Faktor-Faktor Apa Saja Yang Dapat Menjadi Penyebab Turunnya Laknat Allah SWT?

Laknat Allah

Faktor-faktor apa saja yang dapat menjadi penyebab turunnya laknat Allah swt?

Hakikat penyebab turunnya laknat Allah swt adalah Allah menjauhkan rahmat-Nya bagi orang yang melakukan tindakan melanggar perintah yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Beberapa penyebab turunnya laknat Allah swt., yang tertulis dalam Firman Allah swt surat QS al-Maidah/5:78-81 adalah sebagai berikut,

1. Durhaka terhadap Perintah Allah swt.


Durhaka adalah pelanggaran yang menimpa diri sendiri, yang menyebabkan mereka dikutuk oleh Allah swt. itu karena mereka melakukan pelanggaran yang merugikan dirinya sendiri dengan tidak menaati perintah Allah swt. dengan menyekutukan Allah dan tidak menaati perintah yang telah ditetapkan oleh Allah swt.

Mereka durhaka dengan menyembah berhala seperti menyembah Jibt dan Tagut. Di dalam QS al-Nisa’/4: 51 dijelaskan tentang orang yang diberi kitab Taurat percaya kepada Jibt dan Tagut yang berbunyi

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari al kitab? mereka percaya kepada jibt dan tagut dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.

Di dalam QS al-Baqarah/2:65 menjelaskan lanjutan dari kecaman dan uraian tentang kedurhakaan Bani Israil yang berbunyi
َ

Dan Sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina”.

Ayat di atas menyatakan bahwa sesungguhnya demi keagungan Allah telah kamu ketahui wahai Bani Israil melalui pemuka agama kamu tentang orang yang sengaja melanggar di antara kamu ketentuan pada hari Sabtu yakni tetap mengail ikan, padahal Allah melarangnya maka, akibat pelanggarannya mereka dijadikan kera hina yang terkutuk.

Hari Sabtu adalah hari yang ditetapkan Allah bagi orang Yahudi sesuai usul mereka sebagai hari ibadah yang bebas dari aktifitas duniawi, mereka dilarang mengail ikan pada hari itu. Tetapi sebagian mereka melanggar dengan cara yang licik, mereka tidak mengail tetapi membendung ikan dengan menggali kolam sehingga air bersama ikan masuk ke kolam itu.

Sungguh pantas mereka mendapatkan balasan atas perusakan janji mereka kepada Allah swt. maka meluncurlah mereka dari posisi manusia yang memiliki iradah ke dunia binatang yang tidak memiliki iradah binatang yang hanya mau memenuhi panggilan perut.

Mereka telah berubah bentuknya menjadi kera dengan ruh, akal, watak, perasaan dan pola pikirnya. Kejadian ini menjadi peringatan bagi orang yang menentang peraturan Allah pada masa itu dan masa sesudahnya, sekaligus menjadi nasihat dan pelajaran berharga bagi kaum mukminin sepanjang masa.

Dari beberapa pendapat dapat dipahami bahwa di dalam QS al- Maidah/5:78 mereka telah durhaka kepada Allah swt. dengan mengerjakan apa yang Allah larang. Mereka telah mendurhakai Allah dengan menyembah berhala yang menyebabkan mereka musyrik atau menyekutukan Allah swt. penyembahan berhala yang terjadi di masa Nabi Muhammad saw. menunjukan bahwa memang kedurhakaan itu terus menerus mereka lakukan bahkan sampai keturunan yang berada di bawahnya.

2. Melampaui Batas


Melampaui batas adalah pelanggaran yang dapat menimpa pihak atau orang lain sehingga Allah menjauhkan rahmatnya. Orang yang melampaui batas adalah mereka yang tidak beriman kepada ajaran yang dibawa oleh nabi mereka. Suatu tindakan yang melampaui batas dalam agama dan batasan kemanusiaan dapat diartikan sebagai orang yang zalim.

Kata zulm dan semua kata turunannya terulang sebanyak 315 kali di dalam al-Qur’an. Secara bahasa kata zulm terdiri dari huruf za, lam, dan mim. Menurut Ibnu Faris kata tersebut menunjuk kepada dua makna dasar, yaitu menunjuk pada makna kegelapan sebagai lawan kata dari nur (cahaya) dan menunjuk kepada sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Kekafiran itu meliputi lima kegelapan, yakni :

  • Ucapan orang kafir merupakan kegelapan,
  • Amalnya merupakan kegelapan,
  • Datangnya merupakan kegelapan,
  • Keluarnya merupakan kegelapan, dan
  • Nasibnya merupakan kegelapan

Oleh karena itu, ia akan dimasukkan ke dalam neraka tempat yang paling buruk.

