Kebiri Kimia adalah pemberian zat kimia berupa obat anafrodisiak yang menekan hasrat seksual laki-laki dengan menurunkan kadar testosteron melalui penyuntikan atau metode lain.Kebiri kimia merupakan hukuman yang tergolong baru di Indonesia. Hukuman ini pun tentunya menimbulkan pro dan kontra terkait pelaksanaan tindakan tersebut.
PP no 70 tahun 2020 ini dikatakan akan memberi kepastian hukum terkait implementasi teknis kebiri kimia yang dimandatkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Dan PP tersebut dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengeksekusi saat putusan pengadilan menambahkan hukuman pemberatan kebiri kimia kepada pelaku kekerasan seksual pada anak. Kebiri kimia ini digadang-gadangkan mampu memberikan efek jera dan pencegahan kepada pelaku, serta dapat mengurangi tingkat kejahatan seksual terhadap anak.
Namun saya kurang setuju atas penerapan kebiri kimia tersebut. Hal itu didasarkan pada beberapa alasan yakni :
-
Pelaksanaan hukuman kebiri ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) , dimana HAM ini pada hakikatnya merupakan hak yang paling dasar yang dimiliki oleh semua umat manusia sebagai anugerah tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa, dimanapun manusia itu hidup, karena dengan hak-hak itu manusia dapat menjadi makhluk yang bermartabat. Hal itu tercantum dalam UUD 1945 pasal 28G ayat 2 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia”. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa hak tersebut bersifat konstitusional dan pemajuan, perlindungan serta pemenuhan menjadi komitmen konstitusional pula.
-
Pelaksanaan hukum kebiri kimia hanya berorientasi pada pembalasan yang bisa membuat pelaku kehilangan kepercayaan diri untuk berkumpul kembali dengan masyarakat. Dan menurut saya hal itu tidak sesuai dengan tujuan dari pemidanaan sendiri, dimana tujuan pemidanaan itu tidak dimaksudkan untuk menderitakan manusia dan merendahkan martabat manusia. Pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat. Hukum pidana bukan lagi suatu alat untuk membalas dendam atau memberikan hukum yang seberat-beratnya terhadap pelaku.
Seperti yang kita tahu bahwa fungsi hukum pidana sendiri adalah untuk menjaga keteraturan dan kesusilaan umum serta melindungi warga dari apa yang disebut asusila atau yang merugikan dan untuk memberikan perlindungan atas eksploitasi dari pihak lain. Negara dalam menjatuhkan sanksi pidana haruslah menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Sehingga menurut saya hukumuman kebiri kimia sama sekali tidak memperhatikan asas keseimbangan, bahkan terkesan dipaksakan.
Lalu, mengenai pertanyaan apakah penerapan hukuman kebiri kimia ini efektif ?
Menurut saya penerapan kebiri kimia ini kurang efektif. Hal itu bisa kita lihat dari beberapa alasan bahwa penyebab kekerasan seksual bukan hanya bersifat medis namun juga psikologis dan sosial. Tindakan kekerasan seksual bukan hanya sekedar rusaknya alat kelamin semata.
Selain itu , menurut laporan world rape statistic tahun 2012 menunjukkan bahwa hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana perkosaan di berbagai Negara di dunia tidak efektif menimbulkan efek jera. Tidak ada bukti yang menjamin bahwa penggunaan kebiri kimia telah mengurangi jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hukuman kebiri kimia seakan telah melanggar hak asasi manusia.
KPAI juga mengingatkan bahwa tindakan kebiri kimia tidak akan efektif jika motif pelaku kejahatan dikarenakan faktor psikologis, bukan dorongan libido atau hormon dalam tubuhnya.
Menurut Nurina Savitri yaitu manajer media dan kampanye Amnesty International Indonesia mengatakan bahwa sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang mengizinkan kebiri kimia dikeluarkan oleh Presiden dan disahkan oleh DPR menjadi undang-undang pada tahun 2016, kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur meningkat lebih dari sepuluh kali lipat. Lalu menurut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat 350 kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur pada 2019, dibandingkan dengan 25 kasus pada 2016.
Oleh sebab itu menurut saya hukuman kebiri ini lebih baik untuk tidak diterapkan karena dalam pelaksanaannya pun tidaklah efektif dan bahkan malah menimbulkan permasalahan lain yaitu terlanggar HAM. Hukuman yang berlaku berdasarkan Undang-Undang tetap harus memperhatikan upaya pemulihan melalui rehabilitasi secara menyeluruh baik medis, psikologis, dan sosial dengan tetap berpedoman pada hak asasi manusia.