh ahli perbandingan hukum (legal comparative) untuk menyebutkan suatu tatanan organisasional yang memiliki kedudukan cukup penting dalam rangka menganalisa sistem-sistem hukum yang dimiliki oleh berbagai negara di seluruh dunia. Terdapat beberapa istilah lain yang mengandung artian sama dengan parent legal system, istilah-istilah tersebut terdiri dari sistem hukum utama (major legal system) atau dapat disebut juga sebagai keluarga hukum (legal family, familie juridique )[1] .

Para ahli perbandingan hukum tentunya telah menelaah secara komprehensif berbagai sistem hukum didunia, dan dalam pelaksanannya dilakukan berbagai usaha untuk mengidentifikasi sejumlah sistem hukum yang terus berkembang dan diterapkan diberbagai belahan dunia. Akan tetapi hingga saat ini masih belum ada kesepakatan mengenai kriteria yang digunakan dalam penggolongan hukum tersebut. Beberapa ahli perbandingan hukum menggolongkan keluarga-keluarga hukum tersebut berdasarkan struktur konseptual dari hukum (law as conceptual structure) atau berdasarkan pada teori-teori yang ada mengenai sumber-sumber hukum (the theory of sources of the law), sedangkan beberapa ahli lainnya melakukan penggolongan berdasarkan tujuan sosial yang ingin dicapai dari sistem hukum tersebut (the social objectives to be achieved with the help of the legal system) atau didasarkan atas dimana tempat hukum tersebut dalam sebuah tatanan sosial (the place of law itself within the social order)[2].

Rene David dan John E.C. Brierly menyatakan bahwa penyusunan keluarga hukum dalam suatu kelompok hukum yang berbeda-beda sejatinya mempertimbangkan beberapa unsur pokok dari berbagai hukum yang berlaku di dunia dan tidaklah lagi didasarkan atas persamaan dan perbedaan dari hukum-hukum tersebut. Unsur-unsur pokok tersebut itulah yang dikenal atau disebut dengan karakteristik hukum. Rene David dan John E.C. Brierly mengelompokkan keluarga sistem hukum menjadi enam sistem hukum sebagai berikut:

  1. The Romano-Germanic Family (merupakan pengelompokan hukum yang terdiri dari sistem hukum eropa Kontinental termasuk Belanda)
  2. The Common Law Family (terdapat di negara-negara Barat berbahasa Inggris)
  3. The family of socialist law (sistem hukum ini dianut oleh negara-negara Sosialis),
  4. Muslim Law (diterapkan dalam negara-negara yang menerapkan Syariat Islam secara sebagian ataupun secara total)
  5. Sistem Hukum Timur Jauh (sistem hukum ini diterapkan di Cina dan juga Jepang)
  6. Sistem hukum Afrika dan Malagsy.

Kriteria yang digunakan oleh Rene David dan John E.C. Brierly dalam melakukan pengelompokan hukum ialah kesamaan yang memiliki sifat teknis, kesamaan dalam tujuan sosial yang hendak dicapai oleh masing-masing sistem hukum dan yang terakhir ialah kedudukan hukum tersebut dalam tertib sosial[3]. Penjelasan dari masing-masing sistem hukum tersebut secara lebih jelas adalah sebagai berikut:

The Romano-Germanic Family [4]
Menurut Rene David dan Brierly keluarga hukum yang pertama ada dalam peradaban ialah keluarga hukum ini. Kelompok ini terdiri dari negara-negara yang ilmu hukumnya berkembang dengan dasaran hukum romawi yang dikenal sebagai jus civile. Pada sistem hukum ini aturan hukum sejatinya dipahami sebagai sebuah aturan berperilaku yang selalu berkaitan erat dengan gagasan mengenai keadilan moralitas. Dengan demikian pada proses pembuatan hukumnya para sarjana hukum tersebut terlalu memperhatikan kepada sisi keadilan dan moralitas, sehingga proses administrasi dan aplikasi praktisnya cenderung kurang diperhatikan. Ciri lain yang nampak dari sistem hukum ini ialah bahwa hukum yang terdapat di dalamnya telah berevolusi, terutama karena alasan-alasan historis, sebagai hukum yang pada dasarnya merupakan hukum yang mnegatur ranah privat atau ranah pribadi masyarakat yang satu dengan yang lainnya ( private law ).