Makna menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya itu dapat disebabkan karena kurang dari yang semestinya atau lebih dari yang semestinya atau bukan pada tempat yang semestinya. Kezaliman dikelompokkan oleh sebagian ulama kepada tiga bentuk yaitu

  • Kezaliman manusia terhadap Allah swt. kezaliman terbesar dari bentuk ini adalah kekafiran, kemusyrikan, dan kemunafikan.

  • Kezaliman manusia terhadap manusia yang lain.

  • Kezaliman manusia terhadap dirinya sebagaimana firman Allah di dalam QS Fatir/35:32.9

3. Tidak Mencegah Kemunkaran


Menurut bahasa al-munkar berkisar pada segala hal yang dianggap jelek oleh manusia mereka menginkari serta menolaknya. Sedangkan menurut syari’at al-munkar adalah segala hal yang diinkari, dilarang, dan dicela oleh syari’at serta dicela pula orang yang melakukannya. Masuk juga dalam definisi munkar yaitu segala bentuk kemaksiatan dan bid’ah dan orang yang pertama masuk dalam pengertian ini adalah syirik (menyekutukan keesaan, rububiyah, nama-nama dan sifat Allah swt.) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, al-munkar adalah satu nama yang mencakup segala apa yang Allah larang.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan kewajiban semua umat Islam untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, guna memelihara umat dari berbagai penyakit sosial yang telah menimpanya, sangat tidak patut bagi umat Islam menyepelekan atau menunda-nunda tersebut. Jika tidak ada seorang pun yang berkenaan melaksanakan tugas suci tersebut, maka seluruh umat berdosa karena patut mendapat azab sebagaimana yang terjadi pada umat terdahulu.

Sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS Ali Imran/3:110 yang berbunyi

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Ayat ini adalah ayat tegas menunjukan wajibnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar, Qadi bin Abu Bakar Ibnu Arabi berkata, ayat ini dan juga ayat sesudahnya adalah dalil yang menunjukan bahwa hukum amar ma’ruf nahi munkar adalah fardu kifayah.

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini menerangkan bahwa diantara umat ini harus ada sekelompok orang yang bertugas khusus untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, meskipun sebenarnya amar ma’ruf nahi munkar adalah wajib bagi seluruh umat menurut kemampuannya.

Ketika ada orang yang mengaku beriman tetapi menyuruh berbuat kemunkaran dan melarang berbuat baik maka dapat diberi label orang itu sebagai orang munafik. Menurut al-Sa’di salah satu kebiasaan orang munafik laki-laki maupun perempuan adalah menyuruh berbuat kemungkaran berupa kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan, serta mencegah orang lain berbuat baik seperti beriman kepada Allah, berakhlak mulia, beramal saleh, dan semua etika adab yang baik.

Orang munafik selalu memerintahkan yang mungkar dan mencegah
perbuatan yang baik, sebagaimana dalam QS al-Taubah/9: 68 disebutkan

Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang- orang kafir dengan neraka jahnnam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.

Seseorang yang menyuruh berbuat ma’ruf dan melarang perbuatan munkar wajib menjauhkan sifat kagum terhadap diri sendiri atau menganggap dirinya lebih baik, karena jika demikian ia akan menganggap mereka orang-orang rendah. Apabila mereka termasuk para pelaku maksiat dia pun akan merasa bahwa orang tersebut adalah orang yang hina, padahal tentunya tidak sama orang tahu dan yang tidak tahu, akhirnya dia akan bersikap sombong yang merupakan dosa besar yang berbahaya.

Adapun kaidah mengubah kemunkaran dengan tangan adalah sebagai berikut:

  • Si pelaku harus tertangkap basah sedang melakukan perbuatan munkar

    Kemungkaran yang belum dilakukan dan telah selesai dilakukan tidak dapat dihilangkan. Abu Hamid Al-Gazali mengatakan bahwa perbuatan maksiat memiliki tiga kondisi, yaitu :

    • Perbuatan dilakukan dengan terang-terangan maka itu diserahkan kepada penguasa untuk menghukumnya dengan hukumnya hukuman had atau ta’zir.

    • Perbuatan maksiat dilakukan di depan mata seseorang seperti melihat orang sedang mengenakan pakaian sutera atau sedang memegang gitar atau gelas berisi khamr maka maksiat ini wajib dihilangkan dengan cara apa saja selama tidak menimbulkan maksiat yang sama atau lebih besar.

    • Perbuatan munkar baru dilakukan dalam tahap persiapan sehingga diperkirakan akan dilakukan seperti melihat orang yang sedang menyapu dan menghiasi sebuah tempat sementara belum terlihat khamr kalau seperti ini masih diragukan karena terkadang ada sesuatu hal yang menghalangi terjadinya perbuatan munkar tadi.

  • Kemunkaran yang terjadi tampak di depan mata tanpa adanya upaya memata-matai

    Dasarnya ada di dalam ayat al-Qur’an yang melarang kita memata-matai orang lain QS al-Hujurat/49:12 yang berbunyi

    Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang.

    Imam al-Nawawi menyatakan dalam Syarah Sahih Muslim bahwa al-Mawardi menyatakan seseorang yang ingin mencegah kemunkaran dilarang mencari-cari kemunkaran yang tersembunyi. Jika terdapat bukti yang menunjukan adanya perbuatan yang tersembunyi, maka terdapat dua kondisi.

    • Pertama kondisi di mana kemunkaran itu mengakibatkan terjadinya musibah yang tidak dapat diperbaiki, misalnya ketika diberi tahu oleh orang yang dipercaya bahwa seseorang berniat untuk membunuh orang lain atau berzina dengan seorang wanita dalam kondisi seperti ini diperbolehkan untuk memata-matai dalam rangka menyelamatkan sesuatu yang tidak dapat diperbaiki lagi.

    • Kedua kondisi dimana kemunkaran terjadi tidak mengakibatkan hilangnya sesuatu yang tidak dapat diperbaiki maka dilarang memata-matai dan menyiarkan apa yang tersembunyi.

  • Mengikuti tahapan yang telah ditentukan syariat dalam menghilangkan kemunkaran.

    Al-Gazali mengatakan dalam ihya’ ulumuddin ‚Tahapan untuk mengubah kemunkaran dimulai dari memberi tahu yaitu memberi tahu si pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan munkar yang dilarang syari’at lalu, menasihati dengan halus dan diteruskan dengan menasehati dengan kasar dan mencelanya, lalu diteruskan dengan menghilangkan kemunkaran itu dengan tangan seperti memecahkan cafe dan menumpahkan khamr setelah itu dengan mengancam dan menakut-nakuti lalu memukul dan menendang kemudian memanggil teman-teman dan mempergunakan senjata.‛

    Tingkatan ini diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu, memperbaiki kemunkaran dengan nasihat dan memperbaiki dengan kekuatan, dasar bagi pembagian ini adalah dalil yang membahas tentang jihad yang dimulai dengan berdakwah sebelum menyerang dan juga firman Allah swt. di dalam QS al-Hujurat/49:9 yang berbunyi

َ > Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang- orang yang berlaku adil.

Ayat ini berisi perintah untuk mengupayakan perdamaian sebelum berperang.  Al-Qurtubi  menyatakan  jika  kemunkaran  dapat  dihilangkan  dengan nasihat maka harus dilakukan, jika tidak dapat dihilangkan kecuali dengan menghukum dan membunuh pelakunya maka harus dilakukan. Jika kemunkaran dapat dihilangkan tanpa membunuh maka dilarang membunuh.

Di dalam QS al-Maidah/5:79 menjelaskan bahwasanya mereka dilaknat oleh Allah karena tidak adanya saling mengingatkan atau amar ma’ruf nahi munkar di antara mereka.

Menurut M. Quraish Shihab mengatakan bahwa kata yatanahauna dalam ayat ini artinya berhenti, yakni tidak melakukan dapat dipahami bahwa mereka terus menerus atau tidak ada hentinya melakukan kemunkaran.

4. Tolong Menolong dengan Orang Kafir


Mereka tolong menolong dengan orang kafir yang kebanyakan dari mereka adalah ahl kitab yang munafik sehingga menjadikan orang kafir sebagai penolongnya. Dan mereka meninggalkan orang mukmin sehingga Allah swt. memberikan adanya siksaan.

