Isolasi Diri COVID-19: Apa Dampak Negatifnya terhadap Kesehatan Mental Manusia?

Manusia sebagai makhluk sosial dapat diartikan sebagai makhluk yang akan selalu membutuhkan manusia lain untuk melakukan kegiatan-kegiatannya. Namun, kebutuhan manusia untuk hidup secara bersama-sama tersebut menjadi semakin sulit untuk diwujudkan semenjak pandemic Virus Corona (COVID-19) muncul. Virus yang sangat mudah menyebar dari seseorang ke orang lain melalui butiran-butiran kecil atau droplets yang keluar dari hidung atau mulut manusia memaksa seluruh negara di muka bumi ini untuk mengambil tindakan drastis dalam rangka menanggulangi penyebaran wabah berbahaya tersebut. Penanggulangan Virus Corona yang dianggap paling ampuh oleh segenap organisasi kesehatan seperti Centers for Disease Control and Prevention (CDC) adalah melalui kegiatan “social distancing” atau physical distancing, di mana kegiatan tersebut dapat diartikan sebagai tindakan untuk menjaga jarak antara seseorang dengan orang lain di luar rumah orang tersebut. Secara tidak langsung, kegiatan tersebut memaksa seluruh manusia yang hidup di muka bumi ini untuk mengisolasi dirinya sendiri demi mencegah penyebaran Virus Corona yang tingkat penyebarannya sangat cepat. Di satu sisi, isolasi diri bertujuan untuk meminimalkan kontak yang terlalu dekat sehingga memungkinkan kita untuk saling terpapar droplets pernapasan orang lain. Namun di sisi lain, pernahkah Anda berpikir bahwa kegiatan isolasi diri yang dilakukan untuk mencegah penyebaran wabah mematikan tersebut ternyata dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan mental seseorang?

Isolasi diri berdampak terhadap kehidupan psikologis seseorang, di mana salah salah satu dampak tersebut adalah kesepian atau loneliness. Dan Perlman, seorang profesor yang bergerak di bidang Pengembangan Manusia dan Studi Keluarga, dalam bukunya yang berjudul Encyclopedia of mental health mendefinisikan kesepian sebagai

“pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan dimana kualitas dan kuantitas hubungan sosial seseorang mengalami penurunan secara signifikan”

Tentu saja dengan mengisolasi diri kita sendiri, besar kemungkinannya bagi seorang manusia untuk menjadi jauh dari orang-orang yang biasa melakukan hubungan sosial dengannya, seperti anggota keluarga, teman, atau bahkan rekan kerja kita sendiri. Mungkin sebagian berpendapat bahwa kesepian ini adalah hal yang remeh, namun perasaan kesepian dengan intensitas tinggi yang dialami oleh orang yang sedang melakukan isolasi diri dapat meningkatkan kemungkinan timbulnya beberapa dampak negatif lebih lanjut terhadap kesehatan mental kita, seperti depresi ataupun penurunan kognitif serta berkembangnya penyakit lain seperti Alzheimer, obesitas, serta stroke atau hipertensi.

Sebuah studi tahun pada 2016 yang dipimpin oleh ahli epidemiologi. Universitas Newcastle, Nicole Valtorta, membuktikan bahwa kesepian meningkatkan risiko stroke atau perkembangan penyakit jantung coroner sebanyak 30%. Selain itu, berbagai temuan baru tentang COVID-19 menunjukkan bahwa penyakit-penyakit tersebut termasuk dalam faktor yang memperparah pandemi tersebut.

Mengapa demikian?

Berdasarkan pernyataan dari CDC, lansia dan semua orang yang memiliki kondisi medis kurang baik seperti obesitas atau hipertensi memiliki risiko lebih tinggi untuk tertular Virus Corona atau COVID-19 tersebut. Misalnya seseorang dengan obesitas ternyata memiliki risiko masalah pernapasan serius (disebut sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)) yang merupakan komplikasi utama COVID-19, sehingga dapat menyebabkan kesulitan kepada dokter dalam memberikan pertolongannya kepada pasien yang pernapasannya semakin parah.

Selain kesepian, perilaku manusia yang ditunjukan melalui informasi di berita atau sosial media juga telah membuktikan bahwa isolasi diri dapat membuat kita rentan merasakan kecemasan atau anxiety. Adanya pembatasan interaksi manusia secara langsung tersebut menandakan bahwa kita tidak bisa melihat kondisi nyata yang sedang terjadi di luar rumah kita sendiri, terlebih yang jauh jaraknya dari kediaman kita sendiri. Keadaan sedemikan rupa memaksa kita untuk mengandalkan media sosial, berita, atau bahkan radio untuk mendapatkan informasi terkini mengenai perkembangan penanggulangan Virus Corona yang ada di dunia ini. Informasi mengenai penanggulangan Virus Corona yang tidak semua dapat dipastikan validitasnya membuat manusia yang sedang melakukan isolasi diri di rumah merasa khawatir. Perasaan khawatir yang tidak jelas dan berkaitan dengan perasaan tidak pasti serta tidak berdaya tersebut didefinisikan sebagai kecemasan oleh seorang profesor di bidang kesehatan mental yang bernama Gale W. Stuart. Timbulnya perasaan cemas secara massal di tengah-tengah penyebaran wabah Virus Corona ini dapat kita lihat ketika kita dihebohkan dengan sebuah informasi oleh berbagai macam media pada beberapa waktu lalu, di mana mereka menyebutkan bahwa Virus Corona dapat menyebar melalui udara atau bersifat airborne. Tidak lama setelah berita itu tersebar, World Health Organization (WHO) mengklarifikasikan berita tersebut sebagai hoaks karena WHO tidak menemukan bukti konkret dalam penelitiannya. Terdampaknya kesehatan mental orang-orang melalui perasaan cemas yang diakibatkan dari tersebarnya hoaks tersebut pada akhirnya menimbulkan perilaku konsumtif secara berlebihan oleh masyarakat dalam membeli masker medis yang digunakan oleh petugas medis dalam memerangi Virus Corona, sehingga masker yang tersedia sampai saat ini pun sangat tipis jumlahnya.

Sejarah peradaban dunia ini berbicara bahwa dampak-dampak isolasi diri terhadap kesehatan mental tidak hanya dialami pada masa Virus Corona ini, melainkan kegiatan isolasi diri tersebut dapat kita kilas balik ketika virus SARS mewabah pada tahun 2003. Sindrom pernapasan akut berat (SARS) adalah penyakit pernapasan karena virus yang diakui sebagai ancaman global pada Maret 2003, setelah pertama kali muncul di Cina Selatan pada November 2002. Saat wabah tersebut pertama kali melanda, CDC menyarankan orang yang terpapar tetapi tidak bergejala untuk memantau diri mereka sendiri untuk gejala dan menyarankan isolasi rumah dan evaluasi medis jika gejala muncul.

Sebuah penelitian terhadap orang yang dikarantina karena memiliki kemungkinan kontak dengan SARS mencatat bahwa 54% (524 dari 1057) orang yang telah dikarantina menghindari orang yang batuk atau bersin, 26% (255) menghindari tempat-tempat tertutup yang ramai, dan 21% (204) dihindari semua ruang publik dalam minggu-minggu setelah periode karantina. Perilaku-perilaku tersebut disebabkan oleh adanya kecemasan yang dirasakan oleh masing-masing individu yang sedang mengisolasikan dirinya terhadap mewabahnya Virus SARS. Sebuah studi kualitatif melaporkan bahwa beberapa peserta menggambarkan perubahan perilaku jangka panjang setelah masa karantina, seperti cuci tangan yang waspada dan menghindari keramaian, dan bagi sebagian orang, kembali ke normalitas tertunda beberapa bulan. Orang yang diisolasi karena berhubungan dekat dengan mereka yang berpotensi terinfeksi SARS melaporkan berbagai hal tanggapan negatif selama periode karantina berakhir. Sekitar 20% (230 dari 1057) melaporkan rasa takut, 18% (187) melaporkan kegugupan, 18% (186) melaporkan kesedihan, dan 10% (101) dilaporkan merasa bersalah. Studi kualitatif juga mengidentifikasi kisaran tanggapan psikologis lainnya terhadap isolasi diri atau karantina tersebut, seperti kebingungan, ketakutan, kemarahan, kesedihan, mati rasa, dan insomnia yang disebabkan oleh kecemasan.

Kesepian yang berkelanjutan, kecemasan yang berlebihan, serta perasaan-perasaan negatif lainnya yang berdampak pada kesehatan mental kita pun menjadi sebuah permasalahan yang perlu kita waspadai ketika kita hidup di era yang serba sulit ini. Akan tetapi, permasalahan lahir untuk kita selesaikan. Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa:

Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi sering ketakutanlah yang membuat sulit. Jadi, jangan mudah menyerah

Kalimat yang disampaikan oleh beliau menandakan bahwa kita tidak boleh menyerah dalam kondisi apapun, termasuk dalam situasi mewabahnya Virus Corona ini. Timbulnya dampak negatif yang diakibatkan oleh kegiatan isolasi diri dapat kita atasi dengan beberapa hal seperti berolah raga secara teratur, makan makanan sehat, serta tidur nyenyak. Gerakan olah tubuhnya di dalam rumah dapat kita lakukan dengan sangat sederhana, seperti peregangan otot, atur pernapasan, atau bermeditasi. Selain itu, Anda dapat milih hobi baru atau belajar sesuatu yang baru setiap hari untuk mertahankan pikiran Anda sehingga menjadi lebih sehat. Psikoterapis Amy Przeworski menganjurkan bahwa memasak dapat menjadi salah satu pilihannya dalam menghabiskan waktu luang yang kita miliki. Dengan memasak, stres yang sedang dialami oleh badan dan pikiran kita dapat berkurang sehigga kesehatan mental kita pun dapat terjaga dengan baik.

Isolasi diri untuk menekan penyebaran virus meamang terbukti efektif seperti yang sudah dilakukan di beberapa negara; namun hal tersebut tidak mengubah fakta bahwa isolasi diri dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Tujuan isolasi ini baik, tetapi jika tidak disertai dengan penanganan-penangan yang tepat seperti yang sudah disebutkan pada paragraf sebelumnya, maka kemungkinan besar isolasi diri akan mengeruk kestabilan kesehatan mental kita secara perlahan. Kesehatan mental sangat penting bagi kehidupan kita, dan sudah sepantasnya kita merawatnya dengan baik. Jika tidak, isolasi diri ini justru akan memiliki dampak yang tidak baik selama isolasi bahkan setelah isolasi.

Referensi

  • Dedi Hantono dan Diananta Pramitasari , “ASPEK PERILAKU MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN SOSIAL PADA RUANG TERBUKA PUBLIK”, National Academic Journal of Architecture, Volume 5, Nomor 2, 2018, hlm. 86
  • Diana Savitri Hidayati, “SELF COMPASSION DAN LONELINESS”, Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, Vol. 03, No. 1, hlm.155
  • Dona Fitri Annisa, Ifdil, “Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut Usia (Lansia)”, Konselor, Vol 5, No. 2 June 2016, hlm. 94
  • Javier Yanguas, et.al, “The complexity of loneliness”, Acta Biomed, Vol. 89, No. 2: 302-314
  • Nicole K Valtorta , et.al, “Loneliness and social isolation as risk factors for coronary heart disease and stroke: systematic review and meta-analysis of longitudinal observational studies”, Heart, 2016, hlm,1015
  • Samantha K Brook, et.al, “The psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the evidence”, Vol 395, 2020, hlm. 914
  • Centers for Disease Control and Prevention, “Social Distancing, Quarantine, and Isolation-Keep Your Distance to Slow the Spread”, 4 April 2020, https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/prevent-getting-sick/social-distancing.html, (diakses pada tanggal 16 April 2020)
  • Centers for Disease Control and Prevention, “Groups at Higher Risk for Severe Illness”, April 17 2020, https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/need-extra-precautions/groups-at-higher-risk.html, (diakses pada tanggal 18 April 2020)
  • Centers for Disease Control and Prevention, “Frequently Asked Questions About SARS”, May 3 20015, SARS | Frequently Asked Questions | CDC, (diakses pada tanggal 18 April 2020)
  • Centers for Disease Control and Prevention, “Fact Sheet on Isolation and Quarantine”, May 3 2005, SARS | Isolation and Quarantine Factsheet | CDC, diakses pada tanggal 20 April 2020
  • Mensrepublic, “8 METODE AMPUH UNTUK MENGHILANGKAN STRES”, 21 Februari 2018, https://jurnal.mensrepublic.id/detail/8-metode-ampuh-untuk-menghilangkan-stres, (diakses pada tangga; 20 April 2020)
  • Universitas indonesia, “Pandemik Corona”, Kesehatan Mental Tetap Harus Terjaga, 23 Maret 2020, https://www.ui.ac.id/pandemik-corona-kesehatan-mental-tetap-harus-terjaga/, (diakses pada tanggal 21 April 2020
2 Likes

Artikelnya bagus. Memang saat ini tidak bisa dipungkiri bahwa isolasi diri memberi dampak negatif terhadap mental. Tapi kembali lagi bahwa kesadaran kita sangat penting untuk membantu menangani penyebaran virus ini. Setuju dengan saran yang diberikan penulis.