Kata Syi‟ah menurut bahasa adalah pendukung atau pembela. Syiah Ali adalah pendukung atau pembela Ali. Syiah Mu‟awiyah adalah pendukung Mu‟awiyah. Pada zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman kata Syiah dalam arti nama kelompok orang Islam belum dikenal. Kalau pada waktu pemilihan khalifah ketiga ada yang mendukung Ali, tetapi setelah ummat Islam memutuskan memilih Utsman bin Affan, maka orang-orang yang tadinya mendukung „Ali, berbaiat kepada Utsman termasuk Ali. Jadi belum terbentuk secara faktual kelompok ummat Islam Syiah.
Maka ketika terjadi pertikaian dan peperangan antara Ali dan Mu‟awiyah, barulah kata “Syiah” muncul sebagai nama kelompok ummat Islam. Tetapi bukan hanya pendukung Ali yang yang disebut Syiah, namun pendukung Muawiyah juga disebut Syiah Mu‟awiyah.
Kata Syi‟ah menurut Istilah atau terminologis bahwa Syiah spesifik dengan Amirul Mukminin (Ali bin Abi Tholib), yang membelanya serta sumpah setia kepadanya, begitu pula percaya serta beri‟itiqat terhadap keimamahannya sesudah Rosululloh,2tanpa suatu pembatas (artinya langsung setelah Rosulullah) dan menolak kepemimpinan (keimamahan) siapa saja yang menjadi kholifah sebelumnya (yaitu Abu bakar, Umar dan Utsman).
Kepemimpinan umat Islam dan siapa yang menjadi pengganti Rasulullah SAW menjadi awal permasalahan dan menjadi polemik pertarungan antar umat Islam saat itu, karena adanya firqah-firqah yang saling memperebutkan bangku-bangku kekhalifahan, diantaranya kaum Muhajirin dan kaum Syiah yaitu kelompok Ali Bin Abi Tholib, yang membawa calon masing untuk menjadikan khalifah Al-Rasul.
Syiah adalah mazhab politik yang pertama lahir dalam Islam. Seperti telah disinggung, mazhab mereka tampil pada akhir masa pemerintahan Utsman, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali. Setiap kali Ali berhubungan dengan masyarakat, mereka semakin mengagumi bakat-bakat, kekuatan beragama, dan ilmunya. Karena itu, para propagandis Syiah mengeksplorasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka tentang dirinya.
Latar belakang kemunculan Syiah
Golongan Syiah muncul pada akhir masa khalifah ketiga, Utsman kemudian tumbuh dan berkembang pada masa khalifah Ali. Ali sendiri tidak pernah berusaha untuk mengembangkannya, tetapi bakat-bakat yang dimilikinya telah mendorong perkembangan itu. Ketika Ali wafat perkembangan ke-Syiah-an itu menjadi mazhab-mazhab. Sebagiannya menyimpang dan sebagian lainnya lurus. Namun, keduanya sama-sama fanatik terhadap keluarga Nabi.
Biang keladi timbulnya Syiah adalah seorang Yahudi dari Yaman, bernama Abdullah bin Saba‟. Ia masuk Islam pada zaman khalifah ketiga Utsman bin Affan. Ia berkeinginan untuk mendapat kepercayaan dan kedudukan istimewa dalam pemerintahan Utsman, tetapi hal itu tidak terlaksana.
Para ahli sejarah menggambarkan bahwa Abdullah bin Saba‟ menunjukkan keheranannya terhadap umat Islam yang percaya akan kedatangan kembali Nabi Isa ke dunia. Tetapi mereka tidak bahwa Nabi Muhammad akan kembali hidup lagi di dunia ini, padahal Muhammad lebih utama daripada Nabi Isa dan nabi-nabi lainnya.5 Sedikit sekali orang yang mengetahui tenang Abdullah bin Saba‟ dan madzhabnya. Dalam karangan Syiah Abdullah bin Saba‟ tidak dikenal, dan orang-orang Syiah menyatakan berlepas tangan tentang ucapan dan amalannya.
Menurut ajaran Syiah ada beberapa catatan yang mendorong timbulnya golongan ini, yaitu kejadian-kejadian pada masa awal munculnya pertumbuhan Islam. Selanjutnya, selama dua puluh tiga masa kenabian, telah menimbulkan berbagai keadaan yang meniscayakan munculnya kelompok semacam kaum Syiah di antara para sahabat Nabi.
