Kelahiran Yang Sambung Menyambung

Kelahiran

Amir berkata:

“Tuan, alangkah mulianya engkau telah menghormatiku dengan cara ini. Aku tidak pernah mengharapkannya. Tidak pernah terlintas dalam benakku bahwa diriku layak menerima penghormatan ini. Seharusnya aku bernaung siang dan malam dengan kedua tangan terikat dalam barisan kelompok pelayan dan muridmu. Aku bahkan tidak layak begitu. Betapa mulianya semua ini!”

Maulana Rumi berkata:

Ini semua karena kamu punya semangat yang tinggi. Ketika kamu memegang jabatan yang tinggi dan agung sehingga kamu disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang penting dan mulia, maka kamu akan menganggap dirimu mampu menangani semua pekerjaan itu karena tingginya semangatmu, dan kamu tidak akan pernah merasa puas dengan prestasi yang sudah kamu raih karena kamu merasa ada banyak hal yang masih perlu dilakukan. Walaupun hatiku ingin selalu membantumu, aku juga ingin memberikan sebuah penghargaan dalam sebuah bentuk pada kalian.

Hal ini karena aksiden (tampakan/bentuk luar) juga memiliki urgensi yang besar, dan mungkin urgensi bentuk itu disebabkan karena aksiden membarengi isi. Seperti halnya sesuatu tidak akan tampak tanpa adanya inti, demikian juga sesuatu itu tidak akan tampak tanpa adanya kulit. Jika kamu menanam sebuah bibit dalam tanah tanpa kulitnya, ia tidak akan tumbuh. Tapi jika kamu menanam beserta kulitnya, maka ia akan tumbuh menjadi pohon yang besar. Dari poin ini, tubuh juga merupakan pondasi yang penting dan memiliki peran yang besar. Sebab tanpa tubuh, sebuah pekerjaan akan gagal dan tujuannya tidak akan tercapai.

Bagaimanapun, sungguh, pondasi itu sangat berarti bagi orang memahami artinya. Ucapan “Dua rakaat salat itu lebih baik dari dunia seisinya” tidak selalu cocok untuk semua orang. Perkataan itu hanya cocok untuk orang yang merasa bahwa jika ia kehilangan dua rakaat salat, berarti ia kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari dunia seisinya. Kehilangan dua rakaat salat lebih sulit baginya dari pada kehilangan kerajaan dunia yang dua rakaat salat berada di dalamnya.

Seorang darwis menghadap salah seorang raja. Sang raja berkata kepadanya,

“Wahai, sang zahid (orang yang zuhud)!”

“Tidak, kamu memandang sesuatu secara terbalik dari yang sesungguhnya.”
Jawab darwis.

“Dunia ini, akhirat, dan semua isi kerajaanmu adalah milikku. Akulah yang memegang otoritas alam semesta ini sepenuhnya. Sementara kau hanya puas dengan sesuap makanan dan sepotong baju.”

“Maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (QS. al-Baqarah: 115)

Wajah Allah itu akan mengalir dan membentang selamanya tanpa batas. Para pencinta sejati telah mengorbankan diri mereka demi wajah itu tanpa mengharapkan imbalan apapun. Sementara umat manusia yang lainnya berakhlak seperti binatang.

Maulana Rumi berujar:

“Sekali pun mereka berakhlak seperti binatang, mereka tetap berhak untuk diberi pertolongan. Bisa saja mereka berada di dalam kandang, tetap mereka diterima oleh Sang Pemilik kandang itu. Jika Sang Pemilik menghendaki, Ia bisa memindahkannya ke sebuah ruang khusus. Sama halnya dengan manusia yang pada awalnya tidak ada, kemudian Allah menjadikannya ada. Lalu Allah memindahkannya dari ruang khusus itu ke ruang dunia ini. Kemudian dari ruang dunia ini ke ruang tetumbuhan. Kemudian dari ruang tetumbuhan ke ruang hewani. Dari hewan ke dalam manusia, manusia ke dalam malaikat, dan begitu seterusnya tanpa akhir. Demikianlah Allah menjelaskan semua hal ini untuk menyatakan bahwa Dia mempunyai banyak kandang (ruang), di mana setiap ruangnya lebih utama dari ruang yang selanjutnya."

