Hati, Penentu Kebahagiaan di Dunia dan Keselamatan di Akhirat

hati

Hai Youdic, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala merahmati kita semua di mana saja kita berada. Pada tulisan kali ini, penulis yang masih fakir ini ingin mencoba membahas sebuah tulisan yang sederhana tetapi diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. Penulis mengangkat judul “Hati, Penentu Kebahagiaan di Dunia dan Keselamatan di Akhirat”. Tulisan ini akan dibagi ke dalam beberapa sub pembahasan agar memudahkan pembaca dalam mengambil faidah, tentunya dengan izin dan pertolongan Allah semata.

1. Kedudukan Hati dalam Islam

Hati memiliki peranan yang penting dalam Islam. Pertama , hati adalah pokok segala kontrol pribadi kita. Hati ibarat CPU pada komputer. Hati merupakan pusat kontrol dari segala kinerja kita semua. Mata tidak akan melihat kecuali dengan apa yang diperintahkan oleh hati. Tangan tidak akan bergerak kecuali bila diperintahkan oleh hati. Kaki tidak akan melangkah kecuali bila mendapat perintah dari hati.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan, “Hati adalah ibarat raja bagi anggota tubuh. Anggota tubuh akan melaksanakan apa yang diperintahkan hati dan akan menerima semua arahan-arahan dari hati. Anggota tubuh tidaklah akan melaksanakan sesuatu kecuali yang berasal dari tujuan dan keinginan hati." (Kitab Ighatsah Al-Lahfan hal. 5)

Seorang muslim yang bersih hatinya, maka itu akan terlihat dari perangai dan tingkah lakunya. Dia akan menunjukkan sifat-sifat mulia, berkata jujur, bersikap sopan dan sering berbuat baik. Sebaliknya, bila seorang muslim itu kotor hatinya, dia akan berkata kotor, hatinya dipenuhi hasad, bersikap emosional dan melakukan perbuatan tercela lainnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang bunyinya

أَلا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُو

Ketahuilah! Sesungguhnya dalam tubuh ini ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Dan apabila ia rusak. Maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah! ia adalah hati ”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua , sesungguhnya Allah Tabaraka Wa Ta’ala melihat kepada hati dan amal kita, bukan kepada paras, harta ataupun kedudukan kita. Rasul kita yang mulia Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

إِنَّ اللّه تَعَالَى لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa dan harta kalian, dan akan tetapi Ia memandang kepada hati dan amalan kalian ”. (HR. Muslim)

Kenapa Allah melihat hati kita? Karena hati itu tidak bisa dibohongi. Di hati itulah letak sifat asli seseorang. Fokuslah membenahi hati dan amal kita. Ada orang yang tampan rupanya, cantik wajahnya, tinggi jabatannya, melimpah hartanya. Apakah dia mulia di sisi Allah? Belum tentu. Untuk apa itu semua bila hatinya dipenuhi dengan kejelekan, kemunafikan dan kekejian? Untuk apa itu semua bila hal itu justru semakin menjauhkan dirinya dari Allah? Maka perbaikilah hati dan amal kita. Karena di sana letak segala kebaikan dan kemuliaan.

Ketiga, hati itu mudah berubah-ubah. Maka dari itulah hati di dalam bahasa Arab disebut Al-Qalbu yang berarti mudah berubah-ubah.

Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

لَقَلْبُ ابْنِ آدَمَ أَشَدُّ انْقِلَابًا مِنَ القِدْرِ إِذَا اجْتَمَعَتْ غَلْياً

Sungguh hati anak Adam lebih cepat berbolak-balik dari periuk yang sedang sangat mendidih ”. (HR. Ahmad dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Kitab Ash-Shahihah no. 1772)

Kalau kita sudah tahu kalau hati mudah untuk berubah-ubah maka sudah seharusnya kita menjaganya dengan baik dan tidak mengotorinya dari segala yang dapat mengotorinya. Sering kali kita menjumpai banyak doa dari Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan menjaga hati. Di antara doa yang paling sering beliau panjatkan kepada Allah adalah