Cabang-cabang hukum lainnya juga berkembang kemudian, akan tetapi kuranglah sempurna dalam perkembangannya. Apabila melihat kepada prinsip dari civil law yang sekarang masihlah dianut, maka terlihat bahwa sejak abad ke-19 salah satu ciri yang paling terlihat ialah bahwa negara-negara ini sangatlah mementingkan peraturan dalam bentuk undang-undang yang nantinya akan dikodifikasikan dalam bentuk suatu buku atau “ code “ yang isinya mengatur hukum-hukum di negaranya masing-masing. Keluarga hukum ini berasal dari daratan Eropa, yang dibentuk atas usaha-usaha para sarjana hukum dari abad ke-12 dan didasarkan atas kompilasi hukum saat kekaisaran raja Romawi yaitu Kaisar Justinian. Para sarjana hukum ini berusaha untuk terus mengenmbangkan ilmu hukum tersebut untuk dapat diterapkan dan diadaptasikan dengan kondisi dunia yang lebih modern pada saat itu. Istilah Romano-Germanic pun digunakan untuk mengakui dan mengapresiasi upaya bersama yang dilakukan oleh para sarjana hukum dari Universitas Latin dan Jerman tersebut.

Dengan penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara Eropa, keluarga hukum ini secara tidak langsung juga semakin menyebar dan menyebabkan negara yang dijajah memiliki sistem hukum ini ataupun berkaitan dengan sistem hukum ini. Selain itu fenomena “penerimaan secara sukarela” juga membuat negara yang tidak dijajah memebuat beberapa negara menerima sistem hukum ini. Hal ini dikarenakan kebutuhan negara tersebut unuk modernisasi atau adanya suatu keinginan westernisasi yang pada akhirnya menyebabkan suatu penetrasi ide hukum milik Eropa kedalam sistem hukum negara tersebut. Bagi negara yang berada di luar Eropa. Sistem hukum ini tetapla dipertahankan didalam negara tersebut, akan tetapi dibarengi dengan karakteristik masing-masing negara, sehingga dalam sudut padang sosiologi perlu untuk dibuat keluarga hukum baru yang menempatkan negara-negara tersebut dalam kelompok yang berbeda. Dengan demikian, di berbagai negara ini sangatlah dimungkinkan untuk mereka menerima sistem hukum Romano-Germanic akan tetapi mereka tetaplah memiliki peradaban mereka masing-masing, memiliki cara berpikir dan bertindak sendiri serta lembaga-lembaga adat mereka sendiri, yang semua hal tersbeut telah ditentukan sebelum penerimaan dilaksanakan. Apabila menilik kepada negara-negara musli dimana penerimaan hukum eropa dalam keluarga hukum Romano-Germanic hanyalah sebagian, maka terlihatlah adanya beberapa hubungan hukum yang tunduk pada prinsip-prinsip hukum lokal.

The Common Law Family [5]
Keluarga hukum yang kedua ialah keluarga hukum common-law. Yang didalamnya termasuk hukum Inggris beserta undang-undang yang dibuat berdasarkan hukum Inggris. Sistem hukum ini sangatlah berbeda dalam karakterisriknya apabila dibandingkan dengan sistem hukum sebelumnya, perbedaan yang mencolok ini nampak pada pembuatan hukumnya yang dilakukan oleh hakim dikarenakan ia haruslah menyelesaikan berbagai perselisihan secara khusus yang terjadi. Sampai saat ini, ciri khusus tersebut merupakan salah satu ciri mencolok dari sistem hukum ini. Hukum yang terdapat dalam sistem hukum ini merupakan sebuah peraturan yang diupayakan agar negara dapat memberikan atau menyediakan solusi penyelesaian melalui persidangan daripada membuat suatu hukum general untuk diberlakukan saat masa depan. Hal-hal yang berkaitan dengan administrasi peradilan, prosedur, bukti serta pelaksanaan dari putusan menurut para pengacara hukum common-law sejatinya sama-sama pentingnya atau bahkan jauh lebih penting ketimbang dengan aturan hukumnya secara substantif. Hal ini dikarenakan secara historis pra-pendudukan mereka ialah untuk membangun kembali sebuah perdamaian bukan untuk mengartikulasikan dasar-dasar moral atau tatanan sosial kedalam masyarakatnya.

