Jalan Kefakiran

Taman Surga

Hisamudin Arzanjani, sebelum berkhidmat pada orang-orang fakir dan tinggal bersama mereka, dikenal sebagai seorang pendebat ulung. Ke mana pun dia pergi, dia selalu menyibukkan diri dengan argumentasi dan perdebatan ilmiah. Dia terkenal sebagai orang yang baik ucapan dan perbuatannya. Namun ketika dia berada di lingkungan para darwis, kesenangannya itu tiba-tiba sirna.

Tidak ada yang memutus cinta kecuali cinta yang lainnya. Lantas kenapa kamu tidak mencari teman yang lebih utama?

“Barang siapa yang ingin berkumpul bersama Allah, maka berkumpullah dengan para ahli tasawuf…”

Berbagai ilmu logika ini hanya cocok dengan keadaan kaum fakir, ia adalah sebuah permainan dan penyia-nyiaan umur belaka.

“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau belaka.” (QS. Muhammad: 36)

Ketika manusia sudah mencapai masa balig dan berakal sempurna, ia tidak akan bermain-main lagi. Jika harus bermain— karena rasa malu yang begitu dalam—ia akan segera menjauh dari segala mata yang memandang hingga tak seorang pun melihatnya. Ilmu, desas-desus dan kegilaan duniawi ini seperti angin, sedang manusia laksana debu, jika angin bertemu dengan debu lalu menempel ke mata tentu itu akan sangat memerihkan, dan keberadaannya hanya akan mengganggu dan menyulitkan kita. Meskipun manusia ibarat debu, tapi ketika mendengar suatu kalimat, ia akan menangis hingga air matanya seperti air yang melimpah.

“Kamu lihat mata-mata mereka banjir dengan air mata disebabkan karena kebenaran (al-Qur’an) yang telah mereka ketahui.” (QS. al-Maidah: 83)

Sebaliknya, jika air hujan turun membasahi debu sebagai ganti dari angin, maka tentu keadaannya akan berbeda. Tidak diragukan lagi bahwa ketika debu bertemu air, maka buah-buahan, sayur- sayuran, kembang yang harum dan bunga violet akan tumbuh bermekaran.

Jalan kefakiran adalah jalan yang akan membawamu menggapai cita-citamu. Apa pun yang kamu inginkan akan kamu peroleh di jalan ini; kehancuran bala tentara, kemenangan atas musuh-musuhmu, mendapatkan kerajaan, membawa semua makhluk kepada Tuhan, unggul atas para sahabat, serta lisan yang fasih. Semua itu bisa kamu raih di jalan kefakiran. Tak ada seorang pun yang berkeluh kesah ketika menyusuri jalan ini. Berbeda dengan jalan-jalan lain yang terkadang hanya akan menyampaikannya ke satu tujuan dari seratus ribu tujuan, dan itu pun belum tentu mereka menemukan kebahagiaan dan kedamaian. Karena setiap jalan memiliki sebab dan alternatif yang berbeda-beda untuk sampai ke tujuan itu. Seseorang tidak akan memperoleh tujuannya selain dengan menempuh jalan alternatif itu. Sedang lintasannya panjang, penuh dengan berbagai rintangan dan halangan, dan tidak jarang berbagai rintangan itu akan menggagalkan hasratmu.

Akan tetapi ketika kamu sudah masuk ke alam kefakiran dan berusaha untuk menjalaninya, Allah akan menganugerahimu kerajaan serta kenikmatan dunia yang tidak pernah kamu bayangkan, sampai-sampai kamu akan merasa malu dengan apa yang pernah kamu angan-angankan sebelumnya, kamu akan berkata: “Ah, dengan adanya sesuatu semacam ini, bagaimana bisa dulu aku mengejar sesuatu yang hina itu.” Tetapi Allah berfirman:

“Seandainya kamu berpaling dari sesuatu yang kamu kejar-kejar itu dan memaafkan dirimu serta mengucilkannya, maka semuanya akan baik-baik saja. Seandainya mereka melintas dalam pikiranmu dan kamu meninggalkannya demi Aku semata, ketahuilah bahwa kemulian-Ku adalah tidak terbatas, dan Aku akan menjadikan sesuatu itu berada dalam genggamanmu.”

Inilah yang terjadi pada Rasulullah Saw. Sebelum beliau memperoleh keinginannya dan meraih kemasyhurannya, beliau tertarik dengan kefasihan dan kedewasaan orang Arab. Ia pun berharap untuk memiliki kemampuan itu. Namun saat alam ghaib disingkapkan kepada beliau sehingga membuatnya cenderung pada kebenaran, hatinya berpaling drastis dari ketertarikannya itu.

Allah SWT berfirman:

“Telah Kuberikan engkau kefasihan dan kedewasaan yang kamu cari sebelumnya.”

“Ya Allah, manfaat apa yang akan aku peroleh darinya? Aku tidak mengharapkan dan menginginkannya lagi,” jawab Rasulullah.