Adapun term kufur dalam berbagai bentuk kata jadiannya ditemukan sebanyak 525 kali dalam al-Qur’an, misalnya:

  • Kaffara-yukaffiru-takfir yang berarti menghapuskan, menghilangkan.
  • Kaffarat yang berarti denda penebus dosa atau kesalahan tertentu.
  • Kafur yang pada dasarnya berarti kelopak yang menutupi buah, tetapi dalam al-Qur’an, term yang muncul satu kali ini (QS al-Insan/76: 5) diartikan sebagai nama mata air di surga yang airnya putih, baunya sedap, dan enak rasanya.
  • Term kuffar (bentuk plural dari kafir) yang terdapat dalam QS al-Hadid/57: 20, secara kontekstual, berarti petani-petani.

Pengertian kufur juga terdapat dalam QS Ibrahim/14: 7 menunjukan orang yang menutupi nikmat Allah swt. atau tidak berterima kasih atas nikmat yang diberikan atau dianugerahkan kepadanya dalam hidup ini disebut kufur nikmat, jadi kufur bisa juga terjadi terhadap orang yang beriman. Dari pengertian diatas dapat dinyatakan seorang diberi predikat kafir apabila mendustakan kerasulan Nabi Muhammad saw. dan ajaran yang dibawanya.

Sebagaimana pendapat dari M. Quraish Shihab di dalam QS al- Maidah/5:80 yang mengatakan bahwa banyak dari ahl kitab yang menjadikan orang-orang kafir menjadi wali, kata minhum menunjuk kepada orang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam yang bermukim di Madinah dan sekitarnya karena ekonomi dan politik mereka menyusut sehingga tidak jalan lain kecuali menghambat laju islam yang bekerjasama dengan kaum musyrik yang bermukim di Makkah dan sekitar Madinah.

Pendapat M. Quraish Shihab di dalam QS al-Maidah/5:81 disebutkan bahwa sekiranya tetapi perandaiannya tidak mungkin terjadi sebagaimana dipahami kata lauw yakni durhaka dan telah Allah ketahui kekufuran mereka, beriman kepada Allah dengan iman yang benar dan beriman kepada nabi niscaya mereka tidak akan mengangkat mereka yakni kaum musyrikin itu menjadi auliya’.

Al-Maragi mengutip pendapat Mujahid bahwa yang dimaksud orang kafir disini adalah orang munafik, jadi maksud ayat sesungguhnya orang munafik pun itu kafir dan sekiranya mereka beriman Allah dan Rasul-Nya tentu orang Yahudi takkan menjadikan mereka sebagai penolongnya.

Dari beberapa pendapat ulama dapat dihubungkan dengan QS al- Maidah/5:51 yang melarang kita untuk memilih Yahudi dan Nasrani sebagai wali yang berbunyi

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpinmu, mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang zalim.

Kata tattakhizu berasal dari kata akhaza yang pada umumnya diterjemahkan mengambil. Tetapi dalam penggunaanya kata tersebut mengandung banyak arti sesuai huruf yang disebut sesudahnya. Kata auliya’ bentuk jamak dari kata wali. Terambil dari huruf wau, lam dan ya yang makna dasarnya adalah dekat.

Dari sini kemudian berkembang makna baru seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama yang kesemuanya diikat dengan hubungan kedekatan.
Kendati demikian larangan tersebut tidaklah mutlak, sehingga mencakup seluruh makna yang dikandung oleh kata auliya’.

Sayyid Tantawi dalam tafsirnya mengemukakan bahwa non muslim dapat menjadi tiga kelompok yakni:

  • Mereka yang tinggal bersama kaum muslim dan hidup damai dengan mereka, tidak melakukan kegiatan untuk kepentingan lawan serta tidak juga nampak dari mereka tanda yang mengantar kepada prasangka buruk terhadap mereka.

    Kelompok ini mempunyai dan kewajiban sosial sama dengan kaum muslim, tidak ada larangan untuk bersahabat dan berbuat baik kepada mereka sebagaimana firman Allah swt dalam QS al-Mumtahanah/60:8 yang berbunyi

    Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.

  • Kelompok yang memerangi atau merugikan kaum muslim dengan berbagai cara. Kaum ini tidak boleh didekati, merekalah yang dimaksud ayat ini berdasarkan firman Allah dalam QS al-Mumtahanah/5:9 yang berbunyi

    Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

  • Kelompok yang tidak secara terang-terangan memusuhi kaum muslim tetapi ditemukan pada mereka sekian indikator yang menunjukan bahwa mereka tidak bersimpati pada kaum muslim bahkan bersimpati kepada musuh-musuh Islam. Sikap kaum hanya berhati-hati tanpa memusuhi mereka.