Asal-usul dari sistem hukum ini juga memiliki suatu keterkaitan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh kerajaan. Hal ini berkembang menjadi suatu sistem ketika dalam kasus-kasus dimana kedamaian dari kerajaan inggris terancam, atau ketika adanya beberapa pertimbangan lain yang penting yang menurut kerajaan diperlukan, dibenarkan, atau diberikan intervensi atas dasar kekuasaan kerajaan. Terlihat disini bahwa hal tersebut merupakan dasar dari hukum publik, hal ini dikarenakan sengketa yang terjadi antar individu tidaklah masuk kedalam ruang lingkup peradilan common law, yang penting pertikaian tersebut tidaklah memperlibatkan permasalahan dengan kepentingan kerajaan. Didalam pembentukan serta pengembangan dari common law sendiri hukum publik yang dikeluarkan dari keluarga hukum Romano-Germanic hanya memainkan peran yang sangat kecil. Dengan demikian perbedaan antara sistem hukum common-law, dengan konsepnya sendiri serta kosa katanya, dan juga metode yang digunakan oleh pengacara dari sistem hukum ini secara keseluruhan sangatlah berbeda dengan yang ada didalam sistem hukum Romano-Germanic.

Persebaran hukum dalam sistem hukum ini sejatinya jugalah sama dengan metode penyebaran yang terdapat dalam sistem hukum Romano-Germanic. Yaitu melalui kolonisasi dan juga resepsi hukum. Akan tetapi terdapat perbedaan antara common law di Eropa (inggris dan Irlandia) dengan common law yang berada di luar Eropa. Dibeberapa negara lain, seperti negara-negara muslim atau india sistem hukum ini hanya diterapkan sebagian saja dan dengan demikian hukum tersebut haruslah berjalan secara bebarengan dengan nilai-nilai serta tradisi yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Lingkungan yang berbeda, dalam hal apapun akan menciptakan suatu perbedaan antara common law dari negara aslinya yaitu Inggris dan irlandia dengan mereka yang melakukan penerapan konsep hukum tersebut. Hal tersebut terlihat dalam hukum negara yang terdapat di Amerika Serikat dan Kanada yang memiliki karakteristikanya sendiri dikanerakan sivilisasi negara tersebut sangatlah berbeda dengan Negara Inggris. Walaupun para ahli mencoba membuat suatu batasan yang gamblang antara The Romano-Germanic Family dan The Common-Law family akan tetapi akhir-akhir ini kedua keluarga hukum tersebut cenderung mendekat satu sama lain. Hal ini dikarenakan kedua hukum tersebut sejatinya dipengaruhi oleh kesusilaan kristiani, dan sejak munculnya era renaissance , filsafat pendidikan yang berperan ialah individualisme, liberalisme dan juga hak-hak milik individu. Apabila ditinjau dari sudut ini, amak kedua keluarga hukum tersebut untuk tujuan-tujuan tertentu dapat dikatakan sebagai suatu keluarga besar dari hukum barat.

The Family of Socialist Law [6]
Keluarga hukum model ini muncul saat adanya Uni Soviet, lebih tepatnya sejak tahun 1917 dengan adanya revolusi proletar. Pada saat ini negara yang memiliki paham The Family of socialist law ialah merupakan negara yang dahulunya penganut keluarga hukum Romano-Germanic. Dengan demikian penganut keluarga hukum The Family of socialist law masihlah pula mempertahankan karakter-karakter utama yang terdapat didalam keluarga hukum Romano-Germanic. Konsekuensi utama dari dianutnya paham ini ialah hubungan interaksi yang dimiliki antar individu akanlah sangat dibatasi, sehingga private law dalam keluarga hukum ini akan mulai kehilangan perannya. Semua hukum menjadi masuk keranah publik atau public law. Dengan demikian terlihat bahwa keaslian dari sistem hukum sosialis ini sangatlah jelas dikarenakan adanya sifar revolusionernya, yang bertentangan dengan karakter yang dimiliki Romano-Germanic yang cenderung agak statis. Ambisi yang dimiliki oleh para ahli socialist law ialah untuk membentuk suatu masyarakat yang baru sehingga menciptakan suatu kondisi hukum sosial yang baru pula. Sumber hukum satu-satunya dari hukum sosialis sendiri berdasarkan dari hasil kerja revolusioner pada legislatif, yang mengekspreksikan kehendak dari rakyat secara keseluruhan yang juga dipimpin oleh satu-satunya partai yang terdapat di negara tersebut yaitu partai komunis. Disini harus dibedakan ilmu hukum sosialis dari Eropa dengan asia, hal ini dikarenakan hukum yang diterapkan dalam socialist law masihlah terlihat beberapa karakteristik dari Romano-Germanic . Sedangkan keluarga sistem hukum sosialis yang berada diliuar Uni Soviet menjadi susah untuk dideteksi dikarenakan adanya campuran dengan nilai, tradisi serta budaya yang dimiliki oleh masing-masing negara.

