Kebiri Kimia Terpidana Kekerasan Seksual: Solusi atau Masalah Baru?

Baru-baru ini publik dihebohkan dengan berita belasan murid sekolah menengah dengan rentang usia 13-16 tahun dicabuli oleh gurunya sendiri. Beberapa di antaranya bahkan sudah melahirkan bayi.
Kasus ini tidak sendiri, melainkan hanya satu di antara puluhan atau bahkan ratusan kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Indonesia. Bahkan salah satu berita menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2021 ini, sudah ada 36 kasus untuk daerah Banyumas sendiri. Belum lagi bila dijumlahkan dengan kasus-kasus yang terjadi di wilayah lainnya.

Kasus-kasus ini tentunya menuai kecaman publik. Saat ini banyak orang yang menyerukan agar hukum kebiri kimia diberlakukan untuk para pelaku pelecehan anak. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tertanggal 7 Desember 2020 menjadi panduan pelaksanaan penggunaan kebiri kimia sebagai hukuman bagi terpidana yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak.Bunyi pasal 2 ayat 1 PP tersebut adalah, “Segala Tindakan Kebiri Kimia, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dikenakan terhadap Pelaku Persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," .

Meskipun banyak yang mendukung, namun PP ini dikritik keras oleh pegiat HAM yang menganggap bahwa pemberlakuan hukuman kebiri ini tidak manusiawi dan masih mengabaikan korban kekerasan seksual. Setujukah kalian bila kebiri kimia ini diterapkan? Dan benarkah penerapannya efektif untuk mencegah dan melindungi korban kekerasan seksual, khususnya anak-anak?

Kebiri Kimia adalah pemberian zat kimia berupa obat anafrodisiak yang menekan hasrat seksual laki-laki dengan menurunkan kadar testosteron melalui penyuntikan atau metode lain.Kebiri kimia merupakan hukuman yang tergolong baru di Indonesia. Hukuman ini pun tentunya menimbulkan pro dan kontra terkait pelaksanaan tindakan tersebut.

PP no 70 tahun 2020 ini dikatakan akan memberi kepastian hukum terkait implementasi teknis kebiri kimia yang dimandatkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Dan PP tersebut dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengeksekusi saat putusan pengadilan menambahkan hukuman pemberatan kebiri kimia kepada pelaku kekerasan seksual pada anak. Kebiri kimia ini digadang-gadangkan mampu memberikan efek jera dan pencegahan kepada pelaku, serta dapat mengurangi tingkat kejahatan seksual terhadap anak.

Namun saya kurang setuju atas penerapan kebiri kimia tersebut. Hal itu didasarkan pada beberapa alasan yakni :

  1. Pelaksanaan hukuman kebiri ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) , dimana HAM ini pada hakikatnya merupakan hak yang paling dasar yang dimiliki oleh semua umat manusia sebagai anugerah tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa, dimanapun manusia itu hidup, karena dengan hak-hak itu manusia dapat menjadi makhluk yang bermartabat. Hal itu tercantum dalam UUD 1945 pasal 28G ayat 2 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk bebas dari
    penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia”. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa hak tersebut bersifat konstitusional dan pemajuan, perlindungan serta pemenuhan menjadi komitmen konstitusional pula.

  2. Pelaksanaan hukum kebiri kimia hanya berorientasi pada pembalasan yang bisa membuat pelaku kehilangan kepercayaan diri untuk berkumpul kembali dengan masyarakat. Dan menurut saya hal itu tidak sesuai dengan tujuan dari pemidanaan sendiri, dimana tujuan pemidanaan itu tidak dimaksudkan untuk menderitakan manusia dan merendahkan martabat manusia. Pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat. Hukum pidana bukan lagi suatu alat untuk membalas dendam atau memberikan hukum yang seberat-beratnya terhadap pelaku.

Seperti yang kita tahu bahwa fungsi hukum pidana sendiri adalah untuk menjaga keteraturan dan kesusilaan umum serta melindungi warga dari apa yang disebut asusila atau yang merugikan dan untuk memberikan perlindungan atas eksploitasi dari pihak lain. Negara dalam menjatuhkan sanksi pidana haruslah menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Sehingga menurut saya hukumuman kebiri kimia sama sekali tidak memperhatikan asas keseimbangan, bahkan terkesan dipaksakan.

