HONNE dan TATEMAE

image

Jepang adalah negara yang terkenal dengan penduduknya yang sangat sopan dan berbudaya. Ini dikarenakan masyarakat Jepang adalah masyarakat komunal, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan gotong-royong sehingga memang kepentingan bersama harus lebih diutamakan melebihi kepentingan dan keinginan pribadi. Maka dari itu, untuk menjaga keselarasan hidup bersama, Jepang memiliki berbagai aturan tidak tertulis dan norma kesopanan yang mengatur kehidupan keseharian mulai dari cara berpakaian, makan, dan tata krama dalam berkomunikasi.

Honne dan tatemae merupakan salah satu konsep budaya komunikasi di Jepang.
Honne (本音) berarti perasaan dan opini seseorang yang sesungguhnya, ditulis dengan huruf kanji yang berarti suara sesungguhnya. Sedangkan tatemae (建前) adalah perilaku, tindakan, dan ekspresi yang ditunjukkan seseorang kepada publik. Huruf Kanji tatemae berarti facade atau built-in front dan dijuluki sebagai “topeng publik”. Ini dikarenakan tatemae menuntut sesorang untuk memberi respons sesuai dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial yang cenderung bertentangan dengan honne . Membaca penjelasan di atas, kita mungkin menyimpulkan tatemae sebagai sebuah kemunafikan. Namun di Jepang, praktik tatemae adalah hal yang biasa dan patut dilakukan untuk menjaga keharmonisan, serta adalah sebuah kedewasaan pribadi jika dapat memahami dualisme honne tatemae dan menggunakannya di situasi yang tepat.

Sistem honne tatemae diperkirakan diadopsi oleh pemerintah Jepang pada Heian Era, tahun 794 - 1185, ketika Yoritomo Minamoto, pembangun sistem keshogunan memberikan semua kekuasaan pada keshogunan di Kamakura, sehingga membuat pemerintahan di Kyoto akhirnya tampak utuh di depan saja, namun sebetulnya tidak memiliki kekuatan sama sekali. Dari situlah muncul pemerintahan bayangan yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Para tokoh-tokoh pemerintah tampil berkuasa di depan masyarakat, tetapi sesungguhnya hanya menjalankan agenda pemilik kuasa sebenarnya yang ada di balik layar. Kebiasaan untuk menyembunyikan maksud dan pikiran sesungguhnya terus berkembang, hingga tampak sangat nyata di era samurai. Para samurai diinstruksikan untuk “menjaga selalu apa yang kamu katakan karena satu kata saja cukup untuk membuat orang lain dapat menebak pikiranmu”. Hingga sekarang, masyarakat modern Jepang beranggapan bahwa menunjukkan emosi sesungguhnya, apalagi ekspresi kekesalan, kesedihan dan kemarahan di depan orang lain tidaklah etis karena dapat membahayakan “semangat persahabatan” dan kelanggengan hidup bersama. Hal ini juga dinyatakan dalam pepatah terkenal jepang “No aru taka wa tsume wo kakusu” yang berarti Elang yang ahli menyembunyikan cakarnya, dan “tanki wa sonki” yang bermakna “mudah marah berarti semangat yang hilang”.Karena itu percakapan di Jepang pun sebetulnya memiliki makna tersirat. Contohnya ajakan makan malam saat berkunjung ke rumah teman sebetulnya menandakan bahwa sudah waktunya bagimu untuk pulang, dan kamu harus menjawab, “Tidak, terima kasih. Saya tidak lapar.” Keharusan melakukan tatemae bagi masyarakat Jepang bukan berarti mereka dilarang menunjukkan Honne . Emosi dan perasaan pribadi juga sangat berharga, karena itu sebaiknya juga hanya ditunjukkan kepada orang orang berharga yang bisa kamu percaya.