Muslim, Hindu, and Jewish Laws [7] ,
Seperti yang kita ketahui hukum itu sejatinya dipegang dan dilaksanakan oleh pengadilan. Hal demikian merupakan pandangan yang dimiliki oleh universitas barat yang dimana hukum nasional kita mengajarkan hal yang demikian. Universitas-universitas di Eropa pada abad ke-19 lebih memfokuskan kepada ajaran mereka mengenai hukum yang ideal yang dibangun atas dasar hukum Romawi dan kurang memperhatikan hukum nasional atau hukum adat yang saat itu sedang berlaku. Pada negara-negara Muslim cara yang sama juga diperlakukan, akan tetapi perhatian yang diberikan lebih menitik beratkan pada hukum yang terkait dengan agama islam daripada adat setempat yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat setempat. Hal yang sama dapat dikatakan dengan hukum Yahudi, dan dengan konteks yang sangat berbeda pada hukum Hindu. Hukum yang berkaitan dengan agama ataupun berkaitan dengan tatanan sosial, tidaklah harus selalu diterapkan didalam pengadilan. Dengan demikian terlihat bahwa pada ketiga sistem hukum tersebut sebuah hukum sejati dapatlah ditemukan selain dalam undang-undang atau keputusan hakim. Dapat dikatakan bahwa Hukum Muslim, Hindu dan Yhuid merupakan sebuah sistem hukum yang berpihak pada natural law.

Far East
Sistem hukum yang diterapkan di dalam Timur Jauh terutama China sejatinya sangatlah berbeda. Bagi masyarakat dengan sistem hukum cina maka hukum dianggap sebagai sebuah alat tindakan kesewenang-wenangan dan bukanlah merupakan simbol keadilan, dan menganggap bahwa hukum sejatinya berkontribusi terhadap gangguan sosial daripada tatanan sosial. Warga negara yang baik tidaklah memperhatikan persoalan hukum, ia haruslah hidup dengan cara yang mengecualikan hak-haknya dan tidaklah mencari jalan lain seperti ke pengadilan. Untuk memperoleh sebuah harmoni dan kedamaian dalam masyarakat maka harus ditemukan sebuah cara lain selain dengan hukum. Dengan demikian, maka perhatian utama dari masyarakat bukanlah hukumnya itu sendiri. Rekonsiliasi dianggap sebagai sebuah cara yang lebih baik daripada keadilan, mediasi pun diharuskan sebagai cara penyelesaian penghapusan konflik daripada menggunakan hukum untuk menyelesiakannya. Negara-negara Timur jauh secara tradisoonal memandang bahwa hukum hanyalah berlaku bagi masyarakat barbar. Di China, dengan adanya rezim komunis ia menolak berbagai kode-kode hukun yang dibuat setelah jatuhnya kekaisaran. Saat ini kode yang terdapat pada model Eropa telah dilembagakan di Jepang akan tetapi secara umum tidaklah banyak populasi yang memanfaatkannya. Banyak masyarakat yang masih menahan diri untuk menggunakan pengadilan sebagai cara penyelesiaan masalah, dan pengadilan sendiri juga mendorong masyarakat yang memiliki konflik untuk melakukan rekonsiliasi serta tehnik baru telah dikembangkan untuk menerapkan ataupun menghapus kebutuhan akan penerapan sebuah hukum.

Africa and Malagasy Republic [8]
Pengamatan yang telah dipaparkan dalam sistem hukum timur jauh juga sejatinya berlaku bagi negara-negara Afrika dan juga Republik Malagasi (Madagaskar). Di negara ini lingkungannya masyarakatnya amatlah sangat mendorong kepentingan komunitas daripada rasa individualisme, tujuan utamanya ialah untuk mencapai pemeliharaan ataupun pemulihan harmoni ketimbang untuk menghormati hukum. Hukum-hukum barat yang telah diadopsi di negara inipun sekedar menjadi sebuah lapisan atas saja, maksudnya masih banyak sekali masyarakat lokal yang hidup dengan cara-cara serta dengan pandangan tradisionalnya. Yang pandangan serta cara tradisonal tersebut bukanlah sebagai apa yang dipandang dengan hukum bagi masyarakat barat.

Sedangkan Marc Ancel, melakukan pengelompokan keluarga sistem hukum berdasarkan asal usul sejarah perkembangan dari masing masing sistem hukum dan juga didasarkan atas penerapannya. Ia kemudian mengelompokkan berbagai sistem hukum tersebut menjadi 5 kelompok besar sebagai berikut[9]:

  1. Sistem Eropa Kontinental ( civil law system )
  2. Sistem Anglo American ( common law system )
  3. Sistem Timur Tengah ( middle east system )
  4. Sistem Timur Jauh ( far east system )
  5. Sistem negara-negara sosialis

Dalam buku Achmad Ali dijelaskan bahwa dewasa ini pembagian sistem hukum tidaklah hanya dibagi atas Civil Law dan Common Law semata. Akan tetapi pembagian sistem keluarga hukum sekarang sudahlah sangat variatif, yaitu terdiri 5 pengelompokkan sistem hukum sebagai berikut[10]:

  1. Civil Law, yang merukana sistem hukum dianut oleh negara-negara di benua Eropa dan di negara- negara jajahannya pula.
  2. Common Law, merupakan sistem hukum yang berlaku di Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara commonwealth
  3. Customary Law, berlaku di beberapa negara Afrika, Cina dan India
  4. Muslim Law, diterapkan dalam negara-negara muslim, terutama di Timur Tengah
  5. Mixed System, merupakan sistem hukum yang terdiri dari beberapa sistem hukum didalamnya, seperti negara Indonesia contohnya yang mengakui sistem hukum perundang-undangan, hukum adat dan hukum islam

Dalam buku Prof. Romli Atmasasmita dijelaskan bahwa belakangan ini diakui tiga jenis keluarga hukum yang terdiri sebagai berikut[11]:

  1. The Romano-Germanic Family
  2. The Common-Law family dan
  3. The Family of socialist law

Dengan demikian terlihat betapa banyak macamnya pembagian kelompok sistem-sistem hukum yang terdapat dalam dunia. Hal ini dikarenakan persoalan utama yang masih belum bisa ditemukan dalam ilmu perbandingan hukum. Yaitu persoalan kriteria mana yang tepat untuk dijadikan sebagai dasar pembagian. Apakah yang diutamakan muatan substantive atau aturan hukumnya, atau yang dikedepankan adalah ciri-ciri formal tiap-tiap sistem hukum seperti hierarki sumber-sumber hukum, konsep hukum dan terminologi hukum[12].

Referensi

[1] Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana, Jakarta, Grasindo, 2008, hlm 86.

[2] Ida Keumala Jeumpa, “Contempt of Court: Suatu Perbandingan Antara Berbagai Sistem Hukum”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 16, No. 62, 2014, hlm 154.

[3] Romli Atmasassmita, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta, Raja Grafindo, 1990, hlm 32.

[4] René David dan John E.C. Brierly, Major Legal System In The World Today, London, Stevens and Sons Distributors, 1978, hlm 420.

[5] René David dan John E.C. Brierly, Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Mufatkhatul Farikhah, “ Rekonseptualisasi Judicial Pardon Dalam Sistem Hukum Indonesia (Studi Perbandingan Sistem Hukum Indonesia Dengan Sistem Hukum Barat )”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol 48, No. 3, 2018, hlm 560.

[10] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Jakarta, Kencana, 2012, hlm 203.

[11] Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Jakarta, PT. Fikahati Aneska, 2009, hlm 40-44.

[12] Ida Keumala Jeumpa, ibid, hlm 156.