Hal-hal apa saja yang terkandung didalam hati manusia menurut Islam?

Hati manusia

Hal-hal apa saja yang terkandung didalam hati manusia ?

Al-Quran menjelaskan bahwa di dalam hati terkandung muatan-muatan seperti:

Hati mengandung penyakit


Seperti dalam firman Allah:

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. QS Al- Baqarah [2]:10;

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain. Jika kamu bertakwa, maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. QS Al-Ahzâb [33]: 32

Menurut Ahmad Mubarok ayat yang pertama merupakan penyakit lemah keyakinan, sedang ayat kedua berkaitan dengan makna penyakit “kenakalan”.

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, Tafsîr Al-Qur’ân Al-Azhîm, mengutip pendapat banyak ulama untuk menjelaskan kata maradh dalam ayat tersebut.

Mengomentari QS Al-Baqarah [2]: ayat 10 di atas, Anas berpendapat bahwa yang dimaksud maradh di sini adalah keraguan (syak); Ibnu Abbas, juga para sahabat yang lain, seperti Ikrimah dan Thawus berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah riya. Sedangkan menurut Dhahak, maradh itu maksudnya nifak. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menjelaskan bahwa maksudnya, sakit dalam hal agama, bukan sakit badan. Menurut Aslam mereka adalah orang munafik, yang memasukkan penyakit keraguan kepada Islam.

Sedangkan menurut Hamka pokok penyakit yang terutama di dalam hati mereka pada mulanya ialah karena merasa diri lebih pintar. Ditambah penyakit dengki, hati busuk.

Dijelaskan dalam Al-Quran dan Terjemah versi Depag RI (Departemen Agama Republik Indonesia), yang dimaksud maradh dalam ayat ini yakni keyakinan mereka lemah terhadap kebenaran Nabi Muhammad Saw. Kelemahan keyakinan itu, menimbulkan kedengkian, iri-hati dan dendam terhadap Nabi Saw., agama dan orang-orang Islam.

Orang-orang munafik itu ragu terhadap ajaran Nabi, sebab merasa diri lebih pandai dari Nabi. Bahkan mereka menghasut orang-orang kafir untuk memusuhi dan menentang para penganut Islam. Penolakannya tersebut tidak ditunjukkannya secara langsung, melainkan secara sembunyi-sembunyi. Di depan kaum muslimin dan Nabi mereka mengaku beriman, tapi sebenarnya hati mereka tidak. Disebutlah oleh Al-Quran, bahwa dalam hati orang semacam ini terdapat penyakit. Bukan penyakit badan, tapi penyakit jiwa.

Mengenai QS Al-Ahzâb: 32 di atas Hamka menjelaskan bahwa orang yang dalam hatinya ada penyakit itu ialah orang yang syahwat dan nafsu birahinya lekas tersinggung karena melihat tingkah laku perempuan, yang kadang-kadang dalam cara mengucapkan kata-kata, seakan-akan minta agar dirinya dipegang. Orang Inggris menyebutnya “sex appeal”, yaitu menimbulkan syahwat.lxi Menurut Hamka lebih baik bercakap tegas yang timbul daripada jiwa yang jujur dan tahu akan harga diri.

Meski ayat ini ditujukan untuk para isteri Nabi, bukan berarti perempuan masa kini dibolehkan berlaku seperti itu. Di sini tergambar betapa sesungguhnya, kejahatan itu terjadi bukan karena ada niat pelakunya, melainkan karena ada kesempatan. Dengan kata lain, bisa jadi semula orang tidak hendak berbuat jahat, tapi karena si perempuan menunjukkan kata-kata yang bisa menggoda, lemah-gemulai misalnya, nafsu birahinya bangkit sedangkan pertahanan imannya sangat lemah, maka ia pun tergoda dan terjadilah apa yang diinginkannya.

Jadi, ayat ini pelajaran berharga bagi setiap manusia, khususnya kaum perempuan, agar ia bisa menjaga diri dalam bertutur kata, jangan sampai menimbulkan fitnah.

