Faktor apa yang mempengaruhi laktasi?

Laktasi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Bahkan faktor lingkungan dan psikologis dapat mempengaruhi laktasi.
Faktor apa yang mempengaruhi laktasi?

Berikut adalah hal-hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam proses laktasi, terutama pada masa 0 - 6 bulan pertama menyusui.

Keadaan Payudara dan Perawatannya Pada Ibu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu memiliki kondisi payudara dan perawatannya yang kurang baik. Payudara ibu selama menyusui harus dalam kondisi yang baik karena payudara yang baik akan berpengaruh pada porses laktasi.

Hal ini sejalan dengan penelitian Sholichah (2011) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara perawatan payudara pada ibu postpartum dengan kelancaran pengeluaran ASI, dimana ibu yang memiliki kondisi payudara dan perawatannya baik, pengeluaran ASInya pun baik.

Hal ini dikarenakan bahwa salah satu proses yang mempengaruhi proses laktasi adalah proses pengembangan jaringan penghasil (Farrer, 2001). Sehingga jika kondisi payudara ibu selama menyusui dalam kondisi tidak baik, dalam hal kebersihan, kondisi fisik maupun perawatannya maka sedikit banyak dapat mengganggu proses laktasi.

Teknik Menyusui Pada Ibu

Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa sebagian besar ibu memiliki teknik menyusui yang kurang baik. Dimana tidak menyusui dengan kedua payudara. Artinya bahwa para ibu hanya menyusui pada 1 payudaranya saja. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan pada salah satu payudara karena waktu pengosongannya berbeda akibat tidak digunakan secara bersamaan.

Menurut Setyowati (2008) bahwa pemberian ASI pada satu payudara saja dapat membuat payudara yang lain penuh dengan ASI sehingga terjadi pembengkakan yang lama kelamaan akan menyebabkan mastitis. Anggaraini & Sutomo (2010) menyatakan bahwa saat menyusui dengan kedua payudara akan membuat keduanya terstimulasi dengan baik untuk selalu memproduksi ASI dan menghindari pembengkakan pada salah satu payudara.

Menurut Henderson (2006) bahwa sebagian besar ibu yang tidak menyusui bayinya, bukan karena gangguan fisik melainkan lebih banyak karena kesalahan tata laksana laktasi yang salah satunya adalah teknik menyusui. Ibu-ibu terlihat dapat menyusukan bayinya tetapi seringkali mereka tidak mengetahui sebenarnya teknik dalam menyusui seperti apa.

Penelitian Nurhidayah (2012) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan variabel yang memiliki hubungan besar dengan teknik menyusui pada ibu postpartum sehingga para ibu yang memiliki pengetahuan yang rendah mengenai teknik menyusui, menunjukkan teknik menyusui yang kurang baik.

Posisi Menyusui pada Ibu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu sudah memposisikan bayinya secara benar saat menyusui, yakni ibu memposisikan kepala, badan dan kaki bayi berada pada satu garis lurus, serta memposisikan mulut bayi terbuka lebar sehingga seluruh aerola masuk ke mulut bayi.

Menurut Wendy & Johnson (2005) posisi dan fiksasi bayi yang benar saat menyusui akan membuat ASI mengalir banyak tanpa harus banyak ASI yang keluar dan terbuang percuma, dimana bayi akan menelan ASI dengan mudah dalam jumlah yang cukup, dan pada akhirnya akan meningkatkan produksi ASI sesuai kebutuhan bayi.

Selain itu, perlekatan yang benar juga menghindari luka pada puting, karena pada perlekatan yang benar, puting tidak akan bergesekan dengan langit-langit bayi yang keras, melainkan jatuh di tengah rongga tenggorokan bayi, sehingga tidak akan tergesek dan tidak akan luka. Oleh karena itu perlekatan menyusui dapat dikatakan adalah jantungnya proses laktasi.

