Hal-hal Apa Saja Yang Dapat Membatalkan Suatu Perjanjian di Mata Hukum?

image

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1313, dijelaskan bahwa perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Sedangkan menurut Prof. Subekti, “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”

Beberapa hal yang dapat membatalkan perjanjian adalah sebagai berikut,

Batal Karena Tidak Terpenuhinya Salah Satu Syarat Sah Perjanjian

Sahnya perjanjian harus memenuhi syarat- syarat yang disebutkan dalam undang-undang. Syarat-syarat tersebut terdiri dari syarat subjektif, dan syarat objektif. Tidak terpenuhinya syarat subjektif, yaitu kata sepakat dan kecakapan para pihak pembuatnya, membuat perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat objektif, yakni hal tertentu dan kausa yang halal, menyebabkan perjanjiannya batal demi hukum.

Dalam hal demikian dari semula dianggap tidak ada perjanjian dan perikatan yang timbul tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain telah gagal, tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan karena jabatannya menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.[1]

Batal Karena Terpenuhi Syarat Batal Dalam Perikatan Bersyarat

Perikatan bersyarat merupakan salah satu bentuk perikatan yang dikenal dalam masyarakat. Dalam KUH Perdata sendiri perikatan bersyarat didefinisikan sebagai perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi. Perikatan dengan syarat ini dibedakan menjadi dua, yakni perikatan dengan syarat tangguh dan perikatan dengan syarat batal. Perikatan dengan syarat tangguh yakni menangguhkan lahirnya perikatan hingga syarat yang dimaksud terjadi. Sedangkan perikatan dengan syarat batal, perikatan yang sudah lahir justru berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Dalam prakteknya syarat batal ini sering dicantumkan dalam klausul yang mengatur tentang kemungkinan terjadinya pembatalan perjanjian beserta penyebab dan konsekuensinya bagi para pihak.

Pembatalan kontrak yang diatur dalam perjanjian (terminasi) dapat dilakukan dengan penyebutan alasan pemutusan perjanjian, dalam hal ini dalam perjanjian diperinci alasan-alasan sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat memutus perjanjian. Maka dalam hal ini tidak semua wanprestasi dapat menyebabkan salah satu pihak memutuskan perjanjiannya, tetapi hanya wanprestasi yang disebutkan dalam perjanjian saja. Cara lain pembatalan kontrak yang diatur dalam perjanjian yakni dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sebenarnya hal ini hanya penegasan saja, karena tanpa penyebutan tentang hal tersebut, demi hukum, perjanjian dapat diterminasi jika disetujui oleh kedua belah pihak.

Pengenyampingan pasal 1266 KUH Perdata juga sangat sering dicantumkan dalam perjanjian untuk mengatur pemutusan perjanjian. Pengenyampingan pasal ini mempunyai makna bahwa jika para pihak ingin memutuskan perjanjian mereka, maka para pihak tidak perlu harus menempuh prosedur pengadilan, tetapi dapat diputuskan langsung oleh para pihak. Pengenyampingan pasal 1266 ini sendiri sebenarnya masih merupakan kontroversi diantara para ahli hukum maupun praktisi. Beberapa Ahli Hukum maupun Praktisi berpendapat bahwa wanprestasi secara otomatis mengakibatkan batalnya perjanjian. Sehingga wanprestasi dipandang sebagai syarat batal suatu perjanjian. Dalam hal ini pasal 1266 KUH Perdata harus secara tegas dikesampingkan, beberapa alasan yang mendukung pendapat ini misalnya pasal 1338 ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya, sehingga pengesampingan pasal 1266 KUH Perdata ini harus ditaati oleh kedua belah pihak, ditambah lagi bahwa jalan yang ditempuh melalui pengadilan akan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama sehingga hal ini tidak efisien bagi para pelaku bisnis.[2]

Disamping penentuan pemutusan tidak lewat pengadilan, biasanya ditentukan juga pemutusan perjanjian oleh para pihak tersebut. Sering ditentukan dalam perjanjian, bahwa sebelum diputuskan suatu perjanjian, haruslah diperingatkan pihak yang tidak memenuhi prestasinya untuk melaksanakan kewajibannya. Peringatan ini bisa dilakukan dua atau tiga kali. Bila peringatan tersebut masih tidak diindahkan, maka salah satu pihak dapat langsung memutuskan perjanjian tersebut.[3]

Pemberian peringatan seperti ini sejalan dengan pasal 1238 KUH Perdata:

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.“ [4]

Beberapa Praktisi maupun Ahli Hukum lain menyatakan bahwa wanprestasi tidak secara otomatis mengakibatkan batalnya perjanjian tetapi harus dimintakan kepada hakim. Hal ini didukung oleh alasan bahwa jika pihak debitur wanprestasi maka kreditur masih berhak mengajukan gugatan agar pihak debitur memenuhi perjanjian. Selain itu berdasarkan pasal 1266 ayat 4 KUH Perdata, hakim berwenang untuk memberikan kesempatan kepada debitur, dalam jangka waktu paling lama satu bulan, untuk memenuhi perjanjian meskipun sebenarnya debitur sudah wanprestasi atau cedera janji. Dalam hal ini hakim mempunyai discrecy untuk menimbang berat ringannya kelalaian debitur dibandingkan kerugian yang diderita jika perjanjian dibatalkan.[5]