Hati mengandung kekufuran


Seperti dalam Firman-Nya:

“…Telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya…”. QS Al-Baqarah [2]: 93

Bisa jadi sikap kaum Nabi Musa itu ada pada umat Muhammad Saw. zaman ini. Memang mereka tidak menyembah anak-lembu, tapi mereka menyembah harta, pangkat, dan jabatan. Untuk meraih semua itu mereka sanggup berbuat apa saja, termasuk kejahatan.

Jika mereka tidak segera sadar akan kekeliruan ini, pengaruh cinta berat terhadap duniawi ini akan membekas dalam hatinya, dan lama-lama akan sulit dihilangkan. Walaupun mereka tahu ancaman kejahatan itu amat besar, tapi hatinya sulit kembali ke jalan yang benar. Sebab pada saat pengaruh duniawi belum terlalu besar dalam hatinya, ia tidak segera membersihkannya dengan taubat dan ibadah.

Menurut Ibn Taimiyah, awal dari tobat adalah mengetahui bahwa perbuatannya salah, sehingga menyadarinya lalu bertobat. Atau ia meninggalkan suatu kebaikan, baik yang wajib maupun sunah. Selama dirinya memandang perbuatannya sebagai suatu kebaikan padahal kejelekan, maka tobatnya tidak akan diterima.lxiii

Hati mengandung kesesatan


Sebagaimana firman Allah:

“…Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah…”. QS Ali Imran [3]: 7

Hamka menjelaskan bahwa ayat mutasyâbih boleh dita‟wilkan asal menurut tuntunan Tuhan. Itulah sebabnya maka lanjutan ayat berbunyi: “Dan orang-orang yang telah mendalam padanya ilmu, berkata mereka: Kami percaya kepadanya, semuanya itu adalah dari sisi Tuhan kami.”

Hamka tidak melarang untuk menta’wilkan ayat-ayat mutasyâbih, asal disertai hati yang patuh kepada Allah Swt., tidak untuk menimbulkan fitnah, apalagi agar akidah umat menjadi rusak. Sepanjang yang bersangkutan ikhlas, tidak memiliki maksud jahat dalam menta’wilkan suatu ayat, usahanya tersebut tidak akan dinilai sia-sia di sisi Allah Swt. Meskipun di dalam ayat tersebut disebut bahwa hanya Allah yang mengetahui ta’wilnya, tapi Allah bisa saja menurunkan ilmu-Nya kepada orang-orang tertentu yang berilmu dan memiliki hati yang tunduk kepada-Nya. Sehingga yang bersangkutan mampu menta’wilkan ayat-ayat mutasyâbih.

Hati mengandung keberanian


Seperti firman-Nya:

“Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai berita gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Kemenanganmu itu hanyalah dari Allah, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS Ali Imran [3]: 126

Janji Tuhan yang akan menurunkan bala bantuan, yakni lima ribu malaikat, tentu membuat hati pengikut Rasul merasa tenteram hatinya. Mereka pun menjadi berani. Hanya saja ketergesaan sebagian mereka yang meninggalkan pos pertahanan, yakni pasukan pemanah di atas bukit Uhud, untuk segera mengambil harta rampasan (ghanîmah) membuat mereka tidak waspada terhadap serangan balik musuh yang sebelumnya sudah dikira oleh Rasulullah Saw. Sebagian mereka tertarik hatinya untuk segera memiliki ghanîmah tersebut.

Ini bisa dijadikan pelajaran bahwa perjuangan di jalan Allah (fî sabîlillâh) itu harus disertai niat yang tulus untuk menegakkan kebenaran dan ketentraman, bukan semata untuk memperoleh keuntungan duniawi. Orang yang memiliki tujuan lain itu, selain ridha Allah, bisa jadi pada mulanya ia dianggap berhasil, tapi akan mengalami kegagalan di akhir perjuangannya.

