Kapan kita memilih untuk memindahkan resiko (Risk Transfer) ?

Risk Responses Planning adalah proses yang dilakukan untuk meminimalisasi tingkat resiko yang dihadapi sampai batas yang diterima. Plan Risk response menentukan tindakan respon yang efektif dan sesuai denfan prioritas dari individual risiko dan seluruh risiko projek. Tujuan dan objektif dari perencanaan proses respon terhadap risiko yaitu untuk menentukan serangkaian tindakan yang paling meningkatkan peluang keberhasilan proyek sekaligus mematuhi berlaku kendala organisasi dan proyek dan bertanggung jawab untuk pemantauan kondisi projek dan implementasi tindakan yang jelas. Teknik yang diterapkan salah satunya adalah risk transfer.

Lalu kapan saatnya kita memilih untuk melakukan transfer risiko ?

Telah kita ketahui bahwa terdapat begitu banyak risiko yang terdapat dalam proyek terlebih pada proyek konstruksi. Risiko proyek yang tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan proyek menjadi gagal. Risiko proyek harus dikendalikan berdasarkan level dan prioritasnya. Pengendalian risiko akan membuat tim proyek percaya diri dalam melaksanakan proyek. Tim proyek tak perlu terlalu pusing jika risiko terjadi karena telah diantisipasi.

Dalam menangani risiko ada suatu kaidah penting yaitu bahwa risiko harus dipahami sebagai suatu hal yang alamiah terjadi. Risiko akan lebih baik diindentifikasi seawal mungkin berdasarkan fase siklus hidup proyek. Di samping itu bahwa risiko haruslah diantisipasi. Dalam hal antisipasi risiko, faktor yang paling penting adalah mengalokasi risiko yang telah diidentifikasi secara sesuai kepada pihak-pihak yang paling mampu untuk mengatasinya. Inilah strategi penanganan risiko yang paling jitu selama ini yang dikenal dengan istilah risk transfer.

Risk transfer adalah suatu proses yang mengalihkan risiko yang telah diidentifikasi kepada pihak lain yang terlibat dalam pelaksanaan suatu proyek. Seperti yang telah disebutkan bahwa prinsip utama dalam mengalihkan risiko adalah dengan memperhatikan kesesuaian atau kemampuan pihak-pihak yang terlibat yang akan menerima risiko tersebut. Kenapa? Karena memang pada dasarnya risiko sudah memiliki tuannya sendiri. Menempatkan risiko tidak pada tuan yang sebenarnya, akan berdampak pada tidak terkendalikannya risiko tersebut atau risiko tersebut akan kembali lagi pada tuannya yang sebenarnya.

Contoh sederhana adalah pada kasus keterlambatan pembayaran oleh owner kepada kontraktor. Seringkali owner memaksakan diri membayar selama mungkin dalam klausa term of payment di kontrak. Jika pembayaran yang normal adalah setiap bulan dan dilaksanakan H+7 hari setelah kuitansi pembayaran diterima, biasanya owner menawar dengan H+30 hari atau bahkan H+45 hari. Padahal kita ketahui bahwa kontraktor adalah perusahaan jasa konstruksi dan bukanlah perusahaan jasa keuangan. Sehingga term of payment tersebut akan dihitung kontraktor sebagai biaya atau cost of money. Bunga akibat lambatnya proses pembayaran akan diperhitungkan. Jika owner berharap akan mendapatkan bunga deposito dengan menahan pembayaran ke kontraktor, maka ini berlaku sebaliknya karena kontraktor akan memperhitungkan bunga dalam bentuk bunga pinjaman. Pada akhirnya biaya tersebut kembali lagi ke owner dan bahkan dalam bentuk yang lebih besar. Risiko akhirnya kembali pada tuannya karena risiko pembayaran adalah tanggung jawab owner bukan kontraktor.

Contoh lain adalah pada kasus kenaikan harga atau inflasi. Seringkali di kontrak, owner membuat draft kontrak bahwa kenaikan harga sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor, apapun alasannya. Kita ketahui bahwa kenaikan harga material bukanlah dibawah kendali kontraktor. Ini perlu ditegaskan karena ada beberapa pelaku proyek yang pernah mengatakan bahwa kontraktor adalah pihak yang telah mengetahui informasi kenaikan harga material. Ini pendapat yang perlu diluruskan. Kalaupun kontraktor mengetahui, belum tentu tahu berapa besaran kenaikan harga tersebut. Jika klausul kontrak tersebut tidak dapat diubah, maka kontraktor akan mengasumsikan dengan asumsi yang paling aman atas kemungkinan kenaikan harga material yang seringkali menjadi terlalu tinggi. Akibatnya, harga menjadi terlalu tinggi. Siapa yang menanggung harga tersebut, jawabnya adalah owner. Sekali lagi risiko akan kembali pada tuannya yang sebenarnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, perlu bagi kita untuk berlaku bijaksana mengenai alokasi risiko. Pihak-pihak yang terlibat dalam proyek haruslah paham mengenai prinsip tersebut. Alokasi risiko haruslah diberikan pada pihak yang paling mampu untuk mengendalikan risiko tersebut atau dalam bahasa sederhana bahwa risiko harus dikembalikan kepada tuannya. Kesalahan dalam melakukan alokasi risiko akhirnya akan berdampak pada kerugian yang seringkali lebih besar. Jika risiko tersebut aspeknya adalah biaya, maka biaya yang muncul tersebut bisa dikatakan hidden cost yang tidak disadari. Dapat disimpulkan bahwa menempatkan risiko kepada pihak yang tepat akan membuat biaya pelaksanaan menjadi lebih murah.

Referensi :