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

Yaa Muqollibal Quluub, Tsabbit Qolbii ‘alaa Diinik (Wahai Dzat Yang Maha Membolak-Balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu). ” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

2. Hati sebagai Penentu Kebahagiaan di Dunia

Apa standar kebahagiaan seseorang di dunia? Apakah harta yang melimpah? Apakah rumah mewah yang bertingkat-tingkat? Apakah mobil yang banyak? Apakah kedudukan jabatan yang tinggi? Apakah memiliki kekuasaan yang besar? Apakah paras tampan dan cantik? Apakah fisik yang tinggi nan putih? Ternyata tidak. Seandainya kekuasaan menjadi standar kebahagiaan seseorang seharusnya Fir’aun adalah manusia yang paling bahagia di dunia ini. Seandainya harta dan kekayaan menjadi standar kebahagiaan seharusnya Qarun adalah manusia yang paling bahagia di dunia ini. Seandainya pangkat dan jabatan adalah standar kebahagiaan seharusnya Haman adalah manusia yang paling bahagia di dunia ini. Nyatanya tidak. Justru mereka semua bersikap sombong dengan itu semua dan Allah musnahkan mereka sampai ke akar-akarnya.

Lalu timbul komentar, “Itukan zaman dahulu, jangan dibawa-bawa ke masa sekarang dong”. Kalau tidak mau contoh zaman dahulu mari kita ke contoh zaman ini. Bukankah kita melihat betapa banyak orang yang berpangkat tinggi berujung dengan penjara dan kebinasaan? Bukankah kita melihat betapa banyak artis terkenal, cantik, tampan, kaya, tetapi berujung dengan narkoba bahkan ada yang sampai bunuh diri? Lalu di mana letak kebahagiaan mereka? Tidak ada. Kalaupun katanya mereka bahagia, itu kebahagiaan yang bersifat semu dan menipu, bukan kebahagiaan hakiki. Allah sudah memperingatkan kita.

ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ ٱلْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمًا ۖ وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنٌ ۚ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Q.S. Al-Hadid : 20)

Lalu apa kebahagiaan dan kekayaan yang sebenarnya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjawabnya 1400 tahun yang lalu. “ Kekayaan bukanlah dengan banyak harta benda, akan tetapi kekayaan yang sesungguhnya adalah kekayaan hati. ” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika seseorang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka binasalah dia. Dia tidak akan mendapat apa-apa di akhirat kelak. Sementara dunia belum tentu berpihak kepada dia. Bahkan Allah jadikan kefakiran di depan matanya. Tetapi seseorang yang menjadikan akhirat fokus utamanya, maka beruntunglah dia. Dia akan mendapat bagian yang banyak di akhirat, Allah jadikan kekayaan pada hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan hina dina.

Rasul kita shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ

Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali apa yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang tujuan hidupnya adalah akhirat, Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. ” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 950)

Lihatlah para ulama kita ada yang dipenjara seperti Imam Ibnu Taimiyyah. Bahkan ada yang disiksa seperti Imam Ahmad bin Hambal. Apakah mereka mengeluh? Tidak. Tidak ada keluhan yang keluar dari lisan-lisan mereka. Justru sebaliknya, kebahagiaan selalu menyertai kehidupan mereka.

Para ulama salaf kita pernah mengatakan,

لَوْ يَعْلَمُ المُلُوْكُ وَأَبْنَاءُ المُلُوْكِ مَا نَحْنُ فِيْهِ لَجَلِدُوْنَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوْفِ

Seandainya para raja dan pangeran itu mengetahui kenikmatan yang ada di di dalam hati kami ini, tentu mereka akan menyiksa kami dengan pedang (untuk merebutnya).

Maka tidak pernah kita jumpai ada seorang ulama yang bunuh diri, stress dan mengeluh di dunia ini. Tidak ada ceritanya penghafal Al-Quran memakai narkoba karena stress lalu bunuh diri. Kalaupun ada di antara mereka yang miskin, hidup serba kekurangan dan tidak bergelimangan harta, mereka tidak mengeluh. Mereka sangat bahagia dengan amal sholeh yang mereka lakukan. Mereka sudah jatuh cinta yang sedalam-dalamnya kepada Allah sehingga Allah pun menganugerahkan kebahagiaan pada hati-hati mereka yang begitu besar. Kebahagiaan yang tidak bisa ditukar bahkan dengan emas yang bergunung-gunung.

3. Hati sebagai Penentu Keselamatan di Akhirat

Apakah seseorang yang banyak beramal pasti selamat di akhirat? Belum tentu. Kenapa? Lagi-lagi masalahnya ada di hati. Ingatkah kita kisah 3 orang yang pertama kali diseret ke dalam neraka? Kalau belum simak hadits berikut ini.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, " Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan saat di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : ‘Amal apa yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab : ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentangmu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Selanjutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Quran. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: ‘Amal apa yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab: ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca Al-Quran hanya karena engkau.’ Allah berkata : ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca Al-Quran supaya dikatakan seorang qari’ (pembaca Al-Quran yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentangmu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Allah bertanya : ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab : ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berbuat seperti itu supaya dikatakan seorang yang dermawan dan memang begitulah yang dikatakan (tentangmu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. '" (HR. Muslim dan lainnya)

Ternyata hati mereka dikotori dengan riya’, ujub dan hal-hal duniawi lainnya sehingga mereka pun tidak beramal ikhlas karena Allah.

Seorang Tabi’in yakni Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu berkata, “ Sesungguhnya ada seorang hamba yang beramal kebaikan malah ia masuk neraka. Sebaliknya ada pula yang beramal kejelekan malah ia masuk surga. Yang beramal kebaikan tersebut, ia merasa ujub (bangga dengan amalnya), lantas ia pun berbangga diri, itulah yang mengakibatkannya masuk ke dalam neraka. Adapun yang beramal kejelekan, namun ia senantiasa takut (akan azab Allah) dan ia iringi dengan taubat, itulah yang membuatnya masuk ke dalam surga.” (Kitab Majmu’ Al-Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, 10/294)

Maka dari itulah para ulama kita menyebutkan bahwa amal sholeh harus diiringi dengan 2 hal agar diterima, pertama harus ikhlash semata-mata karena Allah dan yang kedua adalah mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila amalnya tercampur dengan riya’, ujub, kesombongan, hal-hal duniawi, maka terhapuslah amal tersebut.

Jadi dengan apa keselamatan di akhirat diraih? Dengan hati yang bersih, yaitu bersih dari noda kesyirikan, maksiat dan penyakit-penyakit lainnya.

إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ , يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ

(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih, ” (Q.S. Asy-Syu’araa’ : 88-89)

4. Perhatian Orang Sholeh dan Para Ulama Terhadap Kebeningan Hati

Kita menyaksikan bahwa para ulama kita memiliki perhatian yang sangat terhadap permasalahan hati. Imam Al-Ghazali mengarang Kitab Ihya ‘Ulumuddin yang berisi pembahasan Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa). Ulama-ulama kita seperti Ibnu Taimiyyah memiliki kitab berjudul “Tazkiyatun Nafs”. Ada juga Ibnul Jauzi yang mengarang sebuah kitab berjudul “Shoidul Khothir” yang berarti “Buruan Hati”. Begitu pula ulama besar asal Madinah sekaligus Pengajar Tetap Masjid Nabawi yaitu Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad memiliki Kitab yang berjudul “10 Kaidah Dalam Tazkiyatun Nafs”. Ini semua menunjukkan besarnya perhatian para ulama dan orang-orang sholeh dalam menata hati-hati mereka.

Kami tutup tulisan ini dengan ucapan seorang salaf dari umat ini

Sufyan bin Dinar berkata, “Aku berkata kepada Abu Bisyr, ‘ Beri tahu kepadaku amalan-amalan orang-orang sebelum kita .’ Dia mengatakan, ‘ Mereka sedikit beramal tetapi mendapatkan pahala yang banyak .’ Aku berkata, ‘Mengapa bisa demikian?’ Dia mengatakan, ‘ Karena selamatnya (bersihnya) hati mereka .’” (Kitab Az-Zuhud II/600).

Semoga kita menjadi orang yang dapat menjaga hati kita dari segala yang dapat merusaknya sehingga kita dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat kelak.