Hati mengandung perasaan takut


Seperti dalam firman-Nya:

Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri menurunkan keterangan tentang itu. QS Ali Imran [3]: 151

Keimanan itu amat penting, bukan saja pada saat perang tapi dalam hidup ini. Yang pertama-tama harus ditanamkan kepada manusia adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang Esa, Allah Swt. Dia sebagai pencipta, penolong, pelindung, pemelihara, tempat bergantung, dan sebagai tempat kembali setelah mati.

Jika hati manusia sudah dipenuhi keyakinan bahwa hanya untuk Allah hidup dan mati, serta semua amalnya, maka seberat apa pun ujian hidup, tiada akan dia merasa takut tapi tawakkal. Seberat apa pun rintangan hidup itu akan dihadapinya dengan penuh kesabaran dan kepasrahan, sebab ia percaya pahit dan manisnya hidup, semuanya datang dari Tuhan. Setiap apa yang terjadi padanya dirasakannya sebagai hal yang terbaik untuknya.

Jadi iman itu yang membuat manusia merasa mantap menjalani hidup ini. Tiada yang ditakutkannya kecuali tidak memperoleh ridha Tuhannya. Oleh karena itu, orang yang beriman adalah orang yang selalu berjuang di jalan Allah Swt., sesuai dengan profesinya masing-masing, meskipun di hadapannya ada sejumlah rintangan.

Lain halnya dengan orang yang tujuannya bukan Allah, tapi kehidupan dunia ini. Sesungguhnya, ia menjalani hidup ini dengan hampa makna, meski seperti terlihat bahagia dan berlimpah materi. Pada saat merenung sendiri, hatinya berbisik, tiada ada artinya harta dan kedudukan ini sebab kehidupan dunia hanya sebentar saja.

Pada saat mati, semua yang dimilikinya tiada akan menemani, apalagi menolongnya dari kegelapan kubur dan siksa neraka. Demikian, akhirnya pada saat-saat tertentu dalam masa hidupnya ia akan selalu merasa ketakutan dan kekhawatiran yang sangat.

Hati mengandung penyesalan


Sebagaimana dalam firman Allah:

“…Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh‟. Akibat (dari perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka…”. QS Ali Imran [3]: 156

Ini adalah sikap orang-orang kafir (orang-orang munafik). Pernyataan itu mereka ungkapkan kepada saudara-saudara mereka yang melakukan perjalanan di muka bumi atau berperang. Kematian seseorang bukan karena ia ikut berperang atau tidak. Masalah hidup dan mati itu kehendak Allah Swt. sepenuhnya. Di mana pun manusia berada, dan kapan pun, jika Allah menghendaki ia mati, maka ia akan mati. Kematian juga tidak ditentukan oleh masalah usia, tua-muda, atau sehat-sakit, siapa pun akan mati jika saatnya sudah tiba.

Orang mukmin jangan sampai berpikiran seperti orang-orang munafik itu. Jika sampai orang mukmin bersikap seperti mereka, itu pertanda ia kurang iman kepada Allah Swt. Jangan sampai perjuangan di jalan Allah terhenti karena takut akan kematian. Kematian jangan ditakuti, karena setiap manusia pasti mengalaminya. Kematian juga merupakan pintu bertemu dengan Tuhan dan kehidupan abadi.

Menurut Said Nursi—sebagaimana dikutip Ali Unal (cendekiawan asal Turki)—kematian adalah sebuah rahmat bagi umat manusia karena

  1. membebaskan kita dari kesengsaraan hidup,

  2. membebaskan kita dari kehidupan dunia yang sama seperti penjara bawah tanah yang sempit, bergolak keras dan menekan.

Hati mengandung getaran


Seperti dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat- Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal”. QS Al-Anfal [8]: 2

Hati orang itulah yang bergetar ketika nama Allah sampai ditelinganya. Bergetar karena mengingat nasibnya di zaman yang akan datang, setelah mati. Ia belum tahu apakah Tuhan akan menerima atau menolak amalnya. Dengan demikian, mengingat mati seharusnya bisa mendorong orang untuk lebih rajin beribadah dan berusaha memperbaiki kekhilafan-kekhilafannya di masa lalu.