Frekuensi dan Durasi Menyusui Pada Ibu

Sebagian besar ibu menunjukkan frekuensi dan durasi yang baik selama menyusui. Pada dasarnya setiap bayi mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda dan bervariasi dari waktu ke waktu. Menurut (Suririnah, 2009) bahwa pemberian ASI sebaiknya dilakukan sesuai dengan keinginan bayi atau on-demand.

Menurut Bobak (2005) frekuensi, intensitas, dan lama bayi menghisap akan mempengaruhi jumlah ASI yang diproduksi. Hal ini dikarenakan stimulus isapan bayi akan mengirimkan pesan ke hipotalamus yang merangsang hipofisis anterior untuk melepas prolaktin dan akan terjadi peningkatan produksi ASI oleh sel-sel alveolar.

Dengan kata lain, bahwa semakin sering menyusui maka produksi ASI kan semakin meningkat, sehingga kebutuhan bayi akan selalu terpenuhi dan laktasi pun berjalan dengan lancar

Status Nutrisi Selama Menyusui Pada Ibu

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu memiliki status nutrisi yang baik selama menyusui. Sebagian besar ibu makan lebih banyak dibandingkan saat sebelum mereka menyusui. Ibu mengalami peningkatan nafsu makan dikarenakan sebagian besar ibu sering lapar. Selain itu, normalnya peningkatan rasa haus pun terjadi sama halnya dengan rasa lapar, yang menyebabkan ibu sering minum.

Nutrisi ibu selama menyusui merupakan hal penting yang harus diperhatikan selama masa menyusui. Nutrisi akan berpengaruh pada produksi dan kualitas ASI yang akan ibu hasilkan.

Menurut Carpenito (2009) nutrisi merupakan hal yang penting bagi ibu menyusui karena akan berpengaruh pada produksi dan pengeluaran ASI.

Selama menyusui, pada umumnya setiap ibu akan merasakan rasa lapar yang meningkat jika dibandingkan dengan saat dimana ibu tidak sedang menyusui. Hal ini terjadi karena selama menyusui, ibu memproduksi ASI yang akan digunakan sebagai nutrisi bagi bayi, itu artinya bahwa nutrisi yang ibu makan akan digunakan bukan hanya untuk ibu, tapi juga untuk bayi. Sehingga kebutuhannya pun akan meningkat.

Menurut Wiryo (2002) ibu menyusui memerlukan kalori yang lebih banyak dibandingkan yang tidak hamil bahkan lebih banyak dari kebutuhan saat hamil. Selama menyusui ibu memproduksi sekitar 800cc air susu yang mengandung 600 kkal. Karena ibu menyusui membutuhkan tambahan 800 kkal yaitu 600 kkal untuk produksi ASI dan 200 kkal untuk aktivitas ibu selama menyusui. Oleh karena itu, untuk mencukupi kebutuhan kalori ibu menyusui, biasanya ibu makan lebih banyak dari biasanya.

Hal ini sejalan dengan penelitian Kusmiyati (2002) yang menyatakan bahwa peningkatan frekuensi makan berhubungan dengan tingkat kecukupan energi dan status gizi pada ibu menyusui.

Sumber :

Sri Handini Pertiwi, Tetti Solehati, Restuning Widiasih, Faktor-faktor yang mempengaruhi proses laktasi ibu dengan bayi usia 0-6 bulan di desa cibeusi Kecamatan jatinangor, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran

Laktasi adalah keseluruhan proses menyusui mulai dari ASI diproduksi sampai proses bayi menghisap dan menelan (Ambarwati & Wulandari, 2008).

Refleks maternal yang berperan dalam proses laktasi adalah refleks produksi dan refleks pengeluaran ASI. Refleks tersebut responsif terhadap kekuatan yang mengatur laktasi, yaitu isapan. Keduanya melibatkan hormon prolaktin, yang merangsang produksi air susu, dan oksitosin, yang berperan dalam ejeksi (penyemprotan) air susu (Anhari dkk, 1994 ; Coad & Dunstall, 2006).

Selama kehamilan,hormon prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI biasanya belum keluar karena masih dihambat oleh kadar estrogen yang tinggi (Suradi & Tobing, 2004). Hambatan diproduksinya ASI menghilang setelah kelahiran dan pengeluaran plasenta, saat kadar progesteron turun praktis (Christine & Jones, 2005; Saryono & Pramitasari, 2008).