Pada hari-hari pertama kenabiannya, sesuai dengan ayat al-Quran, ketika dia diperintahkan untuk mengajak kerabat terdekatnya untuk memeluk agamanya, Nabi Muhammad saw menjelaskan kepada mereka bahwa siapa pun yang pertama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Ali adalah yang pertama tampil ke depan dan memeluk Islam. Nabi menerima penyerahan diri Ali dan kemudian memenuhi janjinya.
Bagi kaum Syiah, bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa tentang Ghadir Khumm. Kaum Syiah berkeyakinan bahwa sebenarnya Nabi telah menunjuk calon penggantinya, dan calon tersebut adalah Ali. Menurut mereka penunjukan tersebut dilakukan Nabi dalam perjalanannya kembali dari haji wada’, pada tanggal delapan belas Dzulhijjah tahun kesebelas Hijriah (623 M.) di suatu tempat yang benama Ghadir Khumm (Kolam Khum), dimana Nabi telah membuat pernyataan bersejarah yang telah diriwayatkan dalam berbagai versi.10
Menurut Abdurrahman Navis dkk, mengutip Abdul Mun‟im al-Hafni, Kelompok Syiah muncul sebagai pengaruh dari agama Yahudi. Sebagian orang, bahkan mengatakan bahwa kelompok Syiah adalah Yahudinya kaum Muslimin. Hal ini disebabkan karena mereka sangat membenci Islam sebagaimana orang-orang Yahudi sangat membenci Nasrani. Mereka masuk Islam bukan karena ingin mencari ridha Allah SWT, melainkan karena ingin menyebarkan kerusakan, fitnah dan perpecahan di tubuh kaum Muslimin, serta menanamkan keraguan atas keimanan di hati kaum Muslimin. Mereka berkata seperti pekataan orang-orang Yahudi, “tidak ada kekuasaan kecuali pada keluarga nabi”, sebagaimana kaum Yahudi berkata, “tidak ada kekuasaan kecuali pada keluarga Dawud”. Syiah sebagai salah satu sekte, pada dasarnya lahir dari kekacauan yang terjadi di tubuh umat Islam periode awal, yang direkayasa oleh Yahudi.
Perkembangan Paham Syiah di Indonesia
Syiah mendapat pengikut yang besar terutama pada masa Dinasti Amawiyah. Hal ini menurut Abu Zahrah merupakan akibat perlakuan kasar dan kejam Dinasti ini terhadap Ahlul Bait sebagai contoh Yazid Ibn Mu‟awiyah memerintahkan pasukannya yang dipimpin oleh Ibn Ziyad, untuk memenggal kepala Ali di Karbala. Dalam sejarah disebutkan bahwa setelah kepala Ali dipenggal lalu dibawa ke hadapan Yazid Ibn Mu‟awiyah memukul-mukulkan tongkatnya pada kepala cucu Rasulullah saw, yang pada waktu kecil sering diciumi oleh Rasulullah.
Kekejaman seperti yang digambarkan di atas, menyebabkan sebagian kaum Muslimin menaruh simpati terhadap tragedi Ahlul Bait atau keluarga Rasul dan tertarik untuk mengikuti mazhab Syiah, atau menaruh simpati yang mendalam terhadap tragedi yang menimpa Ahlu Al-Bait.
Menurut para ahli sejarah, peristiwa kesyahidan Husain di Karbala inilah penyebab utama terbentuknya Syiah secara hakiki, sejak tragedi ini sebutan Syiah tidak lagi dirangkaikan dengan nama-nama tertentu seperti sebelummya, syiah Ali, Syi’ah Husain , tetapi cukup dengan Syiah saja dan sebagai bukti hal tersebut timbul perlawanan terhadap penguasa seperti gerakan: At-Tawwabut, Kaisaniah .
Dalam perkembangan selanjunya, Syiah selain memperjuangkan hak kekhalifahan Ahlul Bait di hadapan Amawiyah dan Abbasiyah, juga menggambarkan doktrin-doktrinya sendiri. Berkaian dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yakni Tauhid (kepercayaan terhadap keesaan Allah); Nabuwwah (kepercayaan kepada kenabian); Ma’ad (kepercayaan akan adanya kehidupan akhirat); Imamah (kepercayaan akan adanya imamah yang merupakan hak ahl al-bait); dan Adl (Keadilan Ilahi).