Disebutkan dalam QS Al-Mulk [67]: 2,

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Rasulullah Saw. pernah bersabda,

“Orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling sibuk mempersiapkan bekal untuk menghadapinya ialah yang paling cerdas. Ia pergi dengan kemuliaan dunia dan akhirat.”

Hati mengandung kebaikan


Sebagaimana dalam firman Allah:

Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu. QS Al-Anfal [8]: 70

Hal yang lebih baik itu atau karunia itu menurut Yusuf Ali berupa taufik Islam.

Selama hayat masih dikandung badan, pintu taubat akan selalu terbuka bagi manusia yang hatinya mau menerima Islam sebagai agamanya. Said bin Jabir berkata,

“Taubat adalah menyesali perbuatan buruk yang telah diperbuat dan bertekad untuk tidak lagi mengulangi perbuatan dosa tersebut serta menjauhi hal-hal yang menyebabkan dia terjerumus ke dalam dosa”.

Jika ia mau bertaubat, yakni bersedia mengucapkan syahadat, segala kesalahannya akan diampuni dan kehidupannya akan diganti dengan yang lebih baik dari sebelum memeluk Islam. Hal ini akan terjadi jika ia benar-benar mematuhi ajaran-ajaran Islam dan berusaha meningkatkan kualitas imannya.

Hati mengandung panas hati


Seperti dalam firman-Nya:

“Menghilanglah panas hati orang-orang mukmin. Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya. QS Al-Taubah [9]: 15

Orang-orang mukmin panas hati karena kaum musyrikin itu telah mengingkari perjanjian dengan Rasul di dekat Masjidilharam, yaitu Hudaibiyah, suatu tempat yang terletak dekat Makkah di jalan ke Madinah. Pada tempat itu Nabi Muhammad Saw. mengadakan perjanjian genjatan senjata dengan kaum musyrikin dalam masa 10 tahun.

Allah memerintahkan kaum muslimin untuk memerangi mereka, karena mereka sendiri yang memulai peperangan dan hendak mengusir Nabi beserta kaumnya.lxix Akan tetapi, umat Islam harus bisa menerima dengan senang hati kepada siapa saja yang menerima Islam sebagai agamanya, meskipun sebelumnya ia membenci Islam.

Hati mengandung keraguan


Sebagaimana dalam firman Allah:

Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya. QS Al-Taubah [9]: 45

Umat Islam pada masa Nabi itu diuji keimanan mereka dengan kesediannya untuk ikut berperang. Bagi yang imannya lemah, mereka merasa ragu untuk berperang karena takut berpisah dengan keluarga dan harta, dan tidak yakin dengan janji Allah berupa pahala di akhirat nanti.

Di zaman sekarang ini tentu ujian keimanan umat Islam tidak sama dengan umat Islam masa Nabi, terutama mereka yang hidup di negeri yang aman seperti Saudi Arabiya, Mesir, Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan lain sebagainya.

Keimanan mereka diuji dengan kesedian untuk hanya mencari harta dengan cara yang halal, bukan dengan cara menipu, merampok, korupsi, dan lain sejenisnya. Mereka yang sampai melakukan perbuatan buruk semacam itu karena didorong oleh hati yang cenderung pada harta dan keluarga. lxx Padahal, seorang mukmin itu harus lebih menerima hidup sederhana dibanding hidup mewah tapi hasil usaha yang tercela. Dengan kata lain, dalam menapaki perjuangan hidup di dunia ini, orang tidak boleh hanya karena cinta harta dan keluarga, lantas meninggalkan tuntunan agamanya.

Al-Jilani menuturkan bahwa pastikanlah setiap tindakan yang kau perbuat selalu di bawah bimbingan mentari tauhid, syara‟, dan takwa, sebab mentari ini akan mencegahmu dari keterperosokan ke dalam hawa nafsu dan setan.

Hati mengandung kemunafikan


Seperti dalam firman Allah:

“Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta”. QS Al-Taubah [9]: 77

Dalam dua ayat sebelum ayat ini dijelaskan bagaimana mereka berjanji untuk rajin bersedekah dan menjadi orang yang saleh, yaitu jika Allah Swt. memberikan karunia-Nya kepada mereka. Akan tetapi, setelah apa yang dimintanya itu terkabul, mereka ingkar janji. Mereka kikir, jika pun beramal, mereka riya‟. Inilah sifat orang munafik.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda,

“Ada tiga ciri orang munafik, yaitu: 1. Bila berkata, ia berdusta. 2. Bila berjanji, ia selalu ingkar. 3. Bila diberi amanat, ia berkhianat.”

Manusia zaman ini pun ada yang terkena sifat munafik seperti itu. Ketika hartanya belum cukup banyak, timbul bisikan dalam hati: bilakah Tuhan memberikan rezeki yang berlimpah, sehingga dengan rezeki itu saya mampu menolong penderitaan sesama; atau ada orang yang menolak bersedekah karena merasa belum kaya; ia menunda kesempatan beramal karena menunggu kesempatan kaya menghampirinya. Akan tetapi, pada saat keinginan hatinya tersebut terwujud, ia menjadi kaya, malah bersikap lebih kikir, elitis, dan malas beribadah.

Hati mengandung kedamaian


Sebagaimana dalam firman-Nya:

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin, supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada)”, (QS Al-Fath [48]: 4).

Yusuf Ali menjelaskan bahwa semua hasil itu diperoleh karena sikap yang tenang dan keberanian dengan kepala dingin di antara 1400 sampai 1500 orang yang tak bersenjata yang mendampingi Nabi ke Hudaibiyah itu, dan yang diancam dengan kekerasan oleh pemuka-pemuka Kuraisy Makkah yang sedang naik pitam. Kaum muslimin mulanya ragu terhadap langkah yang dibuat Nabi, yaitu mengadakan Perdamaian Hudaibiyah atau dikenal juga dengan Perjanjian Hudaibiyah.

Hati mengandung kesombongan

Sebagaimana dalam firman Allah:

“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat bertakwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya”, (QS Al-Fath [48]: 26).

Hamka memuji kepandaian Nabi Muhammad Saw. dalam bidang diplomasi politik. Menurutnya kesanggupan Nabi untuk menghilangkan bismillâh dan pangkat kerasulannya merupakan sebuah langkah takwa. Intinya, Nabi ingin agar di antara orang-orang kafir itu dengan Nabi ada perjanjian damai, dan usaha tersebut berhasil. lxxiv Yusuf Ali menjelaskan bahwa Nabi bersikap tenang dan sabar menghadapi sikap orang kafir itu.lxxv

Hati mengandung keimanan


Seperti dalam firman Allah:

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ”Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah „kami telah tunduk”, karena iman belum masuk ke dalam hatimu,… QS Al-Hujurât [49]: 14

Iman itu tidak cukup hanya diucapkan di mulut, tapi dirasakan dalam hati; orang yang beriman bukan orang yang rajin melakukan ritual ibadah mahdhah, tapi enggan ikut serta dalam ibadah ghair mahdhah seperti berjuang di jalan Allah dan melakukan aktivitas sosial dan kemanusiaan. Kalau orang bersikap seperti ini jangan mengaku diri telah beriman, karena belum sempurna imannya.

Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa iman ialah rasa, bukan pengertian. Iman yang sebenarnya bukan terletak pada mengerti melainkan pada rasa iman. Tegasnya, selalu melihat Allah atau dilihat Allah. Kondisi begini sama sekali tidak bisa diterangkan dan dipahami dengan akal yang ada di kepala.

Hati mengandung cinta dan kasih sayang

Sebagaimana dalam firman Allah:

“Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang…”. QS Al-Hadîd [57]: 27

Menurut Hamka terkenal bahwa pengikut-pengikut Nabi Isa itu mementingkan kesucian batin, sehingga banyak yang tidak perduli kepada dunia lagi. Mereka mendirikan biara-biara di tempat-tempat yang jauh terpencil dari masyarakat ramai, untuk membuat batin lebih tenteram.

Dari sangat mendalamnya rasa keberagamaan itu, mereka sendirilah yang mengadakan peraturan kependetaan, rahbaniyyah, yaitu tidak mau kawin-kawin lagi, sebab menentukan hidup seluruhnya untuk agama dan bakti.

Di dalam Islam, agama yang dibawa Muhammad Saw. ini tidak dibenarkan konsep rahbaniyyah seperti itu. Nabi sendiri mempunyai istri dan anak, serta tidak pula ia pergi mengasingkan diri menghindari pergaulan masyarakat. Nabi bukan saja dikenal sebagai pemimpin agama tapi sekaligus berperan sebagai kepala Negara.

Akan tetapi, jabatan-jabatan yang dipikulnya tersebut sama sekali tidak mengurangi kuantitas maupun kualitas ibadah beliau kepada Tuhannya. Rasulullah Saw. mendidik umatnya, sebagaimana terbaca dalam sejarah hidup beliau, untuk hidup dalam kesetimbangan antara kepentingan duniawi dengan ukhrawi, hubungan horizontal dengan vertikal.

Hati mengandung kedengkian


Seperti dalam firman Allah:

“Ya Tuhan kami berilah ampunan kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. QS Al-Hasyr [59]: 10

Menurut Ibnu Taimiyah dengki (hasad) merupakan kemarahan dan kebencian terhadap apa yang dilihatnya (tentang kebaikan yang dicemburui).lxxviii
Salah satu tanda iman itu adalah memberikan rasa aman dan tenteram kepada perasaan orang lain. Sifat dengki itu akan menimbulkan kegelisahan bagi orang lain yang hatinya lembut dipenuhi iman, juga pendengki itu sendiri. Di sinilah mengapa Hamka mengatakan bahwa sifat dengki itu dapat merusak iman. Artinya, belum sempurna iman orang yang di dalam hatinya ada perasaan dengki terhadap sesama.
Nabi Muhammad menyebut dengki dalam sebuah hadis muttafaq 'alaih dari Ibnu Mas‟ud dan Ibnu Umar bahwa dia bersabda,

“Tidaklah patut dicemburui kecuali dalam dua hal: seseorang diberi karunia kebijaksanaan oleh Allah kemudian dia memutuskan perkara berdasarkan ilmunya tersebut dan mengajarkannya; dan seorang yang diberi harta dan membelanjakannya kepada jalan yang benar”.

Hati itu tentatif. Kandungan hati itu kadang mengarah pada hal yang baik, tapi sering juga mengarah kepada yang buruk. Kandungan hati yang pertama disebut misalnya, keberanian, getaran (tanda iman), kebaikan, kedamaian, iman, cinta dan kasih sayang. Sedangkan kandungan hati yang kedua misalnya, kufur, kesesatan, penyakit, takut, penyesalan, panas hati, keraguan, kemunafikan, kesombongan, dan kedengkian.

Menurut Ahmad Mubarok sesuai dengan karakternya yang bolak balik, maka kadar kandungan hati dapat berubah-ubah, seringkali didominasi oleh satu atau dua hal, dan di lain waktu didominasi oleh satu atau dua hal yang lain. Hati manusia dapat berpindah dari satu titik ekstrem ke ekstrem lainnya.

Hati harus dijaga agar iman menjadi kuat di dalamnya, sehingga mereka percaya bahwa yang baik itu iman dan membenci sifat-sifat buruk. Manusia terbagi dua:

  • Pertama, ada yang dapat menahan hatinya dari perbuatan-perbuatan jahat karena dikontrol oleh imannya;

  • Kedua, ada pula yang lemah kontrol batinnya, sehingga ia sering melakukan pelanggaran-pelanggaran. Akan tetapi, di dalam hati kecilnya setiap manusia pasti mengakui, bahwa setiap kali ia melakukan keburukan atau menyimpang dari ajaran agamanya, ia sadar langkahnya itu salah dan yang ia perbuat itu bukanlah suatu hal yang benar.

Sumber : Jejen Musfah, Hati dalam tafsir al-azhar Hamka, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta