Ikatan dan Peduli

IMG_20200411_033654
Sumber gambar:www.hipwee.com

Suara ledakan amarah yang begitu menggelegar memenuhi pendengarannya, suara yang telah ia dengan ribuan kali. Dia berusaha menutup telinga dan mata. Berusaha tidak peduli terhadap kondisi rumahnya yang sudah porak poranda.

Lengan kecilnya hitam dan biru, tapi itu tidak sesakit luka dihatinya melihat wanita yang telah melahirkannya dibentak dan juga dipukul oleh orang yang dia anggap sebagai malaikat pelindungnya.

“Ayah? Ibu? Kapan ini akan berakhir?” Hanya hembusan angin dingin yang menjawabnya.

Dia ingin bergerak, dia ingin berguna tapi dia hanya seorang yang lemah, dia tak bisa berbuat apa-apa.

“Siapa yang benar? Siapa yang salah? Siapa yang peduli?” Disela-sela tangisannya dia berusaha protes pada kedua orangtuanya, tapi apakah akan ada yang mendengarnya?

Dia mencoba yang terbaik untuk menyimpan rumah yang rusak ini. Berhenti berkelahi, berhenti sakit, cobalah mencintai lagi. Jika kalian pernah memegangnya erat-erat. Kalian bisa kembali merasakan cinta yang membuat kalian tersenyum lagi.

“Apakah kalian lupa alasannya? Kenapa anak kecil ini lahir? Karena jika kalian terus berjuang. Kalian akan menghancurkan keluarga ini!!!” Teriaknya dengan suara bergetar, tangannya mengepal mencoba menahan emosi yang meledak-ledak dalam hatinya.

Sebuah porselen terlempar kesisi kepalanya “Kamu masih anak kecil, tidak tau apa-apa. Diam!!!” Mata ayahnya memerah, tangannya yang terkepal bergetar.

“Apa yang kau lakukan!!!” Ibunya balik meneriaki ayahnya, dia bergerak menuju anaknya mencoba melindunginya “Tata, kamu tidak apa-apa, nak?” Suara lembut ibunya mengalun. Dia hanya bisa menjawab dengan gelengan, sambil menggigit bibirnya kuat menahan tangis.

Ibunya selalu seperti itu membelanya dan melakukan apapun untuk membuatnya bahagia. Bahkan ibunya rela bertahan dalam pernikahan yang menyakiti dirinya sendiri selama bertahun-tahun.

“Ya, bela saja anak tidak tau diuntungmu itu” Jarinya menunjuk ke wajah anaknya. Memancing amarah baru lainnya untuk meluap sehingga meletuskan pertengkaran baru.

Anak itu, Tata, hanya bisa berlutut dan berdoa, bergantung pada harapan semu yang mungkin hanya akan menjadi mimpi. Sendirian di rumah bernatakan ini, dia juga merasa tersakiti. Apakah hanya orang tuanya yang berhak untuk marah? Berhak untuk merasa tertekan? Ataukah ini salah dirinya yang egois memaksa kedua orangtuanya bertahan dalam pernikahan yang sudah lama tidak memiliki rasa? Apakah dirinya egois hanya karena ingin keluarganya tetap utuh sepeti keluarga teman-temannya? Dia tidak tau.

“Aku sudah tidak peduli lagi, aku muak denganmu, dengan anak ini. Semua tentang keluarga ini!!!” Ayahnya meraungkan amarahnya kemudian berjalan ke kamar dan membanting pintunya dengan kuat.
Ibunya masih terdiam mematung kemudian balas berteriak “Tata itu juga anakmu kalau kau lupa!!! Dan aku juga sudah muak denganmu”

Tidak berselang lama ayahnya keluar dari kamar membawa sebuah ransel. Dia memandang acuh pada ibunya.

“Aku sudah tidak peduli, mulai hari ini kau bukan istriku lagi. Berbuatlah semaumu, aku akan mengirim surat cerainya ke rumah” Ayahnya berucap dengan nada dingin yang begitu ketara, kemudian berlalu pergi.

Kaki Tata ingin mengejar ayahnya, memeluk ayahnya dan menahannya untuk pergi seperti yang telah lalu. Mengajak ayah dan ibunya berbicara tanpa emosi dan kemudian berdamai. Tapi kakinya seolah terpaku dia tidak dapat bergerak batinnya bergejolak.

“Sudah cukup, aku sudah pernah merasakan bahagia hidup dengan keluarga yang lengkap. Kedua orang tuaku juga berhak bahagia, mereka berhak bahagia dengan cara mereka masing-masing” Hatinya mungkin tak rela tapi dia harus menekan egonya.

Dia menatap ibunya, wanita itu kini duduk di sofa tangannya menutup wajahnya dan bahunya bergetar dia tahu ibunya kini tengah menangis, dia mendekati ibunya dan memeluknya erat mencoba menguatkannya.