Konsep honne tatemae bukanlah hal yang baru karena setiap negara pastilah mempraktekkan honne maupun tatemae hingga taraf tertentu. Misalnya, kalian menunjukkan tatemae ketika kalian tetap berkata enak untuk masakan ibu pacar kalian yang keasinan, dan juga menerapkan Honne saat kalian curhat tentang kekesalan kalian dengan teman dekat. Kedua model komunikasi, yaitu honne dan tatemae memang diperlukan dalam kehidupan kita. Honne dan tatemae memiliki kegunaan serta dampak negatifnya masing-masing. Penggunaan yang tepat bukan hanya dapat mencegah konflik dan menciptakan hubungan yang sehat, tapi juga akan berdampak baik untuk pengembangan diri dan orang lain.

Nilai pengendalian diri tatemae memang perlu diajarkan untuk menjaga kerukunan bersama. Di era modern ini, keberadaan internet dan berbagai platform sosial media membuat penyebaran informasi sangatlah cepat, entah informasi yang disebarkan itu benar atau hanyalah hoax untuk menyulut kemarahan dan keresahan masyarakat. Sayangnya, tak jarang masyarakat Indonesia termakan hoax dan dengan tanpa berpikir langsung menyatakan kekesalan, kritik pedas, dan ejekan yang malah menimbulkan debat panas. Untuk mencegah pertengkaran yang berkelanjutan dan tanpa guna, ada baiknya kita berdiam, dan mencoba berpikir sebentar sebelum meluapkan isi hati kita. Tradisi tatemae untuk menggunakan bahasa isyarat juga dapat digunakan untuk menasehati orang lain supaya tidak muncul rasa tersinggung (seperti pada penjelasan sebelumnya tentang makna tersirat dari ajakan makan). Sayangnya, penggunaan tatemae untuk memperingatkan dan menasehati belum tentu tepat sasaran karena tidak semua orang dapat mengerti apa maksud kita sebenarnya, apalagi bagi masyarakat indonesia yang multikultural dan saling berbeda paham. Selain itu, praktik tatemae berupa memendam perasaan negatif berkepanjangan dapat menimbulkan berbagai permasalahan psikologis dan kesehatan.

Menyatakan pendapat kita secara jujur kepada orang lain dapat memberi kelegaan. Orang lain yang mendengar opini kita pun dapat mengenal dan memahami kita dengan lebih baik. Selain itu, jika kita dapat memberitahukan lawan bicara tentang kekurangan atau kesalahannya secara langsung, mereka dapat memperbaiki sifat dan kebiasaan buruk yang mereka sendiri tidak sadari. Namun, dalam penyampaian honne kita harus bijak. Tidak semua orang dapat kita percayai untuk mengetahui isi hati dan permasalahan pribadi, dan juga tidak semua orang dapat mempercayai kita untuk bisa menerima dengan baik, opini, saran dan kritik yang kita sampaikan. Terkadang penyampaian honne dapat menimbulkan rasa sakit hati dan pertengkaran, apalagi bagi masyarakat Indonesia yang memang sensitif mengenai beberapa hal, seperti SARA.

Lalu, bagaimana kita dapat menggunakan praktik honne dan tatemae dengan tepat? Masyarakat di Jepang fasih dengan budaya komunikasi tersebut karena dua hal. Pertama, menurut jurnal “Understanding Japanese Society”, anak jepang diajarkan untuk mengenali diri sendiri supaya dapat berempati dan bertindak dengan memperhitungkan perasaan sendiri dan orang lain. Kedua, anak-anak di Jepang sudah dikenalkan dengan konsep honne dan tatemae sejak kecil dan sudah terbiasa menggunakannya dalam keseharian.

Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan, nilai-nilai dan jati diri yang berbeda dengan orang jepang sehingga kita pun tidak bisa mengikuti kebiasaan honne tatemae yang dilakukan Jepang. Untuk mengambil langkah yang tepat, kita perlu memiliki pemikiran dan jiwa yang dewasa yang mampu untuk mengenal kepribadian, kelebihan dan kekurangan orang lain serta diri sendiri, serta mampu menilai situasi dan kondisi yang ada. Hargailah perbedaan, dan didik diri sendiri untuk berpikir kritis menghadapi setiap situasi, dan perhatikanlah ucapan kalian, karena “mulutmu, harimaumu.”

Sumber:

Trinidad, Genelyn D Jane. 2014. Honne and Tatemae:Exploring the Two Sides of Japanese Society. Iceland: University of Island.

2 Likes