Untuk memutuskan apakah wanprestasi merupakan syarat batal atau harus dimintakan pembatalannya kepada hakim, Suharnoko berpendapat harus dipertimbangkan kasus demi kasus dan pihak yang membuat perjanjian. Penulis sendiri sepakat dengan pendapat Suharnoko, pengenyampingan pasal 1266 KUH Perdata yang membuat wanprestasi sebagai syarat batal tidak menjadi masalah jika kedua pihak menyepakati dan menerima bahwa memang telah terjadi wanprestasi dari salah satu pihak, dan kedua pihak sepakat untuk membatalkan perjanjian, namun yang menjadi masalah jika pihak yang dituduh melakukan wanprestasi mengelak bahwa ia melakukan wanprestasi, sehingga pembatalan lewat pengadilan diperlukan selain terlebih dahulu untuk menentukan apakah memang ada wanprestasi atau tidak, juga untuk menghindari kesewenang- wenangan salah satu pihak yang memutuskan perjanjian sepihak tanpa alasan yang dibenarkan oleh undang-undang sehingga merugikan pihak lainnya.

Sedangkan pendapat yang menyebutkan bahwa pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan, akan menjadi masalah jika hal tersebut dimanfaatkan oleh debitur untuk menunda pembayaran kredit atau melaksanakan kewajibannya, karena proses melalui pengadilan membutuhkan biaya yang mahal dan waktu yang tidak sebentar. Oleh karena hal-hal di atas, diperlukan pertimbangan dari kasus perkasus dan pihak yang membuat perjanjian dalam hal memutuskan apakah wanprestasi merupakan syarat batal atau harus dimintakan pembatalannya kepada hakim.

Pembatalan Karena Adanya Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Seseorang yang berjanji, tetapi tidak melakukan apa yang dijanjikannya, ia alpa, lalai atau ingkar janji atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya, maka ia dikatakan wanprestasi.[6]

Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) dapat berupa empat macam: [7]

  • Tidak melakukan apa yang disanggupinya akan dilakukannya;
  • Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
  • Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
  • Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Terhadap kelalaian atau kealpaan seseorang, diancamkan beberapa sanksi atau hukuman, yakni:[8]

  • Membayar kerugian yang diderita pihak lain yang mengalami kerugian, atau dengan singkat dinamakan ganti rugi (pasal 1243 KUH Perdata)
  • Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian melalui pengadilan (pasal 1266 KUH Perdata)
  • Meminta pemenuhan perjanjian, atau pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi dan pembatalan perjanjian disertai ganti rugi (pasal 1267 KUH Perdata)

Dari uraian di atas, terjadinya ingkar janji atu wanprestasi dari pihak-pihak dalam perjanjian, pihak yang dirugikan dapat meminta pembatalan perjanjian.

Pembatalan perjanjian dengan alasan wanprestasi sudah sering terjadi, dan dianggap wajar. Apalagi jika alasan itu dibenarkan dalam termination clause yang sudah disepakati bersama kedua pihak. Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi salah satu pihak, dalam KUH Perdata, terdapat pengaturan pada pasal 1266, yaitu suatu pasal yang terdapat dalam bagian kelima Bab I, Buku III, yang mengatur tentang perikatan bersyarat. Undang-Undang memandang kelalaian debitur sebagai suatu syarat batal yang dianggap dicantumkan dalam setiap perjanjian. dengan kata lain, dalam setiap perjanjian dianggap ada suatu janji (clausula) yang berbunyi demikian “apabila kamu, debitur, lalai, maka perjanjian ini akan batal.“[9]

Walaupun demikian perjanjian tersebut tidak secara otomatis batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim, hal ini juga harus tetap dilakukan walaupun klausula atau syarat batal tadi dicantumkan dalam perjanjian.[10]

Pasal 1266 KUH Perdata, menjadi dasar bahwa hakimlah yang menentukan apakah telah terjadi wanprestasi atau tidak dalam suatu kontrak.

Sebenarnya, pengakhiran kontrak sepihak karena wanprestasi tanpa putusan dari hakim tidak menjadi masalah kalau pihak lain juga menerima keputusan itu. Tetapi kalau salah satu pihak menolak dituduh wanprestasi, maka para pihak sebaiknya menyerahkan keputusan kepada hakim untuk menilai ada tidaknya wanprestasi. Jika hakim menyatakan perbuatan wanprestasi terbukti dan sah, maka ingkar janji itu dihitung sejak salah salah satu pihak mengakhiri perjanjian.

Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Jika suatu pihak telah menerima sesuatu dari pihak lainnya, baik uang ataupun barang, maka uang atau barang tersebut harus dikembalikan.