Belum ada pendapat yang benar-benar bisa dipercaya kapan masuk paham Syiah di Indonesia. Namun bila dilihat dari sejarah dan kejadiannya beberapa abad yang lalu paham Syiah masuk ke Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik negara asalnya Syiah yaitu Iran. Sejak runtuhnya Syah Reza Pahlevi pada tahun 1979 dengan melalui sebuah revolusi besar-besaran yang dipimpin oleh Khomeini. Mulai saat itulah paham Syiah mulai menyebar ke seluruh dunia khususnya Indonesia.
Keberhasilan seorang ulama (Khumeini) dalam menjatuhkan rezim Pahlevi yang mempunyai kekuatan militer nomor lima di dunia hanya dengan ceramah-ceramahnya dari suatu tempat yang jauh dari terpencil di Prancis.
Sehingga menggugah para Intelektual untuk mengetahui lebih jauh tentang mazhab Syiah tersebut.
Khomeini sebagai tokoh sentral revolusi pada saat itu mempunyai pandangan yang berbeda tentang kekuasaan (pemerintahan) yang disebutkannya dengan istilah wilayah al-fiqih. Dalam hal ini menurut Attamimy dalam pandangan Khomeini, islam bukan hanya agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga agama yang penuh dengan keadilan dan kebenaran bagi kemanusiaan orang per orang atau masyarakat.
Bahkan menurut Khomeini, Islam juga merupakan agama yang ingin melakukan pembebasan dari setiap bentuk penindasan yang dilakukan. Bukan seperti kebanyakan para ulama yang membicara nikmat surga dan siksa neraka. Ia lebih banyak membicarakan tentang kesadaran umat dalam beragama, disiplin diri dan sebab-sebab kemunduran dalam Islam.
Sebagai sebuah gerakan atau kelompok paham Syiah di Indonesia dapat disebutkan memulai perkembangannya pasca revolusi Iran pada tahun 1979. Memanfaatkan momentum kelahiran Iran sebagai “negara Syiah” yang menggunakan Islam sebagai dasar perjuangannya, Syiah di dunia Islam tidak terkecuali Indonesia mulai berani menunjukkan jati dirinya.
Gerakan-gerakannya pun mulai tersusun secara sistematis dalam kerangka kelembagaan atau organisasi-organisasi yang pahamnya berafiliasi terhadap Syiah. Hanya saja, ini tidak berarti bahwa sebagai sebuah paham, Syiah baru ada pasca 1979. Beberapa pakar sejarah bahkan justru meyakini bahwa orang Syiah lah yang pertama kali menyebarkan Islam di Nusantara.15
Jalaluddin Rahmat mengemukakan tiga teori terkait cara Syiah masuk ke Indonesia.
-
Pertama , Syiah dibawa oleh penyebar Islam awal yang datang ke Indonesia dan ber-taqiyyah dengan menjalankan mazhab Syafi‟i. Mereka menampakkan Syafi‟i di luar, namun Syiah di dalam. Asumsi ini didukung dengan ditemukannya akulturasi aspek-aspek Syiah pada mazhab Syafi‟i di Indonesia yang tidak ditemukan di tempat lain.
-
Kedua , Syiah tidaklah datang pada Islam periode awal adalah ulama Sunni yang membawa Islam ke Indonesia. Syiah baru datang kemudian melalui praktek-praktek mistik dan sufistik.
-
Ketiga , Syiah baru datang ke Indonesia setelah Revolusi Iran pada tahun 1979 melalalui buku-buku tentang filsafat atau pergerakan yang ditulis tokoh-tokoh Syiah Iran.
Imam & Kitab Syiah
Mereka sepakat bahwa para nabi dan imam Syiah adalah ma’sum (terhindar dari perbuatan dosa), baik dari dosa kecil maupun dosa besar. Selain itu, mereka juga sepakat bahwa tawalli (menolong para imam) dan tabarri (meninggalkan musuh-musuhnya) adalah wajib hukumnya, baik dilakukan dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Dalam hal ini, sebagian pengikut kelompok Syiah Zaidiyyah tidak sependapat dengan mereka.
Kaum Syiah berkeyakinan bahwa keduabelas orang Imam tersebut adalah sebagai berikut: