Hal-hal apa saja yang membentuk rasa ikhlas dalam diri manusia?

Ikhlas

Ikhlas adalah sebuah sikap kejiwaan seorang muslim yang selalu berprinsip bahwa semua amal dan jihadnya karena Allah swt. hal itu ia lakukan demi meraih rida dan kebaikan pahala-Nya, tanpa sedikitpun melihat pada prospek (keduniaan), derajat, pangkat, kedudukan, dan sebagainya.

Hal-hal apa saja yang membentuk rasa ikhlas dalam diri manusia ?

Untuk memperoleh sifat ikhlas diperlukan beberapa sifat atau sikap sebagai penunjang kesempurnaan yang harus ada dalam sifat ikhlas dan sekaligus sebagai quality control bagi keikhlasan itu sendiri, di antaranya adalah sebagai berikut:

Tawakal

Tawakal (tawakkul) berasal dari kata wakala, artinya menyerah kepada-Nya. Dalam agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan. Tawakal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya, Dia yang menguasai dan mengatur alam semesta ini, keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah, hatinya tenang dan tenteram serta tidak ada rasa curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.

Tawakal tidak didapati kecuali sesudah mengimani empat hal yang merupakan rukun-rukun tawakal, yaitu:

  • Beriman bahwa Allah Maha Mengetahui segala apa yang dibutuhkan oleh si muwakil;
  • Beriman bahwa Allah Maha Kuasa dalam memenuhi kebutuhan muwakil;
  • Beriman bahwa Allah tidak kikir;
  • Beriman bahwa Allah memiliki cinta dan rahmat kepada muwakil.

Sebagai tanda tawakal kita kepada Allah, kita yakin bahwa segala sesuatu yang datang pada diri kita, adalah yang terbaik bagi kita, tiada keraguan sedikit pun di dalam hati, apabila mempunyai perasaan untuk menghindarinya, segala sesuatu yang menimpa kita, meskipun hal itu terasa pahit dan pedih bagi kita, kalau hal itu datang dari-Nya, tentulah hal itu yang terbaik bagi kita, inilah bentuk tawakal sesungguhnya.

Barang siapa bertawakal kepada Allah maka Allah akan mencukupinya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak diduga-duga. Allah Maha Kuasa untuk mengirimkan bantuan kepada hamba-hamba-Nya dengan berbagai cara, termasuk cara yang bagi manusia tidak masuk akal Allah adalah satu-satunya tempat mengadu saat kita susah. Allah senantiasa mendengar pengaduan hamba- hamba-Nya. Dalam banyak hal, peristiwa-peristiwa di alam ini masih dalam koridor sunnatulah, artinya masih dapat diurai sebab musababnya, hal ini mengajarkan kepada kita agar kita kreatif dan inovatif dalam kehidupan ini.

Sabar

Sabar merupakan bentuk pengendalian diri atau kemampuan menghadapi rintangan, kesulitan menerima musibah dengan ikhlas dan dapat menahan marah, titik berat nurani (hati). Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba, dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan.

Sabar adalah sikap menahan diri dan membawanya kepada yang diperintahkan oleh Allah dan akal serta menghindarkannya dari apa yang dibenci keduanya. Jadi, sabar ialah suatu kekuatan, daya positif yang memotivasi jiwa, hati, akal, memotorik indra dan fisik untuk menunaikan kewajiban dan suatu kekuatan (daya) preventif yang dapat menghalangi seseorang untuk melakukan kejahatan dan kerusakan.

Sabar adalah menahan diri dari dorongan hawa nafsu demi menggapai keridaan Tuhannya dan menggantinya dengan bersungguh-sungguh menjalani cobaan-cobaan Allah swt terhadapnya. Sabar dapat didefinisikan pula dengan tahan menderita dan menerima cobaan dengan hati rida serta menyerahkan diri kepada Allah swt setelah berusaha. Selain itu, sabar bukan hanya bersabar terhadap ujian dan musibah, tetapi juga dalam hal ketaatan kepada Allah swt yaitu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Sabar terbagi tiga macam, yaitu sebagai berikut.

  • Sabar dari maksiat, artinya bersabar diri untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama, untuk itu, sangat dibutuhkan kesabaran dan kekuatan dalam menahan hawa nafsu,

  • Sabar karena taat kepada Allah swt artinya sabar untuk tetap melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi segala larangan-Nya dengan senantiasa meningkatan ketakwaan kepada-Nya, dan

  • Sabar karena musibah, artinya sabar cobaan dari Allah swt.