Setiap kali bayi menghisap payudara, akan merangsang ujung saraf sensoris di sekitar payudara sehingga merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk menghasilkan prolaktin. Prolaktin akan masuk ke peredaran darah kemudian ke payudara sehingga menyebabkan sel sekretori di alveoli menghasilkan ASI (Christine & Jones, 2005).

Hormon prolaktin diproduksi oleh kelenjar hipofisis anterior. Prolaktin akan berada di peredaran darah selama 30 menit setelah bayi menyusu, sehingga prolaktin dapat merangsang payudara menghasilkan ASI untuk konsumsi berikutnya, sedangkan untuk konsumsi pada saat sekarang, bayi meminum ASI yang sudah ada yaitu yang disimpan pada sinus laktiferus (Roesli & Yohmi, 2008).

Makin banyak ASI yang dikeluarkan dari sinus laktiferus makin banyak produksi ASI. Dengan kata lain, makin sering bayi menyusu makin banyak ASI diproduksi. Sebaliknya makin jarang bayi menghisap, makin sedikit payudara menghasilkan ASI. Jika bayi berhenti menghisap maka payudara akan berhenti menghasilkan ASI ( King,1991 ; Danuatmaja & Meiliasari, 2003 ; Derek & Jones, 2005 ; Roesli & Yohmi, 2008).

Hormon prolaktin umumnya dihasilkan pada malam hari, sehingga menyusui pada malam hari dapat membantu mempertahankan produksi ASI. Prolaktin juga akan menekan ovulasi (fungsi indung telur untuk menghasilkan sel telur), sehingga menyusui secara eksklusif akan memperlambat kembalinya fungsi kesuburan dan haid, karena itu, menyusui pada malam hari penting untuk tujuan menunda kehamilan (Newman & Pitman, 2008 ; Roesli & Yohmi, 2008).

Hormon oksitosin diproduksi oleh kelenjar hipofisis posterior. oksitosin dihasilkan bila ujung saraf di sekitar payudara dirangsang oleh isapan. Oksitosin akan dialirkan melalui darah menuju payudara yang akan merangsang kontraksi otot di sekeliling alveoli dan mengeluarkan ASI ke duktus laktiferus (King, 1991 ; Nolan, 2003).

Oksitosin dibentuk lebih cepat dibanding prolaktin. Keadaan ini menyebabkan ASI di payudara akan mengalir untuk dihisap.Oksitosin sudah mulai bekerja saat ibu berkeinginan menyusui (sebelum bayi menghisap). Aliran ASI sebagai respon terhadap oksitosin disebut let down reflex/milk ejection reflex. Jika refleks oksitosin tidak bekerja dengan baik, maka bayi akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan ASI. Payudara seolah-olah telah berhenti memproduksi ASI, padahal payudara tetap menghasilkan ASI namun tidak mengalir keluar. Efek penting oksitosin lainnya adalah menyebabkan uterus berkontraksi setelah melahirkan sehingga membantu mengurangi perdarahan (Neilson, 1990 ; Moody dkk., 2005 ; Roesli & Yohmi, 2008).

Faktor- faktor yang mempengaruhi produksi ASI

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ASI terdiri dari :

A. Frekuensi Menyusui

Menyusui yang baik adalah sesuai dengan kebutuhan bayi (on demand) karena secara alami bayi akan mengatur kebutuhannya sendiri. Semakin sering bayi menyusu, payudara akan memproduksi ASI lebih banyak. Pada studi ibu dengan bayi prematur disimpulkan bahwa produksi ASI akan optimal dengan pemompaan ASI lebih dari lima kali per hari selama bulan pertama setelah melahirkan. Pemompaan dilakukan karena bayi prematur belum dapat menyusu (Hopkinson et al., 1988 dalam ACC/SCN, 1991).

Studi lain yang dilakukan pada ibu dengan bayi cukup bulan menunjukkan bahwa frekuensi penyusuan 10 - 13 kali perhari selama dua minggu pertama setelah melahirkan berhubungan dengan produksi ASI yang cukup (De Carvalho, et al., 1982 dalam ACC/SCN, 1991). Berdasarkan hal ini direkomendasikan penyusuan paling sedikit delapan kali perhari pada periode awal setelah melahirkan. Frekuensi penyusuan ini berkaitan dengan kemampuan stimulasi hormon dalam kelenjar payudara (Ambarwati & Wulandari, 2009).

B. Berat Lahir

Prentice (1984) mengamati hubungan berat lahir bayi dengan volume ASI. Hal ini berkaitan dengan kekuatan untuk mengisap, frekuensi, dan lama penyusuan dibanding bayi yang lebih besar. Berat bayi pada hari kedua dan usia 1 bulan sangat erat berhubungan dengan kekuatan mengisap yang mengakibatkan perbedaan intik yang besar dibanding bayi yang mendapat formula.

De Carvalho (1982) menemukan hubungan positif berat lahir bayi dengan frekuensi dan lama menyusui selama 14 hari pertama setelah lahir. Bayi berat lahir rendah (BBLR) mempunyai kemampuan mengisap ASI yang lebih rendah dibanding bayi dengan berat lahir normal (> 2500 gr). Kemampuan mengisap ASI yang lebih rendah ini meliputi frekuensi dan lama penyusuan yang lebih rendah dibanding bayi berat lahir normal yang akan mempengaruhi stimulasi hormon prolaktin dan oksitosin dalam memproduksi ASI (Ambarwati & Wulandari, 2009).

C. Umur Kehamilan Saat Melahirkan

Umur kehamilan dan berat lahir mempengaruhi intake ASI. Hal ini disebabkan bayi yang lahir prematur (umur kehamilan kurang dari 34 minggu) sangat lemah dan tidak mampu mengisap secara efektif sehingga produksi ASI lebih rendah daripada bayi yang lahir tidak prematur. Lemahnya kemampuan mengisap pada bayi prematur dapat disebabkan berat badan yang rendah dan belum sempurnanya fungsi organ (Aritonang, 2007).

D. Faktor psikologis

Keadaan psikologis ibu mempengaruhi pengeluaran ASI. Pikiran dan perasaan seorang ibu sangat mempengaruhi refleks let down yaitu refleks yang berperan dalam pengeluaran ASI. Keadaan psikologis ibu yang dapat meningkatkan produksi hormon oksitosin antara lain peraaan dan curahan kasih saying ibu terhadap bayinya, mendengar celotehan atau tangisan bayi, memikirkan bayi dan ibu merasa tenang. Sedangkan keadaan yang dapat mengurangi produksi hormon oksitosin adalah rasa sedih, marah, kesal atau bingung, cemas terhadap perubahan bentuk payudara dan bentuk tubuh, meninggalkan bayi karena harus bekerja, takut ASI tidak mencukupi kebutuhan bayi dan adanya rasa sakit terutama saat menyusui (Derek & jones, 2005).

E. Konsumsi Rokok

Merokok dapat mengurangi volume ASI karena akan mengganggu hormon prolaktin dan oksitosin untuk produksi ASI. Merokok akan menstimulasi pelepasan adrenalin dimana adrenalin akan menghambat pelepasan oksitosin. Studi Lyon,(1983); Matheson, (1989) menunjukkan adanya hubungan antara merokok dan penyapihan dini meskipun volume ASI tidak diukur secara langsung. Bayi dari ibu perokok mempunyai insiden sakit perut yang lebih tinggi. Anderson et al. (1982) mengemukakan bahwa ibu yang merokok lebih dari 15 batang rokok/hari mempunyai prolaktin 30-50% lebih rendah pada hari pertama dan hari ke 21 setelah melahirkan dibanding dengan yang tidak merokok (Arifin, 2004).