Pembatalan Perjanjian Secara Sepihak

Pembatalan sepihak atas suatu perjanjian dapat diartikan sebagai ketidaksediaan salah satu pihak untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian. Pada saat mana pihak yang lainnya tetap bermaksud untuk memenuhi prestasi yang telah dijanjikannya dan menghendaki untuk tetap memperoleh kontra prestasi dari pihak yang lainnya itu.

Seperti yang kita ketahui bahwa perjanjian yang sah, dalam arti memenuhi syarat sah menurut undang-undang, maka berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Seperti yang tercantum dalam pasal 1338 (1) KUH Perdata. Sedangkan pada ayat (2) menyebutkan bahwa:

“persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang- undang dinyatakan cukup untuk itu“ [11]

Dari pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata tersebut, jelas bahwa perjanjian itu tidak dapat dibatalkan sepihak, karena jika perjanjian tersebut dibatalkan secara sepihak, berarti perjanjian tersebut tak mengikat diantara orang-orang yang membuatnya. Jika dilihat dari pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, maka jelas diatur mengenai syarat batal jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Pembatalan tersebut harus dimintakan ke pengadilan, hal ini dimaksudkan agar nantinya tidak ada para pihak yang dapat membatalkan perjanjian sepihak dengan alasan salah satu pihak lainnya tersebut tidak melaksanakan kewajibannya (wanprestasi).

Menurut pasal 1266 KUH Perdata, ada tiga hal yang harus diperhatikan sebagai syarat supaya pembatalan itu dapat dilakukan. Tiga syarat itu adalah:

  • perjanjian bersifat timbal balik
  • harus ada wanprestasi
  • harus dengan putusan hakim

Perjanjian timbal balik, seperti yang telah dijelaskan di atas dimana kedua pihak memenuhi kewajibannya masing-masing, yakni prestasi. Jika salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi mengenai syarat pokoknya dari perjanjian, maka dapat diajukan gugatan permintaan pembatalan perjanjian kepada hakim.[12]

Ada beberapa teori hukum yang terkait dengan pembatalan perjanjian secara sepihak, yaitu repudiasi terhadap perjanjian. Repudiasi (repudiation, anticepatory) adalah pernyataan mengenai ketidaksediaan atau ketidakmampuan untuk melaksanakan perjanjian yang sebelumnya telah disetujui, pernyataan mana disampaikan sebelum tiba waktu melaksanakan perjanjian tersebut. Repudiasi dalam pengertian itu disebut repudiasi anticepatory yang berbeda dengan repudiasi biasa (ordinary) yaitu pembatalan yang dinyatakan ketika telah masuk masa pelaksanaan perjanjian.[13]

Konsekuensi yuridis dari adanya repudiasi atas suatu kontrak adalah dapat menunda atau bahkan membebaskan pihak lain dari kewajiban melaksanakan prestasi dari perjanjian tersebut; dan di sisi lain memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat segera menuntut ganti rugi, sungguhpun kepada pihak yang melakukan repudiasi belum jatuh tempo untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian.[14]

Suatu tindakan repudiasi atas suatu perjanjian dapat diwujudkan dengan cara yaitu:[15]

  • Repudiasi secara tegas. Maksudnya pihak yang menyatakan repudiasi menyatakan kehendaknya dengan tegas bahwa dia tidak ingin melakukan kewajibannya yang terbit dari perjanjian.
  • Repudiasi secara inklusif. Di samping secara tegas-tegas, maka tindakan repudiasi dapat juga dilakukan tidak secara tegas, tetapi secara inklusif. Maksudnya dari fakta- fakta yang ada dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu pihak telah tidak akan melakukan kewajibannya yang terbit berdasarkan perjanjian. Kriteria utama terhadap adanya repudiasi inklusif adalah bahwa pihak yang melakukan repudiasi menunjukkan tindakan atau maksudnya secara logis dan jelas (reasonably clear) bahwa dia tidak akan melaksanakan kewajibannya yang terbit dari perjanjian.

Demikian hal-hal yang dapat membatalkan perjanjian menurut kacamata hukum di Indonesia.

Referensi:
[1] Muhammad, Abdulkadir. Hukum perikatan. Cet. 3. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 22
[2] Suharnoko. Hukum perjanjian, Teori dan Analisa Kasus. Cet. 1. (Jakarta:Kencana, 2004), hal. 63
[3] Munir Fuady, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 93-94.
[4] Kitab Undang-undang Hukum Perdata [KUH Perdata], Op. Cit., Pasal 1238.
[5] Suharnoko, Op., Cit., hal. 64.
[6] Subekti. Hukum Perjanjian. Cet.18. (Jakarta: Intermasa, 2001), hal 45.
[7] Ibid
[8] Djaja S. Meiliana, SH., MH., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Cet. 1 (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), hal. 100.
[9] Ibid., Hal. 50.
[10] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [KUH Perdata], Op. Cit., Pasal 1266.
[11] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [KUH Perdata], Op. Cit., pasal 1338.
[12] Abdulkadir Muhammad SH., Op. Cit., hal. 130.
[13] Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum. Cet. 2. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 105.
[14] Ibid.
[15] Ibid., Hal 107-109.