Syukur

Kata Syukur diambil dari kata syakara, syukuran, yang berarti berterima kasih kepada-Nya. Menurut Kamus Arab-Indonesia, kata syukur diambil dari kata syakara, yaskuru, syukran yang berarti mensyukuri-Nya, memuji-Nya. Syukur berasal dari kata syukuran yang berarti mengingat akan segala nikmat-Nya. Sedangkan menurut istilah adalah tidak mendurhakai Allah atas nikmat yang telah dikaruniakan. Bersyukur tidak ada hubungannya dengan nasib yang digariskan kepadanya.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa syukur menurut istilah adalah bersyukur dan berterima kasih kepada Allah swt, lega, senang dan menyebut nikmat yang diberikan kepadanya dimana rasa senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun perbuatan, berterima kasih kepada Allah swt tanpa batas dengan sungguh-sungguh atas segala nikmat dan karunianya dengan ikhlas serta mentaati apa yang diperintahkannya

Dalam kitab Ihya Ulumudin Imam Ghazali menguraikan bahwa syukur itu tersusun dalam tiga hal yaitu ilmu, keadaan dan perbuatan.

  • Ilmunya adalah dengan menyadari bahwa kenikmatan yang diterimanya itu semata-mata dari zat yang Maha Pemberi kenikmatan.

  • Keadaannya ialah menyatakan kegembiraan yang timbulnya sebab memperoleh kenikmatan tadi,

  • Amalannya ialah menunaikan sesuatu yang sudah pasti menjadi tujuan serta dicintai oleh zat yang memberi kenikmatan itu untuk dilaksanakan.

Syukur ada tiga macam yaitu:

  • Syukur dengan hati, yaitu mengerti bahwa segala nikmat itu dari Allah,

  • Syukur dengan lisan adalah dengan cara memperbanyak pujian kepada-Nya dan selalu memperbarui nikmat yang diterimanya. Maksudnya adalah dengan banyak Mengucap hamdallah karena langkah pertama dan utama dalam bersyukur. Lafadz alhamdulllah termasuk yang paling baik diucapkan secara lisan.

    Nabi bersabda,

    “Ucapan Alhamdulillah itu memenuhi timbangan (amal kebaikan).

  • Syukur dengan semua anggota, yaitu semua anggota menjalankan amal-amal sholeh. Semua aggota badan mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki tidak digunakan untuk mengerjakan maksiat, akan tetapi hendaklah digunakan untuk menjalankan berbagai amal kebajikan.39 Dan perkara yang diridhai Allah dan mencegah dari perkara yang dimurkai Allah, serta tidak mengalokasikan nikmat-nikmat tersebut pada tempat yang mengundang kutukan dan azab Allah.

Zuhud

Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang di kasihi dan berpaling dari padanya kepada sesuatu yang lain, yang lebih baik daripadanya, karena itu sikap seseorang yang meninggalkan kasih akan dunia karena mengigihkan sesuatu didalam akhirat itulah yang dikatakan zuhud .

Pengertian zuhud ini ada tiga macam, yaitu:

  • Meninggalkan sesuatu karena mengigihkan sesuatu yang lebih baik daripadanya,

  • Meninggalkan keduniaan karena mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan, dan

  • Meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencintai-Nya.

Sudah banyak orang yang membahas masalah zuhud dan masing-masing mengungkap menurut perasaannya, berbicara menurut keadaanya. Padahal pembicaraan menurut bahasa ilmu, jauh lebih luas dari pada berbicara berdasarkan bahasa perasaan, yang sekaligus lebih dekat kepada hujjah dan bukti keterangan.

Yang pasti para ulama sudah bersepakat bahwa zuhud itu merupakan perjalanan hati dari kampung dunia dan menempatkannya di akhirat, kaitan zuhud ini ada enam macam yaitu harta, rupa , kekuasaan, manusia, nafsu, dan hal-hal selain Allah swt, dan seseorang itu tidak layak mendapat sebuah zuhud kecuali menghindari enam macam tersebut. Adapun tingkatan yang lain yaitu:

  • Orang yang merasa berat untuk bersikap zuhud terhadap dunia, ia berjuang untuk meninggalkannya, pada hal ia sangat mengigihkannya, orang seperti ini disebut mutazahhid (orang yang masih belajar untuk berzuhud), dan ini adalah langkah awal untuk menuju zuhud, semoga saja ia menjadi orang zuhud di kemudian hari,

  • Orang yang meninggalkan dunia (berzuhud) dengan suka rela karena ia menggangapnya hina, namun ia masih punya hasrat terhadap dunia, ia seperti orang yang meninggalkan satu dirham demi mendapatkan dua dirham, hal seperti ini tidaklah berat baginya, namun ia tetap tidak terbebas dari sikap memperhatikan sesuatu yang ditinggalkannya dan masih memperhatikan kondisi dirinya, sikap ini masuk kategori zuhud, namun masih belum sempurna,

  • Orang yang menganggap dunia tidak ada arti baginya, ia menjadi seperti seorang yang meninggalkan setumpuk kotoran untuk mengambil mutiara namun tidak menganggap hal demikian sebagai bentuk ganti rugi, ia berpandangan bahwa penjauhan diri terhadap dunia yang di hubungkan dengan kenikmatan akhirat atau Allah adalah lebih hina dari pada meninggalkan setumpuk kotoran yang dihubungkan dengan mutiara, jadi disini tidak ada hubungan antara satu sama lain yang didasarkan untuk memperoleh ganti rugi karena meninggalkan dunia.