F. Konsumsi Alkohol

Meskipun minuman alkohol dosis rendah disatu sisi dapat membuat ibu merasa lebih rileks sehingga membantu proses pengeluaran ASI namun disisi lain etanol dapat menghambat produksi oksitosin. Kontraksi rahim saat penyusuan merupakan indikator produksi oksitosin. Pada dosis etanol 0,5-0,8 gr/kg berat badan ibu mengakibatkan kontraksi rahim hanya 62% dari normal, dan dosis 0,9-1,1 gr/kg mengakibatkan kontraksi rahim 32% dari normal (Matheson, 1989 dalam Arifin 2004).

G. Pil Kontrasepsi

Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi estrogen dan progestin berkaitan dengan penurunan volume ASI (Koetsawang, 1987 dan Lonerdal, 1986 dalam ACC/SCN, 1991), sebaliknya bila pil hanya mengandung progestin maka tidak ada dampak terhadap volume ASI (WHO Task Force on Oral Contraceptives, 1988 dalam ACC/SCN, 1991 dalam Arifin, 2004).

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang utama dan paling sempurna bagi bayi. Dimana ASI mengandung hampir semua zat gizi dengan komposisi sesuai dengan kubutuhan bayi untuk tumbuh dan berkembang secara optimal (Perinasia, 2004).

Badan kesehatan dunia (WHO) merekomendasikan bahwa pemberian ASI harus dilakukan secara eksklusif, yakni pemberian ASI selama 6 bulan pertama kehidupan bayi tanpa disertai makanan tambahan apapun.

Proses pemberian ASI dilakukan melalui kegiatan laktasi. Proses laktasi merupakan proses produksi dan sekresi ASI (Johnson & Wendy, 2005). Secara fisiologis, laktasi bergantung pada 4 proses, yaitu :

  • Proses pengembangan jaringan penghasil ASI dalam payudara,
  • Proses yang memicu produksi ASI setelah melahirkan,
  • Proses untuk mempertahankan produksi ASI dan
  • Proses sekresi ASI.

Proses-proses ini berlangsung dari masa kehamilan hingga melahirkan dan akhirnya menyusui (Farrer, 2001).

Melihat proses fisiologi dari laktasi itu sendiri yakni produksi dan sekresi ASI, maka faktor-faktor yang berpengaruh pada proses laktasi antara lain posisi dan fiksasi bayi yang benar pada payudara serta frekuensi dan durasi menyusui (Johnson & Wendy, 2005).

Selain itu, nutrisi, keadaan kesehatan ibu baik fisik maupun psikis serta keadaan payudara juga mempengaruhi proses laktasi. Karena, proses laktasi merupakan hasil interaksi kompleks antara status nutrisi, keadaan kesehatan serta keadaan payudara ibu yang nantinya akan berpengaruh pada produksi dan pengeluaran ASI (Carpenito, 2009).

Banyak faktor yang menyebabkan pemberian ASI khususnya ASI eksklusif tidak terlaksana dengan baik. Salah satunya adalah kesalahan pada tata laksana laktasi, yang menyebabkan penurunan produksi ASI (sindrom ASI kurang). Sebagian besar ibu yang tidak menyusui bayinya, bukan karena gangguan fisik melainkan lebih banyak karena kesalahan tata laksana laktasi.

Infant Feeding Survey pada tahun 200 menyebutkan bahwa sebesar 35% ibu menyusui melaporkan mengalami masalah menyusui antara lain puting susu yang luka dan masalah penempelan mulut bayi ke payudara.

Sementara itu, sebagian besar ibu yang berhenti menyusui di minggu kedua setelah melahirkan bukan karena faktor fisik dan psikologi ibu melainkan karena masalah-masalah seperti adanya nyeri payudara saat menyusui, bayi sulit menghisap karena kesalahan posisi, serta penjadwalan pemberian ASI karena menganggap bahwa menyusui merupakan kegiatan yang menghabiskan waktu (Carlson, 2008).

Kesalahan-kesalahan tersebut merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi proses laktasi yang dijalani ibu dimana pada akhirnya membuat penurunan produksi ASI yang membuat ibu terpaksa menghentikan pemberian ASInya.