Lalu, mengenai pertanyaan apakah penerapan hukuman kebiri kimia ini efektif ?

Menurut saya penerapan kebiri kimia ini kurang efektif. Hal itu bisa kita lihat dari beberapa alasan bahwa penyebab kekerasan seksual bukan hanya bersifat medis namun juga psikologis dan sosial. Tindakan kekerasan seksual bukan hanya sekedar rusaknya alat kelamin semata.

Selain itu , menurut laporan world rape statistic tahun 2012 menunjukkan bahwa hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana perkosaan di berbagai Negara di dunia tidak efektif menimbulkan efek jera. Tidak ada bukti yang menjamin bahwa penggunaan kebiri kimia telah mengurangi jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hukuman kebiri kimia seakan telah melanggar hak asasi manusia.

KPAI juga mengingatkan bahwa tindakan kebiri kimia tidak akan efektif jika motif pelaku kejahatan dikarenakan faktor psikologis, bukan dorongan libido atau hormon dalam tubuhnya.

Menurut Nurina Savitri yaitu manajer media dan kampanye Amnesty International Indonesia mengatakan bahwa sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang mengizinkan kebiri kimia dikeluarkan oleh Presiden dan disahkan oleh DPR menjadi undang-undang pada tahun 2016, kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur meningkat lebih dari sepuluh kali lipat. Lalu menurut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat 350 kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur pada 2019, dibandingkan dengan 25 kasus pada 2016.

Oleh sebab itu menurut saya hukuman kebiri ini lebih baik untuk tidak diterapkan karena dalam pelaksanaannya pun tidaklah efektif dan bahkan malah menimbulkan permasalahan lain yaitu terlanggar HAM. Hukuman yang berlaku berdasarkan Undang-Undang tetap harus memperhatikan upaya pemulihan melalui rehabilitasi secara menyeluruh baik medis, psikologis, dan sosial dengan tetap berpedoman pada hak asasi manusia.

Kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual merupakan topik kontroversial. Beberapa menganggapnya sebagai solusi yang efektif untuk melindungi masyarakat, sementara yang lain berpendapat bahwa hal itu membawa masalah baru. Pemahaman yang mendalam diperlukan untuk mengevaluasi dampaknya secara holistik.

Pertama, kebiri kimia dapat dianggap sebagai solusi dalam konteks perlindungan masyarakat. Dengan mengurangi atau menghilangkan hasrat seksual pelaku kekerasan, risiko terjadinya kejahatan dapat menurun. Ini dapat memberikan rasa aman kepada korban dan masyarakat umum. Namun, penting untuk memastikan bahwa prosedur ini dilakukan dengan pertimbangan etika dan hak asasi manusia.

Di sisi lain, ada kekhawatiran terkait dampak psikologis dan kesehatan mental pelaku. Penerapan kebiri kimia dapat menyebabkan konsekuensi serius seperti depresi, kecemasan, atau bahkan peningkatan risiko perilaku agresif. Ini menimbulkan pertanyaan ethical dan mengajukan dilema terkait apakah sanksi semacam itu merupakan bentuk hukuman yang sesuai.

Selain itu, ada kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan sistem kebiri kimia. Mungkin saja pemberian obat tersebut tidak sesuai dengan norma hukum atau digunakan secara diskriminatif. Oleh karena itu, pengaturan yang ketat diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan melindungi hak asasi manusia pelaku.

Dalam konteks rehabilitasi, beberapa berpendapat bahwa pendekatan terapi dan reintegrasi sosial lebih baik daripada mengandalkan kebiri kimia. Menyediakan dukungan psikologis dan pelatihan keterampilan sosial dapat membantu pelaku kekerasan seksual untuk mengatasi akar masalah mereka dan kembali berkontribusi secara positif dalam masyarakat.

Sebagai kesimpulan, kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual adalah isu yang kompleks. Meskipun dapat dianggap sebagai langkah preventif, dampak psikologis, kesehatan mental, dan potensi penyalahgunaan harus diperhitungkan. Pendekatan yang seimbang dan holistik, dengan memperhatikan hak asasi manusia, adalah kunci dalam mengatasi tantangan ini.