Kegagalan kognisi “anak kongkow” dalam kondisi pandemi

Pandemi covid-19 saat ini sedang menjadi isu global yang dampaknya sangat dirasakan berbagai lapisan masyarakat dan dalam berbagai bidang kehidupan. Total kasus covid di dunia pada tanggal 24 april 2020 sebanyak 2.626.321 jiwa, sedangkan di Indonesia 7.775 jiwa dan jumlah ini masih dapat terus bertambah seiring belum dinyatakanya zero case di wilayah-wilayah terpajan covid-19. Berbagai upaya dilakukan pemeritah untuk melakukan pemutusan mata rantai virus corona, mulai dari anjuran social distancing sampai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun tampaknya kesadaran masyarakat Indonesia tentang bahaya virus corona yang telah merenggut 181.938 jiwa di dunia ini masih jauh dari harapan, upaya promosi kesehatan telah dilakukan melalui berbagai media, khususnya melalui daring untuk menjangkau seluruh lapisan usia. Remaja dan pemuda sebagai konsumen internet merupakan salah satu target dari promosi kesehatan dengan menggunakan media daring.

Kongkow yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata kongko yang artinya bercakap-cakap yang tidak ada artinya, sedangkan jika diulang “kongko – kongko” kata ini memiliki makna duduk santai dengan pembicaraan yang tidak menentu ujung pangkalnya. “Anak kongkow” merupakan istilah yang sering terdengar yang ditujukan bagi remaja/ pemuda yang berkumpul bersama teman-teman untuk bercakap-cakap. Bahkan, dalam kondisi pandemic hal ini tetap dilakukan oleh banyak remaja/pemuda. Padahal, berdasarkan banyak sumber pengalaman yang terjadi di Italia banyaknya korban meninggal dunia disebabkan anak-anak muda yang pada mulanya tidak sadar dengan bahaya virus ini, sehingga menyebabkan banyaknya usia lansia dan orang-orang dengan penyakit pemberat lain yang tertular dan hal ini menyebabkan tingginya tingkat kematian di Italia.

Kegagalan kognisi menjadi asumsi yang paling dominan anak kongkow tetap kongkow/nongkrong dalam kondisi pandemi. Yustinus Semiun menyatakan dalam bukunya yang berjudul Kesehatan Mental bahwa kognisi adalah kegiatan-kegiatan mental yang diperoleh dalam memperoleh, menyimpan, mendapat kembali dan menggunakan penetahuan, dimana prosesnya meliputi sensasi dan persepsi, perhatian, ingatan, asosiasi, penilaian, pemikiran dan kesadaran . Secara singkatnya kognisi ini selain sebagai proses perkembangan mental, juga sebagai proses belajar yang dialami oleh individu. Kesuksesan proses ini akan mengantarkan pada perubahan perilaku individu kepada perilaku yang diharapkan, begitu pula sebaliknya kegagalan dalam tahap-tahap kognisi akan dilihat dari kegagalan individu dalam melakukan perubahan perilaku untuk meghadapi kondisi atau situasi tertentu.

Berita dan isu mengenai pandemi covid-19 yang mengglobal sebagai stimulus yang diterima oleh subjek dalam hal ini adalah remaja/pemuda merupakan input yang seharusnya diproses dalam proses pembelajaran subjek, sehingga isu covid-19 tidak hanya menjadi angin lalu, tetapi menjadi pengetahuan baru dan pengalaman bagi remaja/pemuda. Pada tahap selanjutnya, remaja/pemuda mampu memutuskan penilaian terhadap pengetahuan baru tentang covid-19 yang mereka terima melalui jaringan komunikasi daring misalnya, apakah hal ini baik atau buruk, apakah covid-19 ini adalah hal yang berbahaya atau tidak. Sehingga terjadi respon yang mengantarkan pada pemikiran – pemikiran untuk melakukakan tindakan-tindakan yang positif sebagai manifestasi kesadaran terhadap bahaya pandemi covid-19 ini, seperti tidak keluar rumah jika tidak penting dan tidak “kongkow” apa lagi di tempat-tempat umum yang resiko transmisi virusnya sangat tinggi.

Dalam proses kognisi yang ideal terjadi adalah sebagai mana dijelaskan di atas, namun pada kenyataannya sampai saat ini, di berbagai daerah dari kota besar sampai kampung-kampung di Indonesia nampaknya yang terjadi malah sebaliknya, imbauan pemerintah sebagai contoh larangan berkumpul dan menjaga jarak masih belum diindahkan oleh “Anak Kongkow”. Jika dianalisa kembali terjadi kegagalan mengasosiasikan fenomena-fenomena yang ada di lingkungan sekitar dan gagal dalam menentukan penilaian tentang polemik yang terjadi dilingkungannya merupakan masalah kegagalan kognisi yang dialami remaja/pemuda saat ini.

Polemik “anak kongkow” ini nampak sama di berbagai daerah, fenomena yang sama terjadi pada remaja/pemuda Indonesia yang gagal melihat sebuah masalah dihadapannya, tidak dapat menilai dan mengambil keputusan yang tepat dalam bertindak. Hal ini seharusnya dilakukan pengkajian lebih dalam tentang apa yang mempengaruhi generasi Indonesia saat ini, apa lagi jika hal ini menjadi sesuatu yang diwariskan kepada generasi selanjutnya. Bukan hannya individu yang tidak dapat berkontribusi tetapi juga peradaban yang apatis akan terbentuk jika kegagalan mental ini tidak teratasi dengan baik dan sedini mungkin. Sehingga penulis dapat mengatakan melalui tulisan ini, hari ini bukan hanya pandemi covid-19 yang sedang Indonesia hadapi tetapi juga polimik mental generasi penerusnya yang begitu nampak dengan adanya isu coronavirus.

Kegagalan kognisi yang nampak saat pandemi ini bukan hanya merupakan penyebab ketidakpatuhan terhadap imbauan pemerintah, tetapi juga penyebab dari berbagai masalah remaja/pemuda yang terjadi di Indonesia, mulai dari kasus narkoba, seks bebas, tauran, kejahatan jalanan seperti pembegalan, dan lain sebagainya. Generasi muda Indonesia nampaknya perlu dilatih bagaimana meningkatkan kepekaan masalah, mengasosiasikan fenomena sosial yang terjadi disekitannya, dan memutuskan penilaian-penilaian terhadap suatu polemik tidak hanya dituntut untuk memiliki prestasi akademik yang tinggi tetapi gagal merespon stimulus dari gejala masalah sosial yang timbul di lingkungannya.

Referensi