Dari pendapat diatas maka, dapat dipahami bahwasanya turunnya laknat Allah swt. karena mereka menjadikan orang kafir sebagai auliya’ itu karena mereka berada dalam kedurhakaan yang mengandung kekufuran dan kemunafikan. Kaum muslimin diperbolehkan berteman dengan orang kafir akan tetapi orang kafir yang memang tidak ada kecenderungan untuk merusak islam dan memiliki hak untuk dihargai sebagai manusia.

5. Fasik


Kebanyakan dari mereka adalah orang yang fasik yakni keras kepala dalam kemunafikan dan keluar dari lingkup agama dengan memperoleh kepemimpinan dengan jalan apapun.

Perkatan fasik berasal dari fisq yang terdiri atas haruf fa, sin, qaf yang pada dasarnya berarti keluar ketaatan atau melampaui batas. Pengertian seperti ini menunjukan seperti biji kurma yang keluar dari kulitnya atau terkelupas. Di samping term fasik digunakan untuk tumbuh-tumbuhan juga digunakan untuk binatang seperti tikus yang keluar dari sarangnya, dengan kata lain tikus fasik jika keluar dari sarangnya. Jadi, esensi fasik secara literal adalah pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah. Karena itu, orang fasik adalah sebutan bagi orang yang telah mengakui sekaligus menaati hukum-hukum Agama kemudian melanggarnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian.

Akar paling awal dari munculnya persoalan fasik kembali pada peristiwa Siffin antara pendukung Ali bin Abi Talib dengan pendukung Mu’awiyah, setelah selesai perang ini maka muncul dua pandangan utama tentang fasik diwakili dengan kelompok Khawarij dan Murji’ah. Kaum Khawarij mengutuk orang fasik sebagai orang yang sudah berada di luar Islam dan orang fasik akan masuk neraka selama-lamanya.
Orang fasik tidak boleh diangkat menjadi pemimpin umat Islam karena dipandang sebagai orang kafir. Menurut kaum Murji’ah bahwa orang fasik harus diberi hukuman berat barulah setelah hukuman dijalankan maka, bisa kembali dianggap sebagai umat Islam.

Di dalam al-Qur’an QS al-Baqarah/2:27 menjelaskan tentang ciri-ciri orang fasik yang berbunyi

(yaitu) orang-orang yang melanggar Perjanjian Allah sesudah Perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa ciri-ciri orang fasik ada tiga yaitu:

  • Melanggar perjanjian dengan Allah swt.

    Yang dimaksud dalam ayat tersebut, menurut al-Baidawi, ialah perjanjian aqli dan perjanjian fitri yang diucapkan oleh anak cucu adam sebelum lahir ke dunia. Kedua macam perjanjian itu mengikat manusia untuk bertauhid dan beribadah kepada Allah swt. dalam QS al-A’raf/7: 172 disebutkan:

    Dan ingatlah ketka Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman: Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul engkau Tuhan kami , kami menjadi saksi. Kami lakukan yang sedemikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami Bani Adam adalah orang yang lengah terhadap keesaan Tuhan.

    Sementara itu, al-Alusi menyatakan bahwa janji Allah dalam ayat ini meliputi janji aqli berupa argumentasi untuk menyembah Allah dan mengesakan- Nya serta membenarkan Rasul yang diutus-Nya.

  • Memutus apa yang diperintahkan Allah kepada mereka.

    Allah swt. memerintahkan untuk menyambung banyak hubungan keluarga dan kerabat, memerintahkan untuk menyambung hubungan akidah dan ukhuwah Imaniyah (Persaudaraan seiman) yang tidak dapat terlaksana hubungan dan jalinan kecuali dengannya, apabila apa yang diperintahkan Allah untuk disambung ini diputuskan maka terulailah tali-temalinya, pudarlah ikatannya dan merajalelalah kekacauannya.

    Muhammad Abduh menyatakan bahwa perintah Allah dalam ayat ini pada garis besarnya ada dua macam, yaitu amr takwini dan amr tasyri’i. Amr takwini adalah penetapan dan pengaturan alam semesta ini beserta seluruh isinya serta hukum yang mendasarinya. Sedangkan amr tasyri’i adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada para Nabi dan Rasul yang telah diutus ke muka bumi ini dan memerintahkan manusia untuk mengambilnya.