“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan). Mengapa mereka tidak mau beriman?” (QS. al-Insyiqaq: 19-20)

Allah menampakkan dunia ini agar kamu yakin bahwa akan datang tingkatan-tingkatan setelahnya. Allah tidak mengungkapkannya sehingga kamu bisa mengingkarinya dengan berkata:

“Ini sudah semuanya.”

Seorang guru menunjukkan kecakapan dan keahliannya sehingga para murid menjadi yakin pada mereka dan akan mengakui keahlian-keahlian lain yang belum ditunjukkan oleh sang guru. Analogi ini serupa dengan seorang raja yang hendak memutus atau menyambung sebuah hubungan. Sang raja memenuhi permintaan rakyatnya agar mereka bisa mengharapkan hal-hal yang lain nantinya, mereka menenun kain untuk dijadikan karung karena mendambakan hadiah-hadiah emas. Raja tidak melimpahkan hadiah-hadiah itu agar mereka berkata: “Ini sudah semuanya. Raja tak akan memberikan hadiah-hadiahnya yang lain,” sehingga mereka hanya puas dengan pemberian yang ada. Jika raja mengetahui rakyatnya akan berkata demikian dan percaya akan hal itu, maka raja tidak akan memberikan hadiah-hadiahnya lagi pada mereka.

Seorang zahid sejati adalah mereka yang mencari akhirat, sedangkan orang yang cinta pada dunia hanya mencari kandang. Sementara orang-orang pilihan Tuhan dan para arif tidak melihat akhirat dan juga kandang. Pandangan mereka tertuju pada sesuatu yang terjadi di awal, mereka mengetahui permulaan setiap sesuatu. Seperti seorang ahli yang menanam gandum, ia tahu yang akan tumbuh adalah gandum karena ia melihat hasil akhirnya sejak permulaan. Begitu juga seseorang yang menanam jelai (padi-padian), beras, serta tanaman-tanaman lainnya.

Ketika seseorang melihat permulaan, pandangannya tidak tertuju pada akhir. Padahal dia bisa mengetahui akhir pada permulaan itu. Jarang sekali orang yang bisa mengerti akan hal ini. Mereka yang mencari akhirat adalah para penengah ( mutawassitun ), sedang mereka yang mencari kandang adalah hewan ternak.

Derita akan menimpa setiap manusia, apapun pekerjaannya. Sebab ketika seseorang tidak menderita, tidak gila, dan tidak merindukan sesuatu, niscaya ia tak akan pernah sampai kepada-Nya. Sesuatu tidak akan didapat dengan mudah tanpa adanya derita, entah sesuatu itu berupa kesuksesan di dunia maupun di akhirat, kekayaan ataupun kekuasaan, maupun ilmu atau bintang gemintang. Seandainya Maryam tak merasakan derita saat melahirkan, maka ia tak akan pernah sampai pada pohon yang penuh berkah:

“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.” (QS. Maryam: 23)

Rasa sakit itulah yang membuat Maryam berangkat menuju pohon yang penuh berkah. Pohon yang mulanya begitu kering itu pun berubah menjadi subur dan berbuah.

Raga kita bagaikan Maryam dan kita semua memiliki seorang Isa dalam diri kita. Kalau kita merasakan sakit, maka Isa kita akan lahir. Namun jika rasa sakit tidak kita rasakan, maka Isa akan kembali ke asalnya melalui jalan rahasia yang sama yang dilaluinya, membiarkan diri kita hampa tanpa ada yang kita dapatkan darinya.

Jiwa ruhaniahmu kelaparan, sementara raga luarmu kekenyangan.

Setan makan dengan rakus sampai muntah, sementara seorang raja bahkan tak memiliki sepotong roti.

Sekarang berobatlah, karena Isa-mu sedang berada di bumi.

Ketika Isa telah kembali ke langit, maka semua harapan akan sirna.

Afdhaluddin al-Khaqani.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum