Indonesia dan Dilema Moral

Pagi yang berbeda, dimana matahari malu untuk memancarkan sinarnya. Aku adalah mahasiswa yang bersiap pergi, mengejar ilmu dan mengenal dunia. Semilir angin berhembus menerpaku. Pohon-pohon mulai berdansa menyambut kedatanganku. Alam seakan mendukungku untuk memulai hari, namun tidak dengan makhluk paling sempurna…

Manusia…

Tanpa sengaja sang Hyang Jagad mempertemukanku dengan kawan lama. Dialah seorang perawat yang sedang duduk didepan rumah sakit. Wajah yang muram serta air yang mengalir dari matanya menandakan bahwa dia dilanda gundah gulana. Pertanda bahwa adanya masalah yang tak mampu dibendung lagi.

a sedih

“Kenapa? Ada apa?

Sontak ia menjawab seiring dengan tangisannya.

“Aku merasa tidak dihargai. Mereka semua menghujatku! Bahkan mereka mengusirku! Apa salahku? Aku hanya menjalankan tugasku, menyelamatkan umat manusia. Bahkan aku bertaruh nyawa demi keselamatan orang-orang yang butuh bantuanku… Toh, kalaupun mereka sakit, aku juga yang merawat mereka.” tegasnya.

“Mereka menganggapku terkena virus hanya karena melakukan kontak fisik dengan pasienku. Ketika rekan-rekanku gugur dalam tugasnya, masyarakat sekitar menolak pemakamannya. Mereka menganggap virus itu tetap ada di tubuh rekanku dan akan menyebarkannya pada semua orang… Argh! Omong kosong! Mereka tahu apa? Mereka yang sudah dihimbau untuk tetap dirumah saja, bersikukuh untuk pergi. Mereka yang sudah dihimbau untuk mengenakan masker, tetap tidak manut. Mereka juga yang juga dihimbau untuk jaga jarak, namun… bukan jaga jarak seperti ini yang dimaksudkan! Bukan dengan cara mengusir dan menolak pemakaman rekan-rekanku disebut “Jaga Jarak”! Katanya… “Indonesia negeriku… Orangnya ramah-ramah… Saling tolong menolong… Gemah ripah loh jinawi…” dan banyak kata-kata manis tentang negeri ini… Namun itu hanyalah ucapan semata… Nilai-nilai yang diajarkan leluhur dalam mulai terkikis modernisasi… Sampai-sampai rasa empati mulai terkikis sedikit demi sedikitRasa ketidakpedulianlah yang timbul ke permukaan daripada rasa “saling tolong menolong”. Ditambah lagi, generasi muda yang acapkali bicara untuk mendukung dan menolong kami, nyatanya? Semua ucapan itu hanyalah sampah belaka! Dimana mereka berada disaat kami membutuhkan mereka? Mana?” ucapnya.

Aku mulai berpikir, mungkin ucapan itu ada benarnya. Banyak terjadi ketidakadilan, terutama pada pandemik seperti ini. Hanya dengan alasan “tidak ingin tertular”, tindakan apapun dilakukan meskipun itu melenceng dari sikap ketimuran bangsa ini. Sangat disayangkan hal ini dapat terjadi. Aku pernah mendengar kabar, bahwa demi melindungi desanya, warga sampai melarang diadakannya pemakaman di desanya sendiri yang positif virus. Sampai-sampai, mobil yang mengantarnya disoraki dan dilempari batu. Ah, bukan Indonesia ini yang ingin kulihat. Bukan Indonesia ini yang aku tahu.

Aku juga mendengar banyak kabar bahwa perawat lain yang tinggal dikos mereka diusir begitu saja hanya dengan alasan virus belaka. Seakan melupakan kebaikan yang para pejuang telah lakukan. Mungkin pepatah “Bagai nila setitik, rusak susu sebelangga” ada benarnya. Karena pada kenyataannya, itulah yang terjadi sekarang. Banyak masyarakat yang menganggap mereka kotor. Pada kenyataannya, mereka bekerja dengan mematuhi protokol yang ada, dengan alat pelindung khusus dan tentunya steril dari virus. Himbauan terus digencarkan, terutama mengenai pemakaian alat pelindung seperti masker. Namun masih ada saja masyarakat yang enggan menggunakannya. Bahkan dengan santainya mereka bicara bahwa mereka tidak takut dengan pandemik ini. Tidak takut sih boleh, tapi jangan sampai tidak peduli juga. Itu egois namanya.

Dalam buku PKn ku, aku sering membaca bahwa “Indonesia itu erat sekali dengan sifat ketimurannya, terutama sifat saling tolong menolong”. Namun itu hanyalah dusta belaka. Saat aku pernah mengalami kecelakaan dan setengah sadar, tidak ada yang berani menolongku. Selama 15 menit, aku hanya dibiarkan tergeletak di pinggir jalan raya, sampai ada yang datang menolong. Aku tahu, tidak semua orang begitu. Namun, ini membuktikan bahwa sikap ketidakpedulian lebih muncul ke permukaan daripada sikap saling menolong itu.

Semakin dewasa, semakin aku tahu, tidak semua manusia itu istimewa. Semakin ditelusuri, semakin menyadari, manusia memiliki Egoisme dalam jiwanya masing-masing.

Oh ya, aku sampai lupa membalas percakapan dengan kawanku. Saat itu aku hanya menjawab.

“Bersabarlah, aku tahu perjuanganmu sangatlah sulit. Bukan hanya kamu saja yang mengalami ini kan? Aku yakin, cepat atau lambat mereka pasti akan mengerti. Yang terpenting adalah kamu harus tetap melaksanakan kewajiban profesimu, tanpa rasa pamrih. Biarpun orang lain berkata dengan seenaknya, kamu harus kuat… Tahukah kamu, dulu aku ingin sekali menjadi seorang pahlawan hanya karena aku mendengar betapa kerennya seorang Gatot Kaca. Semakin dewasa, semakin aku menyadari bahwa pahlawan sebenarnya adalah orang-orang yang tanpa pamrih berjuang untuk orang lain. Ya, Kamu salah satunya“.

Untuk para pejuang diluar sana, percayalah….

Kalianlah Pahlawan yang sesungguhnya…

3 Likes