Ada juga mengenal orang zahid (yang hidup zuhud), tiga tingkatan yang mencerminkan proses kejiwaan seorang salik dalam menempuh kehidupan zuhud itu, yaitu:

  • Zuhud orang mubtadi (pemulaan) yaitu orang yang permulaan menjalani akan jalan yang menyampaikan kepada makrifah akan Allah itu, yaitu orang yang di dalam hatinya masih ada rasa kasih dan cenderung kepada keduniaan, tetapi ia bersungguh-sungguh melawan hawa nafsunya;

  • Orang yang pertengahan jalan itu yaitu orang yang telah mudah hatinya meninggalkan akan dunia itu, tiada lagi kasih akan dunia itu;

  • Orang yang mubtadi, yakni orang-orang yang arif, yang bagi mereka dunia itu seperti “kotoran” saja tidak ada nilainya lagi, sehingga segenap hati mereka sudah menghadap ke akhirat.

Masih ada satu tingkat lagi, yaitu orang yang meninggalkan daripada hatinya yang lain dari pada Allah, baik duia maupun akhirat.

Wara’

Wara‟ dalam tradisi sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau belum jelas hukumnya (syubhat), hal ini berlaku pada segala hal atau aktivitas kehidupan manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku, seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri, bersantai, bekerja dan lain-lain. Di samping meninggalkan segala sesuatu yang belum jelas hukumnya, dalam tradisi warak juga berarti meninggalkan segala halal yang berlebihan, baik berwujud benda maupun perilaku, lebih dari itu juga meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat atau tidak jelas manfaatnya disebut wara„ dalam dunia sufi.

Wara berarti meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apapun yang berlebihan.

Selaras dengan penjelasan tersebut, wara„ dalam kehidupan lebih sulit daripada menjauhi emas dan perak, serta zuhud dari kekuasaan lebih sulit dibandingkan dengan menyerahkan emas dan perak karena manusia siap mengorbankan emas dan perak demi kekuasaan. Wara adalah titik tolak zuhud, sebagaimana sikap puas terhadap yang ada adalah bagian dari ridha.

Dalam konteks kehidupan saat ini, emas dan perak merupakan logam mulia yang sangat berharga dan harganya sangat mahal, sehingga tidak mudah untuk mendapatkannya. Begitu juga dengan warak yang dikatakan lebih sulit merupakan sebuah tindakan yang sangat hati-hati dan cukup sulit untuk dilakukan karena harus meninggalkan atau melakukan sesuatu yang kelihatannya baik atau sebaliknya namun susah dibedakan atau dipisahkan.

Kekayaan, gelar, jabatan, atau status sosial lainnnya bagi seorang sufi bukanlah hal yang menentukan kualitas seseorang di mata Allah swt, yang menentukan derajat seseorang adalah sejauh mana segala hal tersebut mengandung nilai-nilai. Nilai yang dapat mensucikan diri dari kotoran yang telah menjauhkannya dari kodrat asal penciptaannya yang paling sempurna dibanding makhluk lain.

Secara psikologis, seseorang yang banyak melakukan dosa atau pelanggaran etik dan moral akan menjadikan dirinya dihantui oleh perasaan cemas dan takut, yang dalam istilah psikoanalisis disebut kecemasan moral, selanjutnya hal ini akan berdampak negatif atau menimbulkan penyakit baik fisik maupun psikis, karena perasaan ini akan senantiasa terpendam dalam alam bawah sadarnya. Untuk menjaga diri seorang dari penyakit di atas tidak lain adalah dengan menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau pelanggaran etika, yakni dengan mengendalikan segala hasrat, keinginan dan nafsu serta pengaruh lingkungan sekitarnya, selanjutnya hanya mengikuti apa yang didorongkan oleh hati nuraninya.

Dengan kata lain, untuk menghindarkan diri dari penyakit baik fisik maupun psikis, seseorang harus mampu mengontrol keinginan dan nafsunya, serta tidak melakukan sesuatu hanya karena mendatangkan kesenangan dan menghindari kesusahan, atau hanya mengharap imbalan, namun melakukan sesuatu tersebut hanya karena sesuatu tersebut memang seharusnya dilakukan, banyak hal yang telah dicontohkan Rasulullah saw dalam kehidupan dunia ini dan pada dasarnya semua orang akan bisa melakukan hal-hal yang berkaitan dengan warak tersebut, hingga pada akhirnya akan mengenal Allah dan dirinya.

Referensi
  • Rachmat Ramadana, Aktivasi Ikhlas Menjadi Ikhlas dalam 40 hari (Yogyakarta: 2012)
  • Abdullah bin Umar Al-Dumaiji, Al-Tawakkal Alallah Ta’al (Jakarta : PT Darul Falah,tt)
  • Labib, Rahasia Kehidupan Orang Sufi, Memahami Ajaran Thariqot dan Tasawuf (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, t.t)
  • Imam Khomeini, Insan Ilahiah; Menjadi Manusia Sempurna dengan Sifat-sifat Ketuhanan : Puncak Penyingkapan Hijab-hijab Duniawi (Jakarta : Pustaka Zahra, 2004)
  • Supriyanto, Tawakal Bukan Pasrah (Jakarta : Qultum Media, 2010)
  • Ibnu Qayyim Al-Zaujiyyah, Al-Fawa‟id (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 1998)
  • Zainudin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam 2: Muamalah dan Akhlak (Bandung: Pustaka setia, 1999)
  • Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
  • Budi Handrianto, Kebeninga Hati dan Pikiran (Jakarta: Gema Insani,2002)
  • Imam Alghazali, Ihya „Ulumuddin (Bandung:Diponegoro,1975)
  • Kasmuri Selamat, Rahmat di Balik Cobaan (Jakarta: Kalam Mulia, 2005)
  • Zaenal Abidin, Mencari Kunci Rezeki yang Hilang (Jakarta: Menara Indo Pena)
  • Imam Ahmad bin Hambal , Al-Zuhud ( Dar Al-Rayyan Lit-Turats Cairo)
  • Ibnu Qayyim Al-Zaujiyyah, Madarijus Salikin (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 1998)
  • M.Chatib Quzwain, Mengenal Allah (Jakarta: P.T Bulan Bintang,1985)
  • Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset: 2002)
  • Hadi Mutamam, Maqam-Maqam Sufi dalam Alqur‟an (Yogyakarta, Al-Manar: 2009).

Keikhlasan berarti memenuhi semua perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, setiap perbuatan, langkah, kata-kata dan Doa hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mencari ridha-Nya. Untuk mendapatkan itu semua keikhlasan tidak datang dengan sendirinya,keikhlasan adalah suasana hati yang harus diusahakan setiap Muslim.

Tidak mudah memperoleh keikhlasan dalam diri seorang muslim. Diatara cara untuk mendapatkanya diantaranya :

  1. Dengan menumbuhkan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan dengan kecintaan yang mendalam, setelah memahami kebesaran-Nya.Bahwa tidak ada kekuatan lain selain Allah Subhanahu wa Ta’ala,bahwa hanya Allah yang menciptakan alam semesta dari ketiadaan dan yang memelihara makhluk hidup penuh dengan Rahman dan Rahim-Nya,oleh karena itu keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya pengakuan yang harus dicari.

    Rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, muncul dari pemahaman dan penghargaan akan kebesaran dan kekuatan-Nya,seseorang yang memahami kebesaran kuasa Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kekuatan abadi-Nya,akan mengetahui bahwa ia bisa saja menghadapi murka dan hukuman-Nya, sebagai bagian dari keadilan Ilahi Rabb,jika ia tidak mampu mengarahkan hidupnya seseuai dengan keinginan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

  2. Mengharapkan balasan hanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibadah apapun bila dilakukan hanya untuk mencari ridha-Nya,pasti akan membuahkan balasan syurga.Seseorang harus berpikir yang membuat ikhlas dalam perbuatannya adalah melakukannya dengan murni dan tulus karena perintah Allah dan tujuan adalah mencapai keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

  3. Menguatkan hati nurani. Kata hati adalah kekuatan yang dipercayakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia,untuk menunjukkan jalan yang benar,kata hati akan mengingatkan manusia akan syehtan yang ada dalam jiwa mereka dan segala macam sikap serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan Al Qur’an, setiap manusia secara naluri mengetahui bisikan yang terdengar adalah suara hati nuraninya dan alasan-alasan yang ia ajukan untuk mengabaikan suara tersebut,yang lebih penting adalah keikhlasan diharapkan dapat diperoleh dengan memahami,kehidupan dunia adalah sementara dan sangat singkat, sementara kehidupan di akhirat adalah kekal abadi.

1 Like