Allah menjawab:

“Jangan bersedih. Hal itu juga akan terjadi, ketiadaan perhatianmu akan terus bertahan dan tidak akan menyakitimu.”

Allah akan memberinya ucapan yang membuat seluruh alam, dari masa Nabi sampai sekarang, terus menerbitkan banyak catatan untuk mensyarahinya. Ucapan itu akan terus bertahan, tapi manusia tidak akan pernah mampu menangkap makna hakiki dari ucapan itu. Allah juga berfirman:

“Para sahabatmu—disebabkan karena kelemahan dan kekhawatiran mereka atas kehidupannya serta karena adanya orang-orang hasud—akan terus menyebut namamu dengan lirih di telinga. Tapi Aku akan mengumumkan keagunganmu hingga manusia mampu melantangkan suaranya dengan nada yang syahdu, lima kali sehari di atas tempat-tempat azan yang tinggi, di seluruh pelosok-pelosok negeri, dan namamu menjadi masyhur dari timur hingga ke barat.”

Sekarang, setiap orang yang menyusuri jalan kefakiran ini, maka semua tujuan agamawi maupun duniawi mereka akan menjadi mudah, dan tak seorang pun akan ragu lagi dengan jalan ini.

Semua kata yang kita ucapkan adalah sebuah kritikan, dan kata yang diucapkan oleh orang sesudah kita hanyalah sebuah penukilan belaka. Yang kedua adalah cabang dari yang pertama. Kritikan ibarat telapak kaki manusia yang nyata, sedang penukilan layaknya cetakan kayu yang mencetak gambar kaki manusia. Telapak kaki kayu itu diambil dari telapak kaki yang asli, ukurannya pun diambil dari sana. Jika di dunia ini tidak ada telapak kaki, dari mana mereka bisa tahu ukuran cetakan itu? Oleh karenanya, karena sebagian ucapan adalah kritikan dan sisanya adalah penukilan, maka yang satu menyerupai yang lainnya. Seharusnya di antara keduanya ada pembeda agar bisa diketahui mana yang kritikan dan mana yang penukilan, dan pembeda itu adalah keimanan, bukan kekufuran.

Tidakkah kamu lihat di zaman Fir’aun dulu, saat tongkat Musa berubah menjadi ular, demikian pula dengan tongkat dan tali para penyihir, setiap orang yang tidak punya daya pembeda (keimanan) akan menganggap bahwa keduanya adalah satu macam. Sedangkan orang yang memiliki pembeda akan mengetahui mana yang sihir dan mana yang berasal dari kebenaran. Dengan upaya pembedaan ini, dia akan merasa aman. Dengan demikian, kita bisa meyakini bahwa iman merupakan daya pembeda.

Bagaimanapun juga, sumber dari ilmu Fiqh adalah wahyu. Namun saat ia bercampur aduk dengan berbagai pemikiran dan hal yang bersifat inderawi serta beragam campur tangan manusia, kelembutannya menghilang. Pada saat itu, bagaimana mungkin ia bisa serupa dengan kelembutan wahyu?

Ini seperti air sungai yang mengalir menuju kota. Di sana, di tempat sumber mata airnya, lihatlah betapa jernih dan lembutnya air itu? Tapi ketika air itu sudah memasuki kota dan melewati berbagai kebun, tempat-tempat umum dan tempat tinggal penduduk kota, ada banyak manusia yang mencuci tangan, wajah, kaki dan seluruh anggota tubuh mereka, serta pakaian dan karpet yang mereka miliki di air itu. Tak ketinggalan air kencing penduduk, kotoran kuda dan keledai bercampur di dalamnya. Lihatlah air itu saat ia mengalir di sisi yang lain. Meskipun ia masih tetap air yang sama, yang mengubah debu menjadi tanah liat, bisa menyegarkan dahaga, dan menyulap padang gersang menjadi padang rumput nan hijau, namun di sana harus ada daya pembeda untuk mengetahui apakah kelembutan dibalik air itu telah hilang dan sesuatu yang tidak baik telah mengotorinya.

“Orang Mukmin adalah orang yang cerdas, bisa membedakan, cerdik dan berakal.”

Orang tua yang selalu disibukkan dengan urusan duniawi tidak akan bisa bertindak rasional. Meskipun umurnya sudah seratus tahun, dia tetaplah seorang bocah yang tidak berpikir dewasa. Sementara seorang anak kecil yang tidak disibukkan dengan urusan duniawi, sejatinya dia adalah orang tua. Karena pada posisi inilah pertimbangan umur tidak dianggap lagi.

“Air yang tidak berubah rasa dan baunya [QS. Muhammad: 15].

Air itulah yang dicari. Karena hanya air yang tidak berubah yang bisa membersihkan segala kotoran di alam semesta, dan ia tidak bisa dicampuri oleh apa pun. Ia menjaga kejernihan dan kelembutannya. Ia tidak akan rusak di meja perjamuan dan tidak akan berubah. Itulah air kehidupan.

Seseorang yang menjerit dan menangis sewaktu salat, batalkah salatnya? Jawaban dari pertanyaan ini perlu diperinci. Jika ia menangis karena ia menyaksikan alam yang tidak bisa dilihat pancaindera, maka ini disebut ma’ul ‘aini (mata air). Jika dia melihat sesuatu dari jenis salat ketika dirinya hendak menyempurnakan salatnya, maka itulah tujuan dari salat sehingga salatnya menjadi benar dan lebih sempurna. Sebaliknya, jika dia menangisi dunia, menangisi musuh yang mengalahkannya, atau karena iri kepada orang yang dianugerahi kelimpahan harta oleh Allah saat ia tidak memiliki apa-apa, maka shalatnya menjadi cacat, berkurang dan batal.

Dari penjelasan di atas, bisa dipahami bahwa iman adalah pembeda, yang membedakan antara hak dan batil, antara naqd dan naql. Setiap orang yang tidak memiliki pembeda akan terhalang dari tujuannya. Kata-kata ini akan bermanfaat bagi orang yang memiliki pembeda, tapi tidak akan bernilai apa-apa bagi mereka yang tidak memilikinya. Sebagai contoh, dua orang yang berakal dan cakap datang dari kota untuk mengunjungi dan menyaksikan orang yang tinggal di desa. Namun karena kebodohannya, orang- orang desa mengatakan sesuatu yang tidak disukai oleh kedua orang tersebut sehingga kesaksiannya tidak menghasilkan apa-apa dan hanya menyia-nyiakan usaha mereka. Sebenarnya orang desa itu punya kesaksian, tapi karena mereka dikuasai oleh keadaan mabuk dan raganya terhuyung-huyung, mereka tidak berpikir apakah di sana ada pembeda atau tidak, apakah ia pantas berkata begitu atau tidak. Akhirnya ucapannya itu hanya menjadi bualan saja. Laksana seorang perempuan yang buah dadanya dipenuhi air susu hingga ia merasa sakit. Tiba-tiba berkumpullah anjing-anjing di sekitarnya lalu tumpahlah air susunya itu.

Jika kata-kata ini jatuh ke tangan orang yang belum tamyiz, maka hal ini ibarat meletakkan mutiara yang berharga di tangan anak kecil yang tidak tahu kadarnya. Ketika anak ini lengah, kita bisa meletakkan sebuah apel di tangannya dan mengambil mutiara yang ada di tangannya dengan mudah karena anak itu belum memiliki daya pembeda. Begitulah, daya pembeda adalah kenikmatan yang begitu tinggi.

Saat Abu Yazid al-Busthami masih kecil, ayahnya memasukkannya ke sekolah untuk belajar ilmu hukum. Ketika ia mendatangi guru hukum, ia bertanya:

“Apakah ini hukum Allah?”

Gurunya menjawab:

“Ini hukum Abu Hanifah.”

Abu Yazid menimpali:

“Yang aku inginkan adalah hukumnya Allah.”

Ketika dia mendatangi guru tatabahasa, ia berkata:

“Apakah ini tatabahasanyaAllah ?”

Gurunya menjawab:

“Ini tatabahasanya Imam Sibawaih.”

Lalu Abu Yazid menimpali:

“Aku tidak menginginkannya.”

Setiap kali Abu Yazid pergi ke suatu tempat, ia menanyakan hal yang sama, sampai akhirnya orangtuanya tak mampu melakukan apa-apa lagi dan membiarkannya. Pada saat Abu Yazid mengembara ke Baghdad dengan tujuan serupa dan melihat al-Junaid, dengan spontan ia berteriak:

“Inilah hukum Allah.”

Bagaimana mungkin si janin tidak mengetahui ibunya yang darinya ia mengisap susu? Semua itu terlahir dari akal dan tamyiz. Jadi, lupakanlah bentuk.

Ada seorang syekh yang biasa membiarkan para pengunjungnya berdiri dengan tangan dilipat sebagai bentuk penghormatan. Mereka bertanya:

“Syekh, mengapa tidak kau biarkan saja orang-orang ini duduk? Ini bukanlah kebiasaan para darwis, melainkan kebiasaan para menteri dan raja-raja.”

Syekh menjawab:

“Tidak, diamlah. Aku hanya ingin membuat mereka mengagungkan cara ini, sehingga mereka bisa menikmatinya. Meskipun penghormatan itu ada di hati, tapi bentuk luar adalah tanda dari apa yang ada di hati.” Apa artinya tanda? Dengan tanda, dari sebuah surat dapat diketahui penulisnya dan ke mana tujuannya. Dari tanda kitab, kita bisa mengetahui bab-bab dan pasal-pasal yang ada di dalamnya. Dengan menundukkan kepala serta berdiri tanpa alas, bisa dilihat bagaimana bentuk pengagungan dalam hati mereka dan bagaimana cara mereka mengagungkan Allah. Jika mereka tidak menampakkan penghormatan dari luar, bisa dimaklumi jika hati mereka jelek dan tidak mampu menghargai pionir-pionir Allah.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum