Iklan, Euforia Beragama, dan Kesalehan Artifisial

bbbb
sumber ilustrasi: www.azernews.az

Masyarakat modern telah begitu akrab dengan keberadaan iklan. Masyarakat ini bisa dengan mudah menemukan iklan di sekelilingnya: mulai dari di baliho yang bertengger di sepanjang jalan raya, di layar televisi, maupun di media sosial. Konten promosi menjadi hal yang lazim ditemui dalam keseharian. Hal tersebut lekat dengan sejarah peradaban manusia dari masyarakat pertanian menuju masyarakat industri yang memunculkan pergeseran orientasi manusia dalam kegiatan produksi. Manusia memproduksi sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, sebelum kemudian berubah menjadi bertujuan untuk mendapatkan keuntungan materi. Peristiwa besar yang menandainya adalah Revolusi Industri yang dimulai pada abad 18, ketika mesin hadir dalam dinamika kehidupan manusia dan turut memengaruhinya.

Sejak itu, sesuatu diproduksi dengan jumlah besar supaya dapat dijual kepada konsumennya. Bersamaan dengan itu pula, pengetahuan mengenai promosi atau iklan berkembang. Produsen lantas berupaya untuk memperluas pangsa pasarnya dengan menciptakan iklan yang mampu menarik minat konsumsi semaksimal mungkin. Dalam hal ini, komunikasi yang diciptakan oleh produsen berpengaruh besar karena berkaitan dengan bagaimana produsen itu membangun citra produknya sekaligus membangun hubungan dengan konsumennya. Keterampilan itu hari ini disebut dengan komunikasi pemasaran dalam kajian ilmu komunikasi.

Menyitir gagasan Philip Kotler dan Kevin Lane Keller dalam Marketing Management (2016), komunikasi pemasaran merupakan sarana yang digunakan untuk menginformasikan, mempersuasi, dan mengingatkan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung mengenai produk-produk dan merek-merek yang dijual. Seiring dengan itu, produsen membentuk pikiran bahwa perilaku konsumsi seseorang bukan hanya menunjukkan transaksi ekonomi seseorang, melainkan juga merepresentasikan status sosial seseorang. Pada tahap itu, orientasi seseorang dalam kegiatan konsumsi bukan lagi hanya ada pada nilai guna, melainkan juga pada nilai tanda.

Dengan posisi strategis sebagai penyedia produk dalam skala besar, produsen sendiri dapat menyentuh berbagai lini kehidupan masyarakat, bahkan hingga membuat perubahan signifikan padanya. Hal ini dibarengi dengan pengembangan berbagai strategi produsen untuk mengomunikasikan produknya kepada khalayak. Yuswohady dalam jurnalnya Marketing to the Middle Class Moslem (2014) menjelaskan, praktik pemasaran dalam bisnis telah mengalami transformasi dari level rational intelligence (marketing 1.0) ke emotional intelligence (marketing 2.0)* hingga sampai ke level spiritual intelligence (marketing 3.0). Mulai dari menonjolkan benefit produk secara rasional, kemudian menyentuh sisi emosional konsumen, hingga kini merambah ke pengalaman spiritual konsumen. Dengan begitu, keberadaan produsen tetap relevan dengan keadaan dan pengalaman konsumen. Tak terkecuali pada aspek pendidikan, kesehatan, politik, hiburan, budaya, maupun agama.

Di Indonesia sendiri, marketing 3.0 atau komunikasi pemasaran dengan pendekatan spiritual melalui agama telah marak sejak beberapa tahun terakhir. Di samping kondisi Indonesia yang mengalami desekularisasi, produsen turut meramaikan euforia masyarakat dalam beragama ini. Seperti yang dilaporkan Katadata, dalam konteks agama Islam, konsumsi terhadap produk halal tahun 2016 hingga 2017 naik sebesar 3,6%, meliputi sektor kuliner, fesyen, dan pariwisata.

Namun–meminjam istilah Asmaul Husna dalam Komodifikasi Agama (2018)–euforia pengaktualisasian identitas keagamaan tersebut dimanfaatkan oleh produsen sebagai pemilik kapital untuk menjadikannya sebagai komoditas guna mencari keuntungan. Artinya, kebangkitan agama ini seiring dengan bangkitnya gairah bisnis para pengelola industri untuk merelevansi produknya sesuai dengan religiusitas yang berkembang.

Tak bisa tidak, iklan yang dipublikasikan dengan masif di berbagai media kemudian membawa pengaruh besar dan memunculkan pandangan kritis. Iklan diproduksi sedemikian rupa dengan mengonstruksi pemikiran khalayak mengenai bagaimana seharusnya identitas keagamaan diekspresikan. Dalam kajian sosial-budaya, iklan dapat mengubah dan membentuk interpretasi publik tentang suatu realitas sosial. Iklan menyuguhkan hal-hal yang dikehendakinya supaya dikonsumsi masyarakat secara masif. Hal tersebut merupakan salah satu akar dari terbentuknya perilaku atau tindakan masyarakat kemudian. Oleh karenanya, perkembangan religiusitas masyarakat di bawah pemilik modal bukannya hadir tanpa risiko. Sebab, produsen dalam masyarakat modern berorientasi pada materi. Aspek sosial-budaya tak menjadi perhitungan dalam pemasaraan produk.

Dalam perjalanannya, hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai kesalehan artifisial. Khalayak mengonsumsi berbagai produk yang dipasarkan pemilik modal untuk kemudian memiliki perasaan religius. Dalam perjalanannya, religiusitas yang dirasa meningkat dalam pengalaman individu ini berpotensi memunculkan arogansi. Ia berasal dari citra yang dibangun produsen dan yang dipercayai konsumen serta dicerna sebagai kebenaran objektif. Akibatnya, ekspresi beragama yang beragam dan lain dari yang dibangun oleh iklan di media dengan komunikasi pemasaran melalui pendekatan religiusitas itu menjadi minoritas dan terpinggirkan. Ia menjadi rentan terhadap penghakiman bahkan persekusi. Keberagaman dalam beragama yang merupakan realitas tak diterima dan ditolak keberadannya karena dipandang sebagai hal menyimpang. Kasus pembubaran ritual upacara keagamaan Hindu di Bantul, Yogyakarta yang dilaporkan Tempo merupakan salah satu contoh dari sekian kasus yang ada.

Kuntowijoyo, intelektual dan budayawan, membahasnya dengan menjelaskan bahwa cara beragama antara satu dan lain sektor serta lapisan sosial masyarakat punya diferensiasi, dan juga mempunyai karakteristik yang berbeda pula, didasari atas kriteria kelas sosial, usia, seks, lingkungan sosial dan budaya. Maka, pada gilirannya, iklan yang melanggengkan upaya penyeragaman ekspresi beragama tersebut akan menghasilkan agama yang tidak dapat dimaknai secara menyeluruh. Simbol-simbol keagamaan yang dimunculkan hanya akan mereduksi agama itu sendiri.

2 Likes