  • Membuat kerusakan di muka bumi.

    Mereka suka merusak dengan cara menghambat jalan Allah (kebenaran), mereka menghendaki agar jalan itu menjadi bengkok atau tidak lurus. Mereka mengejek kebenaran, padahal kebenaran itu sudah cukup jelas bagi mereka. Mereka merendahkan hidayah akal dan hidayah agama.

    Pangkal dari kerusakan di bumi adalah penyimpangan dari manhaj Allah yang telah dipilihnya untuk mengatur dan menata kehidupan manusia. Inilah persimpangan jalan yang menuju pada kerusakan, maka tidak ada yang dapat memperbaiki urusan di muka bumi ini kalau manhaj Allah tidak dilaksanakan dan syari’atnya dijauhkan dari kehidupan dan apabila hubungan manusia dan Tuhan putus maka, terjadilah kerusakan yang menyeluruh meliputi jiwa dan keadaan lahiriah, kehidupan dan penghidupan.

    Menurut Muhammad Rasyid Rida bahwa yang dimaksud dengan berbuat kerusakan di muka bumi adalah perbuatan merusak tatanan kehidupan masyarakat dan sumber kehidupan manusia, seperti menganggu keamanan dan ketenteraman jiwa, harta dan kehormatan serta menolak untuk melaksanakan hukum yang adil di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

    Al-Alusi menyatakan bahwa kerusakan yang diperbuat orang fasik adalah mengajak kepada kekafiran dan menakut-nakuti mereka yang ingin berjalan di atas jalan yang benar serta memutuskan jalan dan menghalangi orang yang mau berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya.

Di dalam QS al-Ra’d/13:25 dijelaskan juga tentang orang fasik yang berbunyi

Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan Mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).

Adapun orang yang mengurai yakni membatalkan dan melanggar perjanjian mereka dengan Allah sesudah perjanjian itu diikat dengan teguh dan selalu memutuskannya antara lain adalah orang-orang yang suka memecah belah persatuan dan kesatuan.

Mereka merusak janji itu yang berhubungan dengan masalah iman, keesaan, kekuasaan Allah swt. tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan apa yang diwahyukan kepadanya. Memutuskan hubungan harmonis antara manusia dengan Allah dan lain-lain yang diperintahkan Allah untuk selalu dihubungkan dan ditautkan seperti menghubungkan kata yang baik dengan pengamalan yang baik pula dan mereka terus menerus mengadakan kerusakan di bumi apapun bentuk kerusakan itu baik terhadap manusia maupun lingkungan. Mereka itulah memperoleh kutukan yakni dijauhkan dari rahmat Allah dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk sehingga tidak mendapatkan sesuatu kecuali keburukan.

Referensi
  • Ahsin Sakho Muhammad, Atlas Al-Qur’an (Cet. I; Jakarta: Kharisma Ilmu, 2006)
  • M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur’an, Vol. I
  • Sayyid Qutb, fi Zilal Al-Qur’an, terj. As’ad Yasin, Tafsir fi Zilal Al-Qur’an
  • Melvi Yendra, Ensiklopedia Anak-Anak Muslim, Jilid IV (Bandung: Grasindo, 2007)
  • Muljono Damopoli dalam M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata,
  • Majid Al-Sayyid Ibrahim, Wanita dan Laki-Laki yang dilaknat (Jakarta: Gema Insan Press, 1995)
  • Salim bin ‘Ied Al-Hilali, Mausuah Al-Manahisy Syar’iyah fi Shahih Al-Sunnah Al- Nabawiyah, terj. Abu Ihsan Al-Atsari, Ensiklopedia larangan (Cet. I; Jakarta: Pustaka Imam Al- Syafi’i, 2008)
  • Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Cet. I; Bogor: Pustaka al- Taqwa, 2009)
  • Andi Miswar, Karakteristik Sigat Al-Nahyu dalam Al-Qur’an (Cet. I; Makassar: Alauddin Press, 2011)
  • Abdul Akhir Al-Gunaimi, Hukmu Taghyr Al-Munkar bi Al-Yadi li Ahadi Al-Ra’iyah,
  • terj. Syarif Baraja, Nahi Mungkar (Solo: Jazera, 